31 Januari 2013
REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG – Masuknya barang pangan impor ke Indonesia
mengundang keprihatinan Masyarakat Agrobisnis dan Agroindustri Indonesia
(MAI). Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat MAI Fadel Muhammad menegaskan
barang pangan impor yang masuk ke Indonesia lambat laun akan mematikan
jutaan petani di Indonesia.
“Bangsa kita ini mampu menghasilkan
pangan yang berkualitas dan mencukupi kebutuhan masyarakat. Kalau
dibiasakan melakukan impor itu adalah jalan pintas. Sekali dilakukan
impor maka psikologis para petani akan menurun,” kata Fadel usai
melantik Pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) MAI Sumsel, Kamis (31/1)
Menurut
mantan menteri kelautan dan perikanan ini, pada 2011 hampir seluruh
komoditi pangan di Indonesia berasal dari luar negeri. Pada 2011
Indonesia pernah mengimpor 3 juta ton beras,
jagung (2,8 juta ton), kedelai (1,8 juta ton), sapi bakalan (600 ribu), dan susu (2,8 juta liter).
“Jika
ingin mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan, impor pangan
tersebut harus dihilangkan, karena jumlah impor pangan kita makin hari
makin besar,” katanya.
Fadel Muhammad menjelaskan, saat ini
terdapat dua pola pikir yang berbeda dalam penanganan kebutuhan pangan
di Indonesia. Pertama, ada pemikiran untuk melakukan pengembangan pangan
demi kepentingan rakyat.
Pola pikir yang lain, menyatakan
penyediaan pangan masyarakat harus tetap terpenuhi, entah bagaimana
caranya. “Seharusnya pola pikir pertama yang kita jalankan, jangan hanya
berpikir untuk impor pangan. Tapi seharusnya berpikir bagaimam mencari
solusi untuk meningkatkan produksi pangan, apakah dengan cara
peningkatan kualitas benih?” kata Fadel yang juga Ketua DPP Partai
Golkar.
Lebih lanjut Fadel menuturkan, anggaran setiap tahun
yang disediakan negara untuk mengimpor barang-barang pertanian mencapai
Rp 50 trilun. Anggaran tersebut melebihi anggaran yang ada di beberapa
kementrian setiap tahunnya. Atas dasar itu mantan Gubernur Gorontalo itu
mengajak seluruh masyarakat, khususnya MAI untuk memerangi pangan impor
masuk ke Indonesia. “Kita harus keras dan gempur orang-orang yang tidak
memikirkan para petani untuk berpendapatan. Kita harus beranikan diri
untuk interpensi pasar dan tolak impor.”
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/01/31/mhhnu5-pangan-impor-matikan-petani-lokal
Kamis, 31 Januari 2013
Profesor Purbayu Budi Santosa : Manajemen Logistik Yusuf
31 Januari 2013
feb.undip.ac.id - BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) telah merampungkan audit impor beras 2012, tetapi seperti telah dilansir dalam beberapa media masa belum mengumumkan hasilnya. Sambil menunggu hasil audit yang semestinya dapat membantu manajemen penanganan pangan (khususnya beras), maka ada baiknya pencerahan dapat dilakukan dengan merujuk kepada kisah dalam kitab suci, yang di dalamnya terdapat pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya menangani masalah krusial, salah satunya krisis pangan.
Dalam kitab suci Al Quran terdapat kisah
Nabi Yusuf yang dapat mengatasi masa sulit berupa krisis pangan
karena kekeringan dan paceklik. Diceritakan pada waktu itu Raja Mesir
bermimpi melihat tujuh sapi gemuk dimakan tujuh sapi kurus. Demikian
juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau, kemudian disusul oleh
tujuh tangkai gandum yang kering. Nabi Yusuf sebagai salah satu utusan
Allah mempunyai karakter “al-amin”, sehingga sudah pasti mampu dan
dipercaya dapat memaknai mimpi Raja Mesir tersebut.
Nabi Yusuf menerangkan di Mesir pada
waktu itu akan terjadi kemakmuran selama tujuh tahun berturut-turut,
kemudian tujuh tahun berikutnya akan disusul krisis berat karena muncul
masa paceklik. Manajemen logistik yang diusulkan oleh beliau adalah
menyimpan panen tanaman pokok masyarakat (gandum) pada saat terjadi
kelimpahan produksi untuk berjaga-jaga karena nantinya selama tujuh
tahun terjadi masa krisis karena terjadi kekeringan.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana
beliau dapat mensosialisasikan ke masyarakat dan bagaimana teknik
penyimpanannya pada waktu itu ?. M. Luthfi Hamidi (dalam The Crisis-
Krisis Mana Lagi yang Engkau Dustakan?, Jakarta: Penerbit Republika,
2012, hal 365-377), menjelaskan yang penting adalah kemampuan manajerial
dan ilmu, tetapi yang lebih penting lagi adalah adanya sifat amanah
dalam melaksanakan suatu tugas.
Tentang bagaimana beliau
mensosialisasikan ke masyarakat secara rinci dapat dilihat dalam Al
Kitab (Genesis/Kitab Kejadian XLI:46 sampai XLII:38) di mana diterangkan
bagaimana Nabi Yusuf melakukan safari dari satu tempat ke tempat lain
untuk memberikan penyuluhan agar melimpahnya panen tidak
dihambur-hamburkan, akan tetapi disimpan guna berjaga-jaga pada saat
terjadi paceklik. Beliau juga meminta kepada masyarakat, untuk setiap
lima gantang gandum yang dipanen, satu gantangnya diserahkan kepada
Raja, untuk keperluan stok nasional.
Cara penyimpanannya supaya tahan lama
dalam Al Quran dinyatakan gandum yang disimpan diawetkan dengan cara
meninggalkan bulirnya tetap ditangkai. Hasil riset modern, seperti yang
dilakukan oleh Dr. ‘Abd al-Majid Bil’abid dan teman penelitinya dari
Universitas Rabat, Maroko, membenarkan teknik penyimpangan tersebut
supaya tahan lama. Hasil penelitiannya antara gandum yang tetap
ditangkai dengan yang terpisah, meunjukkan hasil yang nyata bahwa gandum
yang tetap ditangkainya semuanya kualitasnya tetap terjaga, sementara
bulir yang terpisah dari tangkainya, mulai mengering dan kehilangan
kadar air hingga 20,3 persen dan kadar gulanya juga hilang sampai 32
persen.
Pelajaran Berharga
Dunia sekarang ini di samping terkena
multi krisis seperti krisis ekonomi, keuangan, lingkungan hidup maupun
krisis moral, demikian juga krisis pangan sudah mulai nampak dan dalam
jangka yang tidak terlalu lama akan makin mengkhawatirkan. Penyebabnya
yang terpenting dari krisis pangan adalah terjadi perubahan iklim yang
ekstrim karena perilaku manusia itu sendiri.
Sebenarnya dalam urusan makanan pokok
yang berupa beras kondisinya di Indonesia dalam posisi surplus, tetapi
anehnya masih melakukan impor. Bahkan BPK sampai melakukan audit
dikarenakan kecurigaan terjadi penyelewengan dalam impor, terlebih lagi
dilakukan di saat terjadi panen raya, sehingga para petani dirugikan
karena harga turun drastis, persediaan melebihi dari permintaan.
Dalam kaitannya dengan manajemen
logistik Nabi Yusuf, mestinya pada saat produksi berlebih padi dapat
disimpan untuk berjaga-jaga karena masa depan komoditas pangan di dunia
akan mengalami krisis. Pemakaian produksi domestik harus menjadi
prioritas, karena produksi dalam negeri yang berlimpah. Badan penyangga
pangan dalam hal ini Bulog harus mendapat prioritas untuk dapat membeli
produk lokal petani dengan biaya yang ditanggung bersama dengan
Pemerintah dan kran impor harus dihentikan.
Sosialisasi mengenai bahaya pangan di
masa depan sebenarnya sangat mudah dilakukan sekarang ini karena
perkembangan teknologi informasi yang maju dan sudah menjangkau ke
mana-mana, bahkan sampai daerah terpencil sekalipun. Televisi, telepon
seluler dan internet perkembangannya sudah demikian cepat di Indonesia,
dan sudah memasyarakat secara hampir merata.
Mengenai teknik penyimpanannya, kalau
dahulu pada waktu varietas lokal yang bermacam-macam masih ditanam
masyarakat luas, persis seperti yang diamanatkan dalam kisah Nabi Yusuf
tersebut. Para petani yang panen akan menyimpan hasil panen padinya di
gudang maupun di lumbung desa, dengan tetap menyimpang bulir padi pada
tangkainya yang diikat oleh seutas tali bambu.
Keadaan sekarang yang cenderung mulai
melihat kepada keaslian (back to nature), maka pemakaian benih lokal
dan pupuk organik ada tanda-tanda mulai digemari segmen masyarakat
tertentu. Sekiranya ini berlangsung, maka teknik penyimpanannya persis
dapat meniru Nabi Yusuf, meski keberadaan prasarana dan sarana lainnya
perlu penyesuaian.
Tetapi sekiranya seperti sekarang di
mana Revolusi Hijau berhasil sukses di mana terdapat kebaharuan
sepertinya pada benih, pupuknya buatan, dan lainnya yang diinovasi,
maka dengan melakukan perubahan seperlunya manajemen ala Nabi Yusuf
tetap relevan. Dengan perhitungan statistika dapat dilakukan perkiraan
pada masa depan berapa kebutuhan beras dan berapa konsumsinya ,
daerah-daerah mana yang surplus dan defisit.
Lakukan penyimpanan padi di gudang
pribadi, lumbung padi, Bulog maupun tempat lainnya. Teknologi kekinian
tentunya dapat menjaga kapan beras disimpan dan dikeluarkan dengan
kualitas yang terjaga, adapun besarnya biaya penyimpanan haruslah
dipenuhi oleh pemerintah. Hal ini semata dilakukan karena masalah
urusan pangan adalah demikian vital dan krusial, karena menyangkut
masalah “perut”.
Penanganan logistik pangan memang benar
membutuhkan kemampuan manajerial dan ilmu yang khusus. Mengenai hal
tersebut di Indonesia tidak kekurangan, masalahnya dalam pelaksanaannya
dibutuhkan sifat amanah seperti yang dicontohkan oleh nabi Yusuf.
Jikakau dalam menjalankan tugas dilakukan dengan amanah, maka tidak
perlu harap-harap cemas menanti bagaimana hasil audit BPK.
Purbayu Budi Santosa adalah Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip. Dimuat di Harian Republika, 25 Januari 2013
MAI Tolak Kebijakan Impor Pangan
31 Januari 2013
[PALEMBANG ] Masyarakat Agribisnis dan Agriindustri Indonesia (MAI) menolak kebijakan pemerintah yang tetap mengimpor pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Pasalnya, impor itu berdampak buruk bagi jutaan petani negeri ini.
Ketua Umum DPP MAI Fadel Muhammad mengatakan, impor pangan tersebut bertolak belakang dengan kondisi iklim Indonesia. Sebab, bangsa ini memiliki potensi yang luar biasa jika dimanfaatkan secara optimal. Bahkan, Indonesia seharusnya malah menjadi negara pengekspor bukan pengimpor terbesar di dunia.
“Kita tolak kebijakan impor pangan. Karena akan mematikan jutaan petani Indonesia,” ujarnya usai melantik pengurus DPD MAI Sumsel Periode 2012-2017 di Hotel Swarna Dwipa Palembang, Kamis (31/1).
Fadel menjelaskan, pada 2011, hampir seluruh komoditi pangan di Indonesia berasal dari luar negeri, diantaranya impor beras sebanyak 3 juta ton, jagung banyak 2,8 juta ton, kedelai 1,8 juta ton, 600 ribu sapi induk, dan 2,8 juta liter susu.
“Impor pangan ini harus dihilangkan, karena jumlah impor pangan Indonesia setiap tahun makin besar. Kita harus mandiri dan memaksimalkan potensi yang ada,” kata dia.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar ini mengungkapkan, memang agak sulit untuk merubah kebijakan pemerintah itu. Sebab, saat ini terdapat dua pola pikir yang berbeda dalam penanganan kebutuhan pangan di Indonesia. Pertama ada pemikiran untuk melakukan pengembangan pangan demi kepentingan rakyat dan kedua pemikiran yang menyatakan penyediaan pangan masyarakat harus tetap terpenuhi, bagaimana pun caranya.
“Secara tegas saya dan MAI pilih yang pertama. Tinggal bagaimana kita mencari solusi terbaik, missal peningkatan kualitas benih atau menaikkan harga jual petani agar mereka semangat menjadi petani,” terangnya.
Fadel menambahkan, setiap tahun pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp50 triliun untuk program impor. Hal ini menunjukkan pemerintah masih bersihkeras menjalankan program impor dari pada memaksimalkan lahan pertanian yang ada.
“Kita harus beranikan diri untuk interpensi pasar dan tolak impor. Karena pemerintah malah tidak memikirkan nasib petani kita,” ajaknya.
Ketua DPD MAI Sumsel Periode 2012-2017 Hendri Zainuddin mengungkapkan, pihaknya siap mensukseskan seluruh agenda MAI pusat demi tercapainya petani yang sejahtera. “Petani harus sejahtera. Kami siap laksanakan program MAI pusat pada masa mendatang,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekretasi Daerah Sumsel Yusri Effendi menambahkan, Provinsi Sumsel menjadi daerah penyumbang pangan, terutama beras nasional kelima setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi. Sumsel berhasil surplus beras sebesar 1,3 juta ton per tahun.
Menurut dia, berhasilnya meraih predikat tersebut tidak terlepas dari tersedianya potensi sumber daya lahan yang cukup variatif, mulai dari lahan sawah irigasi, tadah huja, rawa pasang surut, lebak, dan lahan kering. Pertanian padi sawah di Provinsi Sumsel pada 2011 mampu menghasilkan gabah kering giling (GKG) 3.384.669 ton atau 2.139.111 ton beras. Kontribusi terbesar diperoleh dari lahan sawah yaitu 3.230.990 ton GKG (95,46 persen).
Yusri mengatakan, agar tetap mampu mendukung swasembada beras berkelanjutan, pihaknya melakukan sejumlah program. Diantaranya, mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya lahan yang tersedia melalui peningkatan indeks pertanaman dari satu kali tanam (486.771 ha) menjadi dua kali tanam dan dua kali tanam menjadi tiga kali tanam dalam satu tahun.
Kemudian, mengupayakan peningkatan produktifitas dari 4,25 ton/ha menjadi 4,46 ton/ha melalui penggunaan benih bermutu, pemupukan berimbang, dan pendampingan. Tidak hanya itu, pembukaan lahan baru juga dilakukan melalui kegiatan cetak sawah serta perbaikan penanganan pascapanen untuk menurunkan tingkat kehilangan hasil.
”Sarana dan prasarana transportasi, kredit pertanian, penyuluhan pertanian, pemberian pupuk, kepastian hak lahan, dan perbaikan irigasi, serta mengurangi terjadinya alih fungsi lahan juga sudah dilakukan Pemprov Sumsel,” jelasnya.
http://www.suarapembaruan.com/home/mai-tolak-kebijakan-impor-pangan/30028
[PALEMBANG ] Masyarakat Agribisnis dan Agriindustri Indonesia (MAI) menolak kebijakan pemerintah yang tetap mengimpor pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Pasalnya, impor itu berdampak buruk bagi jutaan petani negeri ini.
Ketua Umum DPP MAI Fadel Muhammad mengatakan, impor pangan tersebut bertolak belakang dengan kondisi iklim Indonesia. Sebab, bangsa ini memiliki potensi yang luar biasa jika dimanfaatkan secara optimal. Bahkan, Indonesia seharusnya malah menjadi negara pengekspor bukan pengimpor terbesar di dunia.
“Kita tolak kebijakan impor pangan. Karena akan mematikan jutaan petani Indonesia,” ujarnya usai melantik pengurus DPD MAI Sumsel Periode 2012-2017 di Hotel Swarna Dwipa Palembang, Kamis (31/1).
Fadel menjelaskan, pada 2011, hampir seluruh komoditi pangan di Indonesia berasal dari luar negeri, diantaranya impor beras sebanyak 3 juta ton, jagung banyak 2,8 juta ton, kedelai 1,8 juta ton, 600 ribu sapi induk, dan 2,8 juta liter susu.
“Impor pangan ini harus dihilangkan, karena jumlah impor pangan Indonesia setiap tahun makin besar. Kita harus mandiri dan memaksimalkan potensi yang ada,” kata dia.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar ini mengungkapkan, memang agak sulit untuk merubah kebijakan pemerintah itu. Sebab, saat ini terdapat dua pola pikir yang berbeda dalam penanganan kebutuhan pangan di Indonesia. Pertama ada pemikiran untuk melakukan pengembangan pangan demi kepentingan rakyat dan kedua pemikiran yang menyatakan penyediaan pangan masyarakat harus tetap terpenuhi, bagaimana pun caranya.
“Secara tegas saya dan MAI pilih yang pertama. Tinggal bagaimana kita mencari solusi terbaik, missal peningkatan kualitas benih atau menaikkan harga jual petani agar mereka semangat menjadi petani,” terangnya.
Fadel menambahkan, setiap tahun pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp50 triliun untuk program impor. Hal ini menunjukkan pemerintah masih bersihkeras menjalankan program impor dari pada memaksimalkan lahan pertanian yang ada.
“Kita harus beranikan diri untuk interpensi pasar dan tolak impor. Karena pemerintah malah tidak memikirkan nasib petani kita,” ajaknya.
Ketua DPD MAI Sumsel Periode 2012-2017 Hendri Zainuddin mengungkapkan, pihaknya siap mensukseskan seluruh agenda MAI pusat demi tercapainya petani yang sejahtera. “Petani harus sejahtera. Kami siap laksanakan program MAI pusat pada masa mendatang,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekretasi Daerah Sumsel Yusri Effendi menambahkan, Provinsi Sumsel menjadi daerah penyumbang pangan, terutama beras nasional kelima setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi. Sumsel berhasil surplus beras sebesar 1,3 juta ton per tahun.
Menurut dia, berhasilnya meraih predikat tersebut tidak terlepas dari tersedianya potensi sumber daya lahan yang cukup variatif, mulai dari lahan sawah irigasi, tadah huja, rawa pasang surut, lebak, dan lahan kering. Pertanian padi sawah di Provinsi Sumsel pada 2011 mampu menghasilkan gabah kering giling (GKG) 3.384.669 ton atau 2.139.111 ton beras. Kontribusi terbesar diperoleh dari lahan sawah yaitu 3.230.990 ton GKG (95,46 persen).
Yusri mengatakan, agar tetap mampu mendukung swasembada beras berkelanjutan, pihaknya melakukan sejumlah program. Diantaranya, mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya lahan yang tersedia melalui peningkatan indeks pertanaman dari satu kali tanam (486.771 ha) menjadi dua kali tanam dan dua kali tanam menjadi tiga kali tanam dalam satu tahun.
Kemudian, mengupayakan peningkatan produktifitas dari 4,25 ton/ha menjadi 4,46 ton/ha melalui penggunaan benih bermutu, pemupukan berimbang, dan pendampingan. Tidak hanya itu, pembukaan lahan baru juga dilakukan melalui kegiatan cetak sawah serta perbaikan penanganan pascapanen untuk menurunkan tingkat kehilangan hasil.
”Sarana dan prasarana transportasi, kredit pertanian, penyuluhan pertanian, pemberian pupuk, kepastian hak lahan, dan perbaikan irigasi, serta mengurangi terjadinya alih fungsi lahan juga sudah dilakukan Pemprov Sumsel,” jelasnya.
http://www.suarapembaruan.com/home/mai-tolak-kebijakan-impor-pangan/30028
Darurat Lahan Pertanian
31 Januari 2013
Salah satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warga.
Pada 2015, jumlah penduduk mencapai 255 juta jiwa. Dengan angka konsumsi 135 kilogram per kapita per tahun, diperlukan beras 38,49 juta ton. Untuk menghasilkan beras sebesar itu butuh luas panen 13,38 juta hektar. Padahal, luas panen yang tersedia hanya 12,65 juta hektar alias defisit 0,73 juta hektar. Menurut Kementerian Pertanian, defisit luas panen 2020 mencapai 2,21 juta hektar dan membengkak jadi 3,75 juta hektar pada 2025 dan 5,38 juta hektar pada 2030.
Dewasa ini, lahan pertanian kian sempit. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar. Pada periode 2002-2006 melonjak menjadi 145.000 hektar per tahun. Akan tetapi, rentang 2007-2010 di Jawa saja laju konversi rata-rata 200.000 hektar per tahun (Kompas, 24/5/2011). Lahan (sawah beririgasi teknis, nonteknis, dan lahan kering) di Jawa pada 2007 masih 4,1 juta hektar, kini hanya tinggal 3,5 juta hektar.
Indonesia memasuki darurat lahan pertanian pangan. Lahan sawah Indonesia hanya 8,06 juta hektar dan tegalan/kebun 12,28 juta hektar (BPS, 2009). Indonesia memang amat tertinggal dalam penyediaan lahan pertanian, khususnya sawah. Amerika Serikat memiliki lahan pertanian sekitar 175 juta hektar, India (161 juta), China (143 juta), Brasil 58 (juta), Thailand (31 juta), dan Australia (50 juta). Luas lahan per kapita Indonesia 0,03 hektar. Bandingkan dengan Australia 2,63 hektar; AS (0,61); Brasil (0,34); China (0,11); India (0,16); Thailand (0,52); dan Vietnam (0,10) (Kementerian Pertanian, 2011).
Lahan pertanian terancam punah. Tanpa usaha mencegah (moratorium) konversi lahan, terutama di Jawa, ketahanan pangan bakal mengalami rongrongan serius. Selama ini, 56-60 persen produksi padi bertumpu pada sawah-sawah subur di Jawa. Dengan dukungan irigasi teknis, produktivitas sawah di Jawa tinggi (51,87 kuintal per hektar) ketimbang di luar Jawa (39,43 kuintal per hektar) sehingga Jawa menghasilkan surplus beras. Selama ini, pencetakan sawah baru oleh pemerintah rata-rata 37.000-45.000 hektar per tahun. Jika konversi lahan tak terkendali, surplus beras tidak akan terjadi. Rawan pangan meruyak. Tenaga kerja di sektor pertanian kehilangan pekerjaan, jumlah penganggur meningkat. Ini akan menimbulkan kerawanan sosial.
Konversi lahan merupakan fenomena umum selama pembangunan berlangsung. Pertumbuhan ekonomi selangit, transformasi struktur ekonomi dan laju pertambahan penduduk yang tinggi merupakan determinan utama konversi lahan pertanian. Semua itu butuh tapakan lahan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi mendongkrak mutu sosial-ekonomi lahan non-pertanian. Perpaduan antara permintaan dan rente lahan non-pertanian yang terus meningkat inilah yang menyebabkan konversi lahan berjalan masif.
Dampak berganda
Pertanyaannya, apa kerugian konversi lahan? Sebagai negara berpenduduk besar, seperti kata Presiden Soekarno, pangan adalah soal hidup-mati. Dalam jangka pendek, konversi lahan seolah- olah menguntungkan secara ekonomi. Padahal, konversi lahan yang tak terkendali jadi ancaman serius masa depan negara. Konversi lahan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi domestik merosot, lalu kita akan bergantung pangan impor. Kita tahu, sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli, pasarnya tipis dan harganya tak stabil.
Ditilik dari sisi mana pun, konversi lahan—terutama sawah beririgasi—amat tidak menguntungkan. Menurut Bulog (1973), setiap satu hektar sawah di Jawa dikonversi akan hilang dana 4.000 dollar AS untuk membuat kebun beras. Dengan laju konversi 145.000 hektar per tahun, nilai ekonomi yang lenyap 580 juta dollar AS (Rp 5,3 triliun) per tahun. Adapun padi yang hilang 1,3 juta ton gabah.
Kerugian konversi kian besar bila biaya pemeliharaan sistem irigasi dan rekayasa kelembagaan pendukung diperhitungkan. Menurut Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto, investasi mengembangkan ekosistem sawah per hektar Rp 210 juta pada 2005. Ini belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap, penggilingan padi, buruh tani, industri input (pupuk, pestisida, alat pertanian), dan sektor pedesaan lain.
Hampir pasti, suhu udara meningkat. Potensi erosi, banjir, dan longsor lebih besar, serta kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Dampak berganda konversi itu tak pernah disadari karena kita hanya menilai sawah sebagai penghasil pangan dan serat. Padahal, selain menghasilkan pangan, sawah multifungsi, yakni menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis daerah aliran sungai, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan, dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya pedesaan.
Guna mencegah konversi lahan tersedia payung hukum, yakni UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU ini dilengkapi empat peraturan pemerintah dan satu peraturan menteri. Semangat peraturan ini adalah mencegah konversi lahan pertanian. Konversi hanya untuk kepentingan umum. Itu pun syaratnya maha-berat. Pelanggar bisa dipidana 2-7 tahun, denda Rp 1 miliar-Rp 7 miliar.
Namun, UU dan seperangkat PP itu masih mandul. Untuk mencegah konversi, tak cukup cara legal-formal. Pemerintah perlu mengembangkan insentif yang lebih menarik, seperti kebijakan teknis pertanian, penyaluran benih unggul, bimbingan penyuluhan dan pendampingan petani, jaminan harga jual, dan pasar. Terakhir, kebijakan penegakan hukum tanpa pandang bulu untuk mencegah pragmatisme bisnis dan politik.
Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
http://cetak.kompas.com/read/2013/01/30/02581633/Darurat.Lahan.Pertanian.
Salah satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warga.
Pada 2015, jumlah penduduk mencapai 255 juta jiwa. Dengan angka konsumsi 135 kilogram per kapita per tahun, diperlukan beras 38,49 juta ton. Untuk menghasilkan beras sebesar itu butuh luas panen 13,38 juta hektar. Padahal, luas panen yang tersedia hanya 12,65 juta hektar alias defisit 0,73 juta hektar. Menurut Kementerian Pertanian, defisit luas panen 2020 mencapai 2,21 juta hektar dan membengkak jadi 3,75 juta hektar pada 2025 dan 5,38 juta hektar pada 2030.
Dewasa ini, lahan pertanian kian sempit. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar. Pada periode 2002-2006 melonjak menjadi 145.000 hektar per tahun. Akan tetapi, rentang 2007-2010 di Jawa saja laju konversi rata-rata 200.000 hektar per tahun (Kompas, 24/5/2011). Lahan (sawah beririgasi teknis, nonteknis, dan lahan kering) di Jawa pada 2007 masih 4,1 juta hektar, kini hanya tinggal 3,5 juta hektar.
Indonesia memasuki darurat lahan pertanian pangan. Lahan sawah Indonesia hanya 8,06 juta hektar dan tegalan/kebun 12,28 juta hektar (BPS, 2009). Indonesia memang amat tertinggal dalam penyediaan lahan pertanian, khususnya sawah. Amerika Serikat memiliki lahan pertanian sekitar 175 juta hektar, India (161 juta), China (143 juta), Brasil 58 (juta), Thailand (31 juta), dan Australia (50 juta). Luas lahan per kapita Indonesia 0,03 hektar. Bandingkan dengan Australia 2,63 hektar; AS (0,61); Brasil (0,34); China (0,11); India (0,16); Thailand (0,52); dan Vietnam (0,10) (Kementerian Pertanian, 2011).
Lahan pertanian terancam punah. Tanpa usaha mencegah (moratorium) konversi lahan, terutama di Jawa, ketahanan pangan bakal mengalami rongrongan serius. Selama ini, 56-60 persen produksi padi bertumpu pada sawah-sawah subur di Jawa. Dengan dukungan irigasi teknis, produktivitas sawah di Jawa tinggi (51,87 kuintal per hektar) ketimbang di luar Jawa (39,43 kuintal per hektar) sehingga Jawa menghasilkan surplus beras. Selama ini, pencetakan sawah baru oleh pemerintah rata-rata 37.000-45.000 hektar per tahun. Jika konversi lahan tak terkendali, surplus beras tidak akan terjadi. Rawan pangan meruyak. Tenaga kerja di sektor pertanian kehilangan pekerjaan, jumlah penganggur meningkat. Ini akan menimbulkan kerawanan sosial.
Konversi lahan merupakan fenomena umum selama pembangunan berlangsung. Pertumbuhan ekonomi selangit, transformasi struktur ekonomi dan laju pertambahan penduduk yang tinggi merupakan determinan utama konversi lahan pertanian. Semua itu butuh tapakan lahan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi mendongkrak mutu sosial-ekonomi lahan non-pertanian. Perpaduan antara permintaan dan rente lahan non-pertanian yang terus meningkat inilah yang menyebabkan konversi lahan berjalan masif.
Dampak berganda
Pertanyaannya, apa kerugian konversi lahan? Sebagai negara berpenduduk besar, seperti kata Presiden Soekarno, pangan adalah soal hidup-mati. Dalam jangka pendek, konversi lahan seolah- olah menguntungkan secara ekonomi. Padahal, konversi lahan yang tak terkendali jadi ancaman serius masa depan negara. Konversi lahan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi domestik merosot, lalu kita akan bergantung pangan impor. Kita tahu, sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli, pasarnya tipis dan harganya tak stabil.
Ditilik dari sisi mana pun, konversi lahan—terutama sawah beririgasi—amat tidak menguntungkan. Menurut Bulog (1973), setiap satu hektar sawah di Jawa dikonversi akan hilang dana 4.000 dollar AS untuk membuat kebun beras. Dengan laju konversi 145.000 hektar per tahun, nilai ekonomi yang lenyap 580 juta dollar AS (Rp 5,3 triliun) per tahun. Adapun padi yang hilang 1,3 juta ton gabah.
Kerugian konversi kian besar bila biaya pemeliharaan sistem irigasi dan rekayasa kelembagaan pendukung diperhitungkan. Menurut Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto, investasi mengembangkan ekosistem sawah per hektar Rp 210 juta pada 2005. Ini belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap, penggilingan padi, buruh tani, industri input (pupuk, pestisida, alat pertanian), dan sektor pedesaan lain.
Hampir pasti, suhu udara meningkat. Potensi erosi, banjir, dan longsor lebih besar, serta kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Dampak berganda konversi itu tak pernah disadari karena kita hanya menilai sawah sebagai penghasil pangan dan serat. Padahal, selain menghasilkan pangan, sawah multifungsi, yakni menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis daerah aliran sungai, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan, dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya pedesaan.
Guna mencegah konversi lahan tersedia payung hukum, yakni UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU ini dilengkapi empat peraturan pemerintah dan satu peraturan menteri. Semangat peraturan ini adalah mencegah konversi lahan pertanian. Konversi hanya untuk kepentingan umum. Itu pun syaratnya maha-berat. Pelanggar bisa dipidana 2-7 tahun, denda Rp 1 miliar-Rp 7 miliar.
Namun, UU dan seperangkat PP itu masih mandul. Untuk mencegah konversi, tak cukup cara legal-formal. Pemerintah perlu mengembangkan insentif yang lebih menarik, seperti kebijakan teknis pertanian, penyaluran benih unggul, bimbingan penyuluhan dan pendampingan petani, jaminan harga jual, dan pasar. Terakhir, kebijakan penegakan hukum tanpa pandang bulu untuk mencegah pragmatisme bisnis dan politik.
Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
http://cetak.kompas.com/read/2013/01/30/02581633/Darurat.Lahan.Pertanian.
Pembagian Raskin Pamekasan Diduga Diselewengkan
30 Januari 2013
LENSAINDONESIA.COM: Pembagian beras untuk masyarakat miskin atau dikenal sebagai beras raskin di Pamekasan diwarnai dugaan penyelewengan. Dugaan penyelewengan raskin itu terjadi di wilayah Desa Larangan Slampar, Kecamatan Tlanakan.
Dugaan penyelewengan beras raskin itu dibeberkan oleh komunitas MLSB (Masyarakat Larangan Slampar Bersatu). Aktivis MLSB, Sugianto, menyatakan, penyelewengan raskin senilai Rp 900 juta itu merupakan angka akumulasi nilai rupiah untuk jatah 18 bulan yang diselewengkan dalam kurun waktu tahun 2010 hingga 2012.
“Selama dua tahun berjalan, kami ketahui pendistribusian beras raskin untuk warga Desa Larangan Slampar tercatat sembilan kali per tahun absen tak didistribusikan. Artinya, sembilan kali jatah beras raskin tak lagi dibagikan kepada warga miskin. Dalam hitungan kami, kerugian yang diakibatkan mencapai sembilan ratus juta rupiah lebih,” beber Sugianto kepada sejumlah wartawan, Rabu (30/1/2013).
Menurut Sugianto, dua tahun berturut-turut, yakni pada tahun 2010 dan 2011, beras raskin hanya dibagikan sebanyak 6 kali. “Pada tahun 2010 hanya tiga kali. Dan setahun kemudian juga hanya dibagikan tiga kali. Dengan demikian selama dua tahun itu warga tak menerima beras raskin sebanyak 18 kali jatah untuk 18 berjalan.
Kerugian yang ditimbulkan mencapai lebih dari Rp 1,8 miliar. Angka itu merupakan kalkulasi antara jumlah RTS (Rumah Tangga Sasaran) sebanyak 1.001 keluarga dikalikan dengan uang tebusan 16 kg raskin dikalikan 18 bulan maka didapat angka Rp 1,8 miliar.
“Sementara pada 2012, saat jatah raskin belum berubah 15 kilogram, hanya didistribusikan sekali pada bulan Maret. Sedang saat terjadi perubahan jatah menjadi 9,5 kilogram, jatah hanya diberikan dua kali. Yakni bulan Juli dan November,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala Sub Divre Bulog Madura, Akhmad Readi, mengatakan pihaknya telah mendistribusikan raskin setiap bulan sesuai dengan pagu yang ada. Itu dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima, yang ditanda tangani oleh kepala desa setempat.
Saat ditanya, apakah raskin Larangan Slampar tahun ini akan tetap didistribusikan meski masih ada persoalan, Readi bersikukuh tetap akan mendistribusikan sesuai permintaan dari pemerintah daerah. “Bulog ini hanya penyimpan dan penyalur raskin, distribusi raskin tetap jalan seperti semula,” tandasnya.
http://www.lensaindonesia.com/2013/01/30/pembagian-raskin-pamekasan-diduga-diselewengkan.html
LENSAINDONESIA.COM: Pembagian beras untuk masyarakat miskin atau dikenal sebagai beras raskin di Pamekasan diwarnai dugaan penyelewengan. Dugaan penyelewengan raskin itu terjadi di wilayah Desa Larangan Slampar, Kecamatan Tlanakan.
Dugaan penyelewengan beras raskin itu dibeberkan oleh komunitas MLSB (Masyarakat Larangan Slampar Bersatu). Aktivis MLSB, Sugianto, menyatakan, penyelewengan raskin senilai Rp 900 juta itu merupakan angka akumulasi nilai rupiah untuk jatah 18 bulan yang diselewengkan dalam kurun waktu tahun 2010 hingga 2012.
“Selama dua tahun berjalan, kami ketahui pendistribusian beras raskin untuk warga Desa Larangan Slampar tercatat sembilan kali per tahun absen tak didistribusikan. Artinya, sembilan kali jatah beras raskin tak lagi dibagikan kepada warga miskin. Dalam hitungan kami, kerugian yang diakibatkan mencapai sembilan ratus juta rupiah lebih,” beber Sugianto kepada sejumlah wartawan, Rabu (30/1/2013).
Menurut Sugianto, dua tahun berturut-turut, yakni pada tahun 2010 dan 2011, beras raskin hanya dibagikan sebanyak 6 kali. “Pada tahun 2010 hanya tiga kali. Dan setahun kemudian juga hanya dibagikan tiga kali. Dengan demikian selama dua tahun itu warga tak menerima beras raskin sebanyak 18 kali jatah untuk 18 berjalan.
Kerugian yang ditimbulkan mencapai lebih dari Rp 1,8 miliar. Angka itu merupakan kalkulasi antara jumlah RTS (Rumah Tangga Sasaran) sebanyak 1.001 keluarga dikalikan dengan uang tebusan 16 kg raskin dikalikan 18 bulan maka didapat angka Rp 1,8 miliar.
“Sementara pada 2012, saat jatah raskin belum berubah 15 kilogram, hanya didistribusikan sekali pada bulan Maret. Sedang saat terjadi perubahan jatah menjadi 9,5 kilogram, jatah hanya diberikan dua kali. Yakni bulan Juli dan November,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala Sub Divre Bulog Madura, Akhmad Readi, mengatakan pihaknya telah mendistribusikan raskin setiap bulan sesuai dengan pagu yang ada. Itu dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima, yang ditanda tangani oleh kepala desa setempat.
Saat ditanya, apakah raskin Larangan Slampar tahun ini akan tetap didistribusikan meski masih ada persoalan, Readi bersikukuh tetap akan mendistribusikan sesuai permintaan dari pemerintah daerah. “Bulog ini hanya penyimpan dan penyalur raskin, distribusi raskin tetap jalan seperti semula,” tandasnya.
http://www.lensaindonesia.com/2013/01/30/pembagian-raskin-pamekasan-diduga-diselewengkan.html
Kasus Bulog oplos terus disidik Polda
30 Januari 2013
MEDAN - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Diteskrimsus) Polda Sumut akan segera mengirim berkas, kasus pengoplos beras Bulog yang digrebek oleh Subdit II Indag Ditreskrim Poldasu pada Rabu (9/1) lalu di gudang No. 899 yang berada di Jalan Kayu Putih, Mabar milik Hendri alias Aseng Jenggot.
Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus Kombes Sadono Budi Nugroho, mengingat, operasi pengoplosan beras ini sudah berlangsung selama 10 tahun, tak menutup kemungkinan adanya keterlibatan Bulog Sumatera Utara dalam kasus ini. Apalagi, diketahui perusahaan milik aseng tersebut merupakan perusahaan yang ditunjuk pemerintah sebagai penyalur beras Bulog bersubsidi di Wilayah Sumatera Utara dan laporan atas kasus tersebut kata Sadono adalah atas nama Hendri alis Aseng.
"Kalau nanti dalam pengembanganya mengarah adanya keterlibatan Kabulog, tidak akan kita tutup-tutupi, kita akan terbuka. Tetapi itu semua harus diperiksa oleh ahli yang akan didatangkan dari Jakarta dulu." Ujar Sadono, di Medan, hari ini.
Menurut Sadono, kalau ahli dari Bulog Pusat tersebut menyatakan bahwa Kabulog Sumut terlibat, tetap akan kita periksa. " Namun untuk berkas tersangkanya tetap akan dikirimkan pada Kejaksaan, karena sudah jelas dia (Aseng-red) sebagai tersangkanya." Terang Sadono.
Dikatakan, hasil pengembangan yang dilakukan oleh pihaknya, telah dilakukan penelusuran terhadap sistem administrasi. Dalam kesempatan tersebut Sadono mengakui, bahwa pihak Bulog Sumut sudah menjalin kerja sama dengan Aseng Jenggot selama 10 tahun.
"Kerja sama ini adalah untuk membantu program pemerintah. Dalam menyalurkan beras Bulog ditunjuklah satu perusahaan untuk menditribusikanya. Namun oleh tersangka disalahgunakan," urainya.
Sewaktu diperisa Kadivre Bulog Sumut, lanjutnya menunjukan catatan pengeluran beras dengan jelas, dan perusahaan tersebut memang ditunjuk untuk menyalurkan beras. " Dan ternyata oleh Aseng diselewengkan. Kita akan selidiki, apakah Kadivre Bulog Sumut terlibat atau tidak." tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Kasubid II Indag Dit. Reskrimsus Poldasu, AKBP. Edi Fariadi mengatakan, bahwa Kepala Divisi Regional Badan Usaha Logistik (Bulog) Sumut, Nasrun Rahmani telah diperiksa oleh Dit .Reskrimsus Poldasu, pada Kamis(17/1), pekan lalu.
Menurut Edi Fariadi, pemeriksaan terhadap Nasrun Rahmani ini adalah sebagai saksi atas penggelapan beras komersial Bulog. Kepala Divre Bulog Sumut itu diperiksa sebagai saksi atas ditemukannya beras Bulog di gudang No. 899 Jalan Kayu Putih, Mabar milik Hendri alias Aseng Jenggot," terang Edi Fariadi.
Dikatakanya, dalam pemeriksaan tersebut, Nasrun dicecar belasan pertanyaan terutama yang menyangkut keberadaan beras Bulog di gudang No. 899 Jalan Kayu Putih sebanyak 200 ton. Beras Bulog telah dioplos dan kemudian dikemas menjadi jenis kuku balam bergambar dua buah apel, dengan cap SBJ (Sahabat Jaya).
Pertanyaan lainnya adalah seputar tugas pokok dan fungsi Bulog dan pengamanan harga.
Dikatakan Edi Fariadi, saat diperiksa Nasrun Rahmani sempat menyebut setiap orang atau badan usaha berhak membeli beras komersial (premium) dari Bulog dengan harga digudang Bulog Rp.7.200. Pembelian diatur dengan syarat tertentu dengan penjualan ke konsumen tidak melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp7.400. Kemudian, kata Nasrun, pengemasan dari Bulog diperbolehkan dengan ketentuan tidak dapat dicampur dengan beras lain
Nasrun membenarkan toko Jadi milik Hendri alias Aseng membeli beras Bulog komersial periode tahun 2010, 2012 dan Januari 2013. Edi Fariadi juga menjelaskan bahwa, pihaknyab sudah mengundang saksi ahli dari Bulog di Jakarta, untuk meng cross check, apakah keterangan Kadivre tersebut benar atau tidak. Sebelumnya, atas terbongkarnya kasus ini, Direskrimsus Poldasu, Kombes Sadono Budi Nugroho menyampaikan, bahwa pemilik gudang yang diketahui bernama Aseng , akan dijerat dengan pasal 24 UU No.5 Tahun 1984 tentang Industri, pasal 62 UU No.8 tahun 1999 tentang Penipuan Konsumen dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Ditreskrimsus Poldasu, menggerebek Gudang No.899 Jalan Kayu Putih, pada Rabu (9/1) lalu. Saat digrebek, sedang terjadi pengoplosan beras Bulog seberat 50 kg per karung dengan beras tanpa merk 50 kg per karung menjadi beras kuku balam berlambang dua apel ke karung ukuran 30 kg.
Dari gudang itu, ditemukan 20 ton beras yang sudah dioplos, Merek kuku Balam dalam karung ukuran 30 kg dengan kemasan gambar dua buah apel. Kemudian, beras Bulog 200 ton dan beras tanpa merk 300 ton yang dibeli dari Jakarta.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=277200:kasus-bulog-oplos-terus-disidik-polda&catid=14:medan&Itemid=27
MEDAN - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Diteskrimsus) Polda Sumut akan segera mengirim berkas, kasus pengoplos beras Bulog yang digrebek oleh Subdit II Indag Ditreskrim Poldasu pada Rabu (9/1) lalu di gudang No. 899 yang berada di Jalan Kayu Putih, Mabar milik Hendri alias Aseng Jenggot.
Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus Kombes Sadono Budi Nugroho, mengingat, operasi pengoplosan beras ini sudah berlangsung selama 10 tahun, tak menutup kemungkinan adanya keterlibatan Bulog Sumatera Utara dalam kasus ini. Apalagi, diketahui perusahaan milik aseng tersebut merupakan perusahaan yang ditunjuk pemerintah sebagai penyalur beras Bulog bersubsidi di Wilayah Sumatera Utara dan laporan atas kasus tersebut kata Sadono adalah atas nama Hendri alis Aseng.
"Kalau nanti dalam pengembanganya mengarah adanya keterlibatan Kabulog, tidak akan kita tutup-tutupi, kita akan terbuka. Tetapi itu semua harus diperiksa oleh ahli yang akan didatangkan dari Jakarta dulu." Ujar Sadono, di Medan, hari ini.
Menurut Sadono, kalau ahli dari Bulog Pusat tersebut menyatakan bahwa Kabulog Sumut terlibat, tetap akan kita periksa. " Namun untuk berkas tersangkanya tetap akan dikirimkan pada Kejaksaan, karena sudah jelas dia (Aseng-red) sebagai tersangkanya." Terang Sadono.
Dikatakan, hasil pengembangan yang dilakukan oleh pihaknya, telah dilakukan penelusuran terhadap sistem administrasi. Dalam kesempatan tersebut Sadono mengakui, bahwa pihak Bulog Sumut sudah menjalin kerja sama dengan Aseng Jenggot selama 10 tahun.
"Kerja sama ini adalah untuk membantu program pemerintah. Dalam menyalurkan beras Bulog ditunjuklah satu perusahaan untuk menditribusikanya. Namun oleh tersangka disalahgunakan," urainya.
Sewaktu diperisa Kadivre Bulog Sumut, lanjutnya menunjukan catatan pengeluran beras dengan jelas, dan perusahaan tersebut memang ditunjuk untuk menyalurkan beras. " Dan ternyata oleh Aseng diselewengkan. Kita akan selidiki, apakah Kadivre Bulog Sumut terlibat atau tidak." tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Kasubid II Indag Dit. Reskrimsus Poldasu, AKBP. Edi Fariadi mengatakan, bahwa Kepala Divisi Regional Badan Usaha Logistik (Bulog) Sumut, Nasrun Rahmani telah diperiksa oleh Dit .Reskrimsus Poldasu, pada Kamis(17/1), pekan lalu.
Menurut Edi Fariadi, pemeriksaan terhadap Nasrun Rahmani ini adalah sebagai saksi atas penggelapan beras komersial Bulog. Kepala Divre Bulog Sumut itu diperiksa sebagai saksi atas ditemukannya beras Bulog di gudang No. 899 Jalan Kayu Putih, Mabar milik Hendri alias Aseng Jenggot," terang Edi Fariadi.
Dikatakanya, dalam pemeriksaan tersebut, Nasrun dicecar belasan pertanyaan terutama yang menyangkut keberadaan beras Bulog di gudang No. 899 Jalan Kayu Putih sebanyak 200 ton. Beras Bulog telah dioplos dan kemudian dikemas menjadi jenis kuku balam bergambar dua buah apel, dengan cap SBJ (Sahabat Jaya).
Pertanyaan lainnya adalah seputar tugas pokok dan fungsi Bulog dan pengamanan harga.
Dikatakan Edi Fariadi, saat diperiksa Nasrun Rahmani sempat menyebut setiap orang atau badan usaha berhak membeli beras komersial (premium) dari Bulog dengan harga digudang Bulog Rp.7.200. Pembelian diatur dengan syarat tertentu dengan penjualan ke konsumen tidak melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp7.400. Kemudian, kata Nasrun, pengemasan dari Bulog diperbolehkan dengan ketentuan tidak dapat dicampur dengan beras lain
Nasrun membenarkan toko Jadi milik Hendri alias Aseng membeli beras Bulog komersial periode tahun 2010, 2012 dan Januari 2013. Edi Fariadi juga menjelaskan bahwa, pihaknyab sudah mengundang saksi ahli dari Bulog di Jakarta, untuk meng cross check, apakah keterangan Kadivre tersebut benar atau tidak. Sebelumnya, atas terbongkarnya kasus ini, Direskrimsus Poldasu, Kombes Sadono Budi Nugroho menyampaikan, bahwa pemilik gudang yang diketahui bernama Aseng , akan dijerat dengan pasal 24 UU No.5 Tahun 1984 tentang Industri, pasal 62 UU No.8 tahun 1999 tentang Penipuan Konsumen dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Ditreskrimsus Poldasu, menggerebek Gudang No.899 Jalan Kayu Putih, pada Rabu (9/1) lalu. Saat digrebek, sedang terjadi pengoplosan beras Bulog seberat 50 kg per karung dengan beras tanpa merk 50 kg per karung menjadi beras kuku balam berlambang dua apel ke karung ukuran 30 kg.
Dari gudang itu, ditemukan 20 ton beras yang sudah dioplos, Merek kuku Balam dalam karung ukuran 30 kg dengan kemasan gambar dua buah apel. Kemudian, beras Bulog 200 ton dan beras tanpa merk 300 ton yang dibeli dari Jakarta.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=277200:kasus-bulog-oplos-terus-disidik-polda&catid=14:medan&Itemid=27
Rabu, 30 Januari 2013
Warga Minta Dewan Sidak Pasokan Beras Bulog Asal Jawa
29 Januari 2013
Halo HPS Tribun Lampung. Ada
kabar hangat tentang pengiriman beras Raskin dari Pulau Jawa di
Pelabuhan Bongkar Muat Panjang, berasnya berwarna kuning dan berkutu
seperti tidak Layak untuk dikonsumsi.
Kami mohon untuk dapat dilaksanakan sidak bagi anggota DPRD, kenapa Bulog bisa memasok kiriman beras Raskin dari Pulau Jawa yang berkutu, berbau Busuk, bahkan berwarna kuning kehitaman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Harap ditindak lanjuti. Terima kasih
Pengirim: +6285758959xxx
DPRD Siap Tindaklanjuti Laporan
Terima kasih atas laporannya, kami akan koordinasikan dengan provinsi terkait dengan bulok, dan Komisi D DPRD Kota Balam akan berkoordinasi dengan pihak terkait penerimaan raskin tersebut. Dan kami siap untuk meninjau ke lokasi terkait laporan tersebut untuk memastikan kebenarannya.
Nandang Hendrawan
Ketua Komisi D
DPRD Kota Bandar Lampung (eka)
Kami mohon untuk dapat dilaksanakan sidak bagi anggota DPRD, kenapa Bulog bisa memasok kiriman beras Raskin dari Pulau Jawa yang berkutu, berbau Busuk, bahkan berwarna kuning kehitaman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Harap ditindak lanjuti. Terima kasih
Pengirim: +6285758959xxx
DPRD Siap Tindaklanjuti Laporan
Terima kasih atas laporannya, kami akan koordinasikan dengan provinsi terkait dengan bulok, dan Komisi D DPRD Kota Balam akan berkoordinasi dengan pihak terkait penerimaan raskin tersebut. Dan kami siap untuk meninjau ke lokasi terkait laporan tersebut untuk memastikan kebenarannya.
Nandang Hendrawan
Ketua Komisi D
DPRD Kota Bandar Lampung (eka)
Selasa, 29 Januari 2013
Mentan dan Bulog saling bantah
28 Januari 2013
Sindonews.com - Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) mengaku belum mendapatkan margin fee dari pemerintah untuk kegiatan distribusi beras subsidi atau public service obiligation (PSO) yang dilakukannya. Karena itu, Bulog menyatakan akan terus berjuang untuk mendapatkannya.
"Iya sedang diperjuangkan terus," singkat Direktur Utama Bulog Sutarto Ali Muso usai Rapat Kerja Pemerintah di JCC, Jakarta, Senin (28/1/2013) malam.
Bertentangan dengan Bulog, Menteri Pertanian (Mentan) Suswono membantah penyataan tersebut. "Tidak benar itu, enggak mungkin. Apakah kurang efisien dalam pelaksanaan atau tidak nanti bisa dicek," kata Suswono.
Mentan menjelaskan, pemerintah selalu memberikan pembayaran kepada Bulog untuk beras PSO dengan harga di atas Harga Pokok Pembelian (HPP). "Selama ini Bulog kan diberikan margin. Kan pemerintah sendiri menetapkan HPP. Misalnya, Rp6.600 kalau beras. Tetapi kemudian pemerintah membeli ke Bulog kan di atas itu. Ada margin Rp1.000 lebih kalau enggak salah," terangnya.
Sebelumnya diberitakan, Bulog menuntut pemerintah agar segera memberikan margin fee untuk kegiatan PSO yang dilakukannya. Pasalnya, selama ini Bulog mengaku tidak pernah menerima margin fee dalam pelaksanaan distribusi beras.
"Bulog belum pernah menerima margin fee dari pemerintah," kata Sutarto awal bulan ini.
Akibat tidak adanya margin fee dari pemerintah pada tahun ini, sambungnya, Bulog mengalami defisit PSO sebesar Rp269 miliar. "Harusnya Bulog mendapat fee, tapi karena HPP yang rendah, kita potensi defisit 269,03 miliar," ungkap dia.
http://ekbis.sindonews.com/read/2013/01/29/34/711978/mentan-dan-bulog-saling-bantah
Sindonews.com - Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) mengaku belum mendapatkan margin fee dari pemerintah untuk kegiatan distribusi beras subsidi atau public service obiligation (PSO) yang dilakukannya. Karena itu, Bulog menyatakan akan terus berjuang untuk mendapatkannya.
"Iya sedang diperjuangkan terus," singkat Direktur Utama Bulog Sutarto Ali Muso usai Rapat Kerja Pemerintah di JCC, Jakarta, Senin (28/1/2013) malam.
Bertentangan dengan Bulog, Menteri Pertanian (Mentan) Suswono membantah penyataan tersebut. "Tidak benar itu, enggak mungkin. Apakah kurang efisien dalam pelaksanaan atau tidak nanti bisa dicek," kata Suswono.
Mentan menjelaskan, pemerintah selalu memberikan pembayaran kepada Bulog untuk beras PSO dengan harga di atas Harga Pokok Pembelian (HPP). "Selama ini Bulog kan diberikan margin. Kan pemerintah sendiri menetapkan HPP. Misalnya, Rp6.600 kalau beras. Tetapi kemudian pemerintah membeli ke Bulog kan di atas itu. Ada margin Rp1.000 lebih kalau enggak salah," terangnya.
Sebelumnya diberitakan, Bulog menuntut pemerintah agar segera memberikan margin fee untuk kegiatan PSO yang dilakukannya. Pasalnya, selama ini Bulog mengaku tidak pernah menerima margin fee dalam pelaksanaan distribusi beras.
"Bulog belum pernah menerima margin fee dari pemerintah," kata Sutarto awal bulan ini.
Akibat tidak adanya margin fee dari pemerintah pada tahun ini, sambungnya, Bulog mengalami defisit PSO sebesar Rp269 miliar. "Harusnya Bulog mendapat fee, tapi karena HPP yang rendah, kita potensi defisit 269,03 miliar," ungkap dia.
http://ekbis.sindonews.com/read/2013/01/29/34/711978/mentan-dan-bulog-saling-bantah
Sabtu, 26 Januari 2013
Lembaga Khusus Pangan Diyakini Terbentuk pada 2014
26 Januari 2013
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/26/2/125894/Lembaga-Khusus-Pangan-Diyakini-Terbentuk-pada-2014
Metrotvnews.com, Jakarta: Pemerintah sudah melakukan kajian akademis untuk pembentukan lembaga khusus pangan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Targetnya, lembaga khusus pangan ini akan terbentuk 2014 mendatang.
"Kami sudah melakukan kajian akademis. Kami juga sudah dan akan terus melakukan rapat dengan instansi terkait seperti Kementerian PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara)," tutur Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Ahmad Suryana seusai pembukaan Asia-Pacific Economic Cooperation (Apec) First Senior Official Meeting bertajuk 'Policy Partnership on Food Security' di Jakarta, Jumat (25/1).
Saat UU Pangan tersebut disahkan pada Oktober 2012 lalu, Badan Ketahanan Pangan yang berada di bawah Kementerian Pertanian itu mendapat tugas untuk menyusun struktur serta tugas pokok fungsi pembentukan lembaga khusus pangan tersebut.
Suryana melanjutkan, peraturan presiden yang bakal menjadi pedoman teknis lembaga khusus pangan itu masih dalam proses pembuatan. Menurutnya, lembaga khusus pangan bakal berbentuk lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. "Amanat undang-undangnya begitu. Tapi belum didiskusikan bagaimana bentuknya," kata dia.
Meski demikian, Suryana mengaku, pihaknya juga belum membahas lebih detil lagi apakah lembaga khusus pangan ini akan digabung dengan Bulog atau tidak. Namun, Suryana menetapkan target 1 tahun lembaga khusus pangan itu akan terbentuk.
Sebelumnya, Suryana mengatakan bahwa Badan Ketahanan Pangan yang saat ini ia kepalai merupakan cikal bakal lembaga khusus pangan tersebut. Menurutnya, Menteri Pertanian Suswono sudah menyetujui hal tersebut. "Anggaran lembaga baru ini belum ada, tapi paling tidak kalau sekarang Badan Ketahanan Pangan mengelola sekitar Rp700 miliar, dengan spin off-nya itu paling tidak modal dasarnya segitulah," ungkapnya seusai UU Pangan disahkan.
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/26/2/125894/Lembaga-Khusus-Pangan-Diyakini-Terbentuk-pada-2014
Jumat, 25 Januari 2013
YLKI: pengoplos beras harus diproses hukum
24 Januari 2013
Medan (ANTARA News) - Kepolisian Daerah Sumatera Utara harus tetap memproses secara hukum pelaku pengoplos beras Bulog, Hendri alias Aseng yang melakukan dugaan penipuan terhadap konsumen maupun masyarakat di daerah itu.
"Praktik tidak terpuji yang dilakukan pengoplos beras itu, sudah berlangsung cukup lama, namun baru kali ini terbongkar oleh aparat berwajib," kata Ketua YLKI Sumatera Utara Abubakar Siddik di Medan, Kamis.
Kegiatan pengoplos beras itu, menurut dia, mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi pelaku, karena mencampur beras yang bermutu dengan beras murahan kemudian memasarkannya.
"Perbuatan ini jelas melanggar hukum, karena membohongi konsumen dan masyarakat," ujarnya.
Oleh karena itu, dia minta kepada aparat kepolisian yang mengusut kasus pengoplosan beras Bulog tersebut tetap komit meneruskannya ke pengadilan, sehingga dapat membuat efek jera bagi distributor beras maupun penjual lainnya.
Masyarakat juga diminta tidak tertipu dengan membeli beras yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan dengan tak membelinya di sembarang tempat, serta memeriksa sebelum membeli beras.
"Carilah beras yang benar-benar berkualitas, bagus, wangi dan bila dimasak tidak berubah rasa dan enak dimakan. Inilah ciri-ciri beras yang dicari konsumen dan masyarakat," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, setelah Polda Sumut mengetahui pelaku pengoplos beras itu, diharapkan dapat mengembangkan dan memeriksa sejumlah saksi-saksi lainnya dari pihak Bulog.
"Bisa saja karyawan Bulog itu diduga ikut terlibat dalam pengoplosan beras. Dan permasalahan inilah yang perlu dituntaskan secara hukum, tanpa pilih kasih. Hukum harus ditegakkan," kata Abubakkar.
Sebelumnya, petugas kepolisian Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumut berhasil mengungkap sindikat pengoplosan Beras bulog dan Non-Bulog menjadi kemasan Merek Apel ukuran 50 kg, di Gudang 899 Kayu Putih, Medan Belawan, Rabu malam (9/1).
Petugas menyita sebanyak 200 ton beras Bulog, 300 ton beras tanpa merek dan 20 ton beras merek Apel hasil pengemasan ulang. Petugas juga memeriksa sejumlah saksi termasuk pemilik gudang bernama Hendri alias Aseng.
http://www.antaranews.com/berita/354709/ylki-pengoplos-beras-harus-diproses-hukum
Medan (ANTARA News) - Kepolisian Daerah Sumatera Utara harus tetap memproses secara hukum pelaku pengoplos beras Bulog, Hendri alias Aseng yang melakukan dugaan penipuan terhadap konsumen maupun masyarakat di daerah itu.
"Praktik tidak terpuji yang dilakukan pengoplos beras itu, sudah berlangsung cukup lama, namun baru kali ini terbongkar oleh aparat berwajib," kata Ketua YLKI Sumatera Utara Abubakar Siddik di Medan, Kamis.
Kegiatan pengoplos beras itu, menurut dia, mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi pelaku, karena mencampur beras yang bermutu dengan beras murahan kemudian memasarkannya.
"Perbuatan ini jelas melanggar hukum, karena membohongi konsumen dan masyarakat," ujarnya.
Oleh karena itu, dia minta kepada aparat kepolisian yang mengusut kasus pengoplosan beras Bulog tersebut tetap komit meneruskannya ke pengadilan, sehingga dapat membuat efek jera bagi distributor beras maupun penjual lainnya.
Masyarakat juga diminta tidak tertipu dengan membeli beras yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan dengan tak membelinya di sembarang tempat, serta memeriksa sebelum membeli beras.
"Carilah beras yang benar-benar berkualitas, bagus, wangi dan bila dimasak tidak berubah rasa dan enak dimakan. Inilah ciri-ciri beras yang dicari konsumen dan masyarakat," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, setelah Polda Sumut mengetahui pelaku pengoplos beras itu, diharapkan dapat mengembangkan dan memeriksa sejumlah saksi-saksi lainnya dari pihak Bulog.
"Bisa saja karyawan Bulog itu diduga ikut terlibat dalam pengoplosan beras. Dan permasalahan inilah yang perlu dituntaskan secara hukum, tanpa pilih kasih. Hukum harus ditegakkan," kata Abubakkar.
Sebelumnya, petugas kepolisian Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumut berhasil mengungkap sindikat pengoplosan Beras bulog dan Non-Bulog menjadi kemasan Merek Apel ukuran 50 kg, di Gudang 899 Kayu Putih, Medan Belawan, Rabu malam (9/1).
Petugas menyita sebanyak 200 ton beras Bulog, 300 ton beras tanpa merek dan 20 ton beras merek Apel hasil pengemasan ulang. Petugas juga memeriksa sejumlah saksi termasuk pemilik gudang bernama Hendri alias Aseng.
http://www.antaranews.com/berita/354709/ylki-pengoplos-beras-harus-diproses-hukum
Kamis, 24 Januari 2013
Memangkas Gurita Importir Pangan
23 Januari 2013
Gurita importir pangan kian menenggelamkan potensi Indonesia yang seharusnya menjadi pemasok pangan dunia. Komite Ekonomi Nasional (KEN) — yang sebagian besar anggotanya adalah para pengusaha dan ekonom—pun geram dan mengadukan kondisi buruk ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kartel itu tak hanya menimbulkan kerusakan dahsyat bagi pertanian nasional dan merugikan petani. Industri pengolahan hingga ekonomi secara umum juga sangat dirugikan. Alih-alih memberi makan dunia (feed the world), impor pangan justru kian melonjak. Indonesia sebagai negara agraris makin terperangkap dalam ketergantungan pada pangan impor. Mulai dari beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu, hingga daging, Indonesia mengimpor pangan besar-besaran.
Pada 2008, impor pangan masih sekitar US$ 5 miliar. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun 2011 impor tujuh komoditas pangan itu sudah mencapai 17,6 juta ton, senilai US$ 9,4 miliar atau sekitar Rp 90 triliun. Defisit pangan pun menembus 17,35 juta ton, senilai US$ 9,24 miliar, dengan ekspor hanya 250 ribu ton senilai US$ 150 juta.
Jika keuntungan yang diraup importir 10% saja, ini berarti kartel pangan setidaknya mempertebal kocek Rp 9 triliun tiap tahun. Jumlah itu membuat segelintir importir terus ketagihan dan mampu menggoda para pengambil keputusan negeri ini. Ada sejumlah nama, seperti trio PT Teluk Intan (PT Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill yang ditengarai menguasai impor kedelai. Ada pula empat produsen gula rafinasi terbesar yang menguasai pangsa pasar 65%.
Kekuatan oligopoli yang beroperasi sebagai kartel ini telah mendikte pasar dalam negeri. Pasar menjadi tidak efisien, sehingga harga gampang dikerek tinggi. Ini tentu saja sangat memberatkan masyarakat umum maupun industri pengolahan. Petani lokal pun terpuruk dipermainkan kekuatan modal besar.
Memang secara hukum keberadaan kartel ini sulit dibuktikan. Namun, nyata-nyata masyarakat dan usaha kecil menengah (UKM) kian tercekik. Jika harga gula pada 2009 masih sekitar Rp 6.300 per kilogram (kg), harga kemudian terus naik. Saat ini, harga sudah dua kali lipat lebih, menembus Rp 13.000 per kg. Selain beras, harga kedelai dan daging sapi terus naik. Para perajin tahu tempe dan pedagang bakso pun banyak yang gulung tikar.
Tak bisa ditawar lagi, pemerintah harus segera memecah kekuatan oligopoli komoditas pangan. Pemerintah harus menciptakan iklim persaingan yang sehat dan memperkuat institusi pengawas persaingan. Pemerintah harus memberi insentif dan membangun infrastruktur pertanian, guna mendorong petani dan investor bermitra untuk mendongkrak produksi pangan. Kemitraan ini bisa mencontoh skema inti-plasma perkebunan sawit yang saling menguntungkan.
Pengembangan sentra produksi seperti beras, gula, kedelai, dan peternakan sapi harus disegerakan. Selain mendukung pendanaan yang dibutuhkan, pemerintah pusat dan daerah harus kompak untuk menyediakan lahan yang dibutuhkan. Misalnya untuk gula, lahan tambahan yang dibutuhkan hanya 300.000 hektare, namun ini tak kunjung tersedia hingga investor mundur teratur.
Pemerintah juga harus membangun pusat lelang komoditas di sentra-sentra produksi, sehingga petani mendapatkan tambahan keuntungan yang selama ini dimakan tengkulak. Petani pun akan terdorong untuk meningkatkan kualitas dan produksi. Impor pangan juga harus dikendalikan secara tepat waktu dan tepat jumlah.
Dengan demikian, petani yang tengah panen tidak makin terpukul. Untuk menjaga kepentingan konsumen dan petani secara seimbang, pemerintah juga harus turun tangan dengan menerjunkan langsung Perum Bulog. Dengan pengalaman dan sumber daya besar, BUMN logistik pangan ini sudah siap menjadi stabilisator, tak hanya beras, tapi juga komoditas pangan yang lain.
Nah, kini tinggal ketegasan pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan presiden (perpres) untuk merevitalisasi Bulog. Payung hukum yang kuat ini diperlukan guna menebas kartel yang menggurita di negeri ini, yang melibatkan para politisi hingga pejabat tinggi.
http://www.investor.co.id/tajuk/memangkas-gurita-importir-pangan/53083
Gurita importir pangan kian menenggelamkan potensi Indonesia yang seharusnya menjadi pemasok pangan dunia. Komite Ekonomi Nasional (KEN) — yang sebagian besar anggotanya adalah para pengusaha dan ekonom—pun geram dan mengadukan kondisi buruk ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kartel itu tak hanya menimbulkan kerusakan dahsyat bagi pertanian nasional dan merugikan petani. Industri pengolahan hingga ekonomi secara umum juga sangat dirugikan. Alih-alih memberi makan dunia (feed the world), impor pangan justru kian melonjak. Indonesia sebagai negara agraris makin terperangkap dalam ketergantungan pada pangan impor. Mulai dari beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu, hingga daging, Indonesia mengimpor pangan besar-besaran.
Pada 2008, impor pangan masih sekitar US$ 5 miliar. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun 2011 impor tujuh komoditas pangan itu sudah mencapai 17,6 juta ton, senilai US$ 9,4 miliar atau sekitar Rp 90 triliun. Defisit pangan pun menembus 17,35 juta ton, senilai US$ 9,24 miliar, dengan ekspor hanya 250 ribu ton senilai US$ 150 juta.
Jika keuntungan yang diraup importir 10% saja, ini berarti kartel pangan setidaknya mempertebal kocek Rp 9 triliun tiap tahun. Jumlah itu membuat segelintir importir terus ketagihan dan mampu menggoda para pengambil keputusan negeri ini. Ada sejumlah nama, seperti trio PT Teluk Intan (PT Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill yang ditengarai menguasai impor kedelai. Ada pula empat produsen gula rafinasi terbesar yang menguasai pangsa pasar 65%.
Kekuatan oligopoli yang beroperasi sebagai kartel ini telah mendikte pasar dalam negeri. Pasar menjadi tidak efisien, sehingga harga gampang dikerek tinggi. Ini tentu saja sangat memberatkan masyarakat umum maupun industri pengolahan. Petani lokal pun terpuruk dipermainkan kekuatan modal besar.
Memang secara hukum keberadaan kartel ini sulit dibuktikan. Namun, nyata-nyata masyarakat dan usaha kecil menengah (UKM) kian tercekik. Jika harga gula pada 2009 masih sekitar Rp 6.300 per kilogram (kg), harga kemudian terus naik. Saat ini, harga sudah dua kali lipat lebih, menembus Rp 13.000 per kg. Selain beras, harga kedelai dan daging sapi terus naik. Para perajin tahu tempe dan pedagang bakso pun banyak yang gulung tikar.
Tak bisa ditawar lagi, pemerintah harus segera memecah kekuatan oligopoli komoditas pangan. Pemerintah harus menciptakan iklim persaingan yang sehat dan memperkuat institusi pengawas persaingan. Pemerintah harus memberi insentif dan membangun infrastruktur pertanian, guna mendorong petani dan investor bermitra untuk mendongkrak produksi pangan. Kemitraan ini bisa mencontoh skema inti-plasma perkebunan sawit yang saling menguntungkan.
Pengembangan sentra produksi seperti beras, gula, kedelai, dan peternakan sapi harus disegerakan. Selain mendukung pendanaan yang dibutuhkan, pemerintah pusat dan daerah harus kompak untuk menyediakan lahan yang dibutuhkan. Misalnya untuk gula, lahan tambahan yang dibutuhkan hanya 300.000 hektare, namun ini tak kunjung tersedia hingga investor mundur teratur.
Pemerintah juga harus membangun pusat lelang komoditas di sentra-sentra produksi, sehingga petani mendapatkan tambahan keuntungan yang selama ini dimakan tengkulak. Petani pun akan terdorong untuk meningkatkan kualitas dan produksi. Impor pangan juga harus dikendalikan secara tepat waktu dan tepat jumlah.
Dengan demikian, petani yang tengah panen tidak makin terpukul. Untuk menjaga kepentingan konsumen dan petani secara seimbang, pemerintah juga harus turun tangan dengan menerjunkan langsung Perum Bulog. Dengan pengalaman dan sumber daya besar, BUMN logistik pangan ini sudah siap menjadi stabilisator, tak hanya beras, tapi juga komoditas pangan yang lain.
Nah, kini tinggal ketegasan pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan presiden (perpres) untuk merevitalisasi Bulog. Payung hukum yang kuat ini diperlukan guna menebas kartel yang menggurita di negeri ini, yang melibatkan para politisi hingga pejabat tinggi.
http://www.investor.co.id/tajuk/memangkas-gurita-importir-pangan/53083
Warga Protes Penggelapan Raskin Senilai Rp2,6 Miliar
23 Januari 2013
Pamekasan - Ratusan warga dari Desa Larangan Slampar, Pamekasan, Madura, Rabu, berunjuk rasa ke Kantor Bulog menuntutagar segera mengusut dugaan penggelapan bantuan beras bagi masyarakat miskin (raskin), senilai Rp2,6 miliar.
Mereka datang ke kantor Bulog Pamekasan dengan mengendarai berbagai jenis kendaraan bermotor, sambil membentang sejumlah poster dan spanduk yang berisi kritikas atas dugaan penyimpangan raskin yang diduga dilakukan oknum pegawai Bulog.
Menurut korlap aksi Zainullah, penggelapan raskin senilai Rp2,6 miliar yang diduga dilakukan oknum pegawai Bulog itu, selama kurun waktu 2010 hingga awal 2013 ini.
"Selama kurun waktu 2010 sampai 2013, masyarakat di Desa Larangan Slampar hanya hanya menerima jatah bantuan raskin sebanyak sembilan kali," kata Zainullah.
Padahal, sesuai dengan ketentuan, bantuan raskin didistribusikan setiap bulan, kepada masyarakat miskin penerima manfaat.
Para pengunjuk rasa dari Desa Larangan Slampar, Kecamatan Tlanakan ini, juga menyebarkan brosur yang menjelaskan tentang alokasi bantuan serta jumlah besaran uang yang seharusnya disalurkan masyarakat kepada penerima manfaat.
Diantaranya disebutkan, pada tahun 2010 alokasi distribusi bantuan raskin di Desa Larangan Slampar, Kecamatan Tlanakan, seharusnya 909.000.000. Dengan rincian, jumlah rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) di desa itu sebanyak 1.001 RTS dengan jumlah bantuan Rp15 kilogram per RTS.
Harga tebus per satu kilogram beras Rp6.000 per kilogram, sehingga selama 12 bulan pada tahun itu, bantuan beras senilai Rp818.100.000. Jika dengan bantuan raskin ke-13, maka nilai bantuan beras yang seharusnya dialokasikan semuanya Rp909.000.000.
"Pada tahun 2011, nilai bantuan juga sama, karena jumlah RTS penerima bantuan juga sama, yakni senilai Rp909.000.000," kata Zainul menjelaskan.
Sementara pada tahun 2012, menurut catatan pengunjuk rasa, bantuan raskin yang tidak disitsribusikan, karena saat itu, sebagian masyarakat ada yang menerima bantuan, hanya senilai Rp145.400.000.
Sehingga, selama kurun waktu 2010 hingga awal 2013 ini, jatah raskin milik warga yang diduga digelapkan oknum Bulog mencapai Rp2,6 miliar.
"Nah, atas dasar itulah, maka kami mendatangi kantor Bulog ini, juga meminta penjelasan lebih lanjut terkait permasalah ini," kata Zainullah dalam orasinya.
Sebelum ke kantor Bulog, massa pengunjuk rasa dari Desa Larangan Slampar, ini mendatangi kantor Kecamatan Tlanakan.
Disana, mereka juga menggelar orasi, meminta pertanggung jawaban pihak kecamatan, karena mereka diduga terlibat dalam kasus penggelapan raskin dalam tiga tahun terakhir ini.
Puas berorasi, massa melanjutkan aksinya ke kantor Bulog, guna menyampai tuntutan mereka secara langsung kepada Kepala Gudang Bulog Pamekasan.
Sementara Kepala Seksi (Kasi) Program Pengembangan Usaha (PPU) Bulog Pamekasan Achmad Yani membantah, Bulog telah melakukan penggelapan bantuan raskin, seperti yang ditudingkan para pengunjuk rasa.
Ia mengaku, pihak Bulog telah mendistribusikan raskin setiap bulan, mulai dari gudang Bulog hingga titik distibusi, yaitu Kepala Desa.
"Dan kami mempunyai bukti distribusi, yang diketahui Kepala Desa dan Para Camat di Pamekasan ini," katanya menjelaskan.
Ia juga menjelaskan, tugas Bulog bukan menyalurkan bantuan raskin secara langsung kepada masyarakat tetapi hanya sampai pada kepala desa, sedangkan distribusi kepada masyarakat adalah tugas kepala desa beserta para perangkatnya.
Usai berdialog dengan perwakilan pegawai Bulog ini, para pengunjuk rasa dari Desa Larangan Slampar itu, selanjutnya bergerak menuju kantor DPRD di Jalan Kabupaten Pamekasan.
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/103228/warga-protes-penggelapan-raskin-senilai-rp26-miliar
Pamekasan - Ratusan warga dari Desa Larangan Slampar, Pamekasan, Madura, Rabu, berunjuk rasa ke Kantor Bulog menuntutagar segera mengusut dugaan penggelapan bantuan beras bagi masyarakat miskin (raskin), senilai Rp2,6 miliar.
Mereka datang ke kantor Bulog Pamekasan dengan mengendarai berbagai jenis kendaraan bermotor, sambil membentang sejumlah poster dan spanduk yang berisi kritikas atas dugaan penyimpangan raskin yang diduga dilakukan oknum pegawai Bulog.
Menurut korlap aksi Zainullah, penggelapan raskin senilai Rp2,6 miliar yang diduga dilakukan oknum pegawai Bulog itu, selama kurun waktu 2010 hingga awal 2013 ini.
"Selama kurun waktu 2010 sampai 2013, masyarakat di Desa Larangan Slampar hanya hanya menerima jatah bantuan raskin sebanyak sembilan kali," kata Zainullah.
Padahal, sesuai dengan ketentuan, bantuan raskin didistribusikan setiap bulan, kepada masyarakat miskin penerima manfaat.
Para pengunjuk rasa dari Desa Larangan Slampar, Kecamatan Tlanakan ini, juga menyebarkan brosur yang menjelaskan tentang alokasi bantuan serta jumlah besaran uang yang seharusnya disalurkan masyarakat kepada penerima manfaat.
Diantaranya disebutkan, pada tahun 2010 alokasi distribusi bantuan raskin di Desa Larangan Slampar, Kecamatan Tlanakan, seharusnya 909.000.000. Dengan rincian, jumlah rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) di desa itu sebanyak 1.001 RTS dengan jumlah bantuan Rp15 kilogram per RTS.
Harga tebus per satu kilogram beras Rp6.000 per kilogram, sehingga selama 12 bulan pada tahun itu, bantuan beras senilai Rp818.100.000. Jika dengan bantuan raskin ke-13, maka nilai bantuan beras yang seharusnya dialokasikan semuanya Rp909.000.000.
"Pada tahun 2011, nilai bantuan juga sama, karena jumlah RTS penerima bantuan juga sama, yakni senilai Rp909.000.000," kata Zainul menjelaskan.
Sementara pada tahun 2012, menurut catatan pengunjuk rasa, bantuan raskin yang tidak disitsribusikan, karena saat itu, sebagian masyarakat ada yang menerima bantuan, hanya senilai Rp145.400.000.
Sehingga, selama kurun waktu 2010 hingga awal 2013 ini, jatah raskin milik warga yang diduga digelapkan oknum Bulog mencapai Rp2,6 miliar.
"Nah, atas dasar itulah, maka kami mendatangi kantor Bulog ini, juga meminta penjelasan lebih lanjut terkait permasalah ini," kata Zainullah dalam orasinya.
Sebelum ke kantor Bulog, massa pengunjuk rasa dari Desa Larangan Slampar, ini mendatangi kantor Kecamatan Tlanakan.
Disana, mereka juga menggelar orasi, meminta pertanggung jawaban pihak kecamatan, karena mereka diduga terlibat dalam kasus penggelapan raskin dalam tiga tahun terakhir ini.
Puas berorasi, massa melanjutkan aksinya ke kantor Bulog, guna menyampai tuntutan mereka secara langsung kepada Kepala Gudang Bulog Pamekasan.
Sementara Kepala Seksi (Kasi) Program Pengembangan Usaha (PPU) Bulog Pamekasan Achmad Yani membantah, Bulog telah melakukan penggelapan bantuan raskin, seperti yang ditudingkan para pengunjuk rasa.
Ia mengaku, pihak Bulog telah mendistribusikan raskin setiap bulan, mulai dari gudang Bulog hingga titik distibusi, yaitu Kepala Desa.
"Dan kami mempunyai bukti distribusi, yang diketahui Kepala Desa dan Para Camat di Pamekasan ini," katanya menjelaskan.
Ia juga menjelaskan, tugas Bulog bukan menyalurkan bantuan raskin secara langsung kepada masyarakat tetapi hanya sampai pada kepala desa, sedangkan distribusi kepada masyarakat adalah tugas kepala desa beserta para perangkatnya.
Usai berdialog dengan perwakilan pegawai Bulog ini, para pengunjuk rasa dari Desa Larangan Slampar itu, selanjutnya bergerak menuju kantor DPRD di Jalan Kabupaten Pamekasan.
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/103228/warga-protes-penggelapan-raskin-senilai-rp26-miliar
Rabu, 23 Januari 2013
"Masa Keemasan Kedelai RI Hilang karena IMF"
23 Januari 2013
JAKARTA - Gabungan Koperasi Tahu Tempe Seluruh Indonesia (Gakoptindo) menyatakan kedatangaan IMF memburamkan masa keemasan kedelai selama 14 tahun belakangan ini. Pasalnya, harga kedelai mengikuti harga internasional.
Ketua Gakoptindo Ayip Syarifudin mengatakan, pengrajin tempe tahu saat ini mengalami tiga masa. Masa pertama yaitu sejak zaman dulu saat pembuatan tempe tahu sangat sederhana yang beralih setelah 1979.
Pada 1979 sampai 1998 adalah masa keemasan kedelai karena ada Bulog. Bahkan, di 1992, Indonesia pernah memiliki lahan kedelai 10 ribu hektare (ha) dengan hasil sangat baik.
"Zaman keemasan itu semua berperan, bisa revitalisasi kampung, naik haji," kata Ayip, saat menghadiri Seminar Revitalisasi Tata Niaga Menuju Swasembada Kedelai, di Gedung Nusantara II MPR, Jakarta, Rabu (23/1/2013).
Namun Ayip mengungkapkan, sejak 1998, masa keemasan tersebut berakhir dengan masuknya IMF ke Indonesia sejak 14 tahun lalu sehingga Bulog. Sampai saat itu, lembaga pemerintah yang menangani komoditas pertanian Indonesia tidak lagi memegang peranannya.
"Masa keemasan itu berakhir 1998 dengan masuknya IMF ke Indonesia sehingga pasar bebas dan Bulog tidak lagi memiliki peran itu," ungkap Ayip.
Menurut Ayip dengan peranan Bulog yang sangat minimal, membuat para pengrajin tahu tempe memiliki utang kepada importir.
Padahal, ketersediaan kedelai selalu ada dan variasinya banyak. Namun, harga kedelai sangat membingungkan karena mengikuti harga internasional di Chicago.
"Sehingga keadaan ini sangat memeprhatinkan kami," tutup Ayip.
http://economy.okezone.com/read/2013/01/23/320/750582/masa-keemasan-kedelai-ri-hilang-karena-imf
JAKARTA - Gabungan Koperasi Tahu Tempe Seluruh Indonesia (Gakoptindo) menyatakan kedatangaan IMF memburamkan masa keemasan kedelai selama 14 tahun belakangan ini. Pasalnya, harga kedelai mengikuti harga internasional.
Ketua Gakoptindo Ayip Syarifudin mengatakan, pengrajin tempe tahu saat ini mengalami tiga masa. Masa pertama yaitu sejak zaman dulu saat pembuatan tempe tahu sangat sederhana yang beralih setelah 1979.
Pada 1979 sampai 1998 adalah masa keemasan kedelai karena ada Bulog. Bahkan, di 1992, Indonesia pernah memiliki lahan kedelai 10 ribu hektare (ha) dengan hasil sangat baik.
"Zaman keemasan itu semua berperan, bisa revitalisasi kampung, naik haji," kata Ayip, saat menghadiri Seminar Revitalisasi Tata Niaga Menuju Swasembada Kedelai, di Gedung Nusantara II MPR, Jakarta, Rabu (23/1/2013).
Namun Ayip mengungkapkan, sejak 1998, masa keemasan tersebut berakhir dengan masuknya IMF ke Indonesia sejak 14 tahun lalu sehingga Bulog. Sampai saat itu, lembaga pemerintah yang menangani komoditas pertanian Indonesia tidak lagi memegang peranannya.
"Masa keemasan itu berakhir 1998 dengan masuknya IMF ke Indonesia sehingga pasar bebas dan Bulog tidak lagi memiliki peran itu," ungkap Ayip.
Menurut Ayip dengan peranan Bulog yang sangat minimal, membuat para pengrajin tahu tempe memiliki utang kepada importir.
Padahal, ketersediaan kedelai selalu ada dan variasinya banyak. Namun, harga kedelai sangat membingungkan karena mengikuti harga internasional di Chicago.
"Sehingga keadaan ini sangat memeprhatinkan kami," tutup Ayip.
http://economy.okezone.com/read/2013/01/23/320/750582/masa-keemasan-kedelai-ri-hilang-karena-imf
Selasa, 22 Januari 2013
Pengoplos Beras Bulog Tak Tersentuh, DPRDSU : Kadivre Diduga Terlibat
21 Januari 2013
Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sumut harusnya memeriksa Kepala Divisi Regional (Divre) Badan Urusan Logistik (Bulog) Sumut.
Pemeriksaan dilakukan terkait ditemukannya pengoplosan beras milik H alias Aseng, di Gudang Jalan Kayu Putih, Kecamatan Medan Deli, beberapa pekan lalu.
Selain itu, juga karena di gudang milik Aseng yang juga mempunyai toko Jadi, Jalan Sei Sikamping, Helvetia, ditemukan 200 ton beras Bulog. Oleh karenanya Poldasu harus membongkar habis pengoplos beras Bulog yang diduga sudah diketahui dan diduga dilindungi Kadivre Bulog Sumut.
"Kuat dugaan Kadivre juga terlibat," ujar Anggota DPRDSU H Syamsul Hilal kepada SUMUT24 di Medan, Minggu (20/1).
Menurutnya, pengoplosan beras bulog oleh warga terurunan tersebut diduga sudah berlangsung lama sehingga dalam hal ini Kapoldasu agar memeriksa seluruh pejabat Divre Bulog Sumut yang terlibat.
"Karena bagaimanapun juga oknum atau pejabat Divre Bulog Sumut banyak yang terlibat," ujarnya.
Lebih lanjut dikatakannya, pengoplosan beras dengan harga beli murah dan dijual mahal merupakan kejahatan terselubung. Kapoldasu dan jajarannya harus menindaklanjuti seluruh temuan tersebut, jangan sampai masyarakat kembali kecewa dengan aparat penegak hukum yang kurang tegas.
"Pemeriksaan kepada pejabat dan penahanan terhadap tersangka pengoplos harus terbuka dan transparan, karena masyarakat juga ingin mengetahui perkembangan kasus tersebut," kata Hilal.
Beras Bulog adalah beras untuk rakyat miskin dan tidak dibenarkan untuk disalahgunakan, lebih-lebih untuk memperkaya diri, kroni dan kelompoknya.
"Kepada Menteri Bulog RI di Jakarta, kalau memang Kadivre Bulog Sumut ikut terlibat dalam permainan pengoplosan tersebut harus ditindak dengan tegas, kalau perlu dicopot dari jabatannya,"tandas Hilal.
http://www.sumut24.com/view.php?newsid=4283
Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sumut harusnya memeriksa Kepala Divisi Regional (Divre) Badan Urusan Logistik (Bulog) Sumut.
Pemeriksaan dilakukan terkait ditemukannya pengoplosan beras milik H alias Aseng, di Gudang Jalan Kayu Putih, Kecamatan Medan Deli, beberapa pekan lalu.
Selain itu, juga karena di gudang milik Aseng yang juga mempunyai toko Jadi, Jalan Sei Sikamping, Helvetia, ditemukan 200 ton beras Bulog. Oleh karenanya Poldasu harus membongkar habis pengoplos beras Bulog yang diduga sudah diketahui dan diduga dilindungi Kadivre Bulog Sumut.
"Kuat dugaan Kadivre juga terlibat," ujar Anggota DPRDSU H Syamsul Hilal kepada SUMUT24 di Medan, Minggu (20/1).
Menurutnya, pengoplosan beras bulog oleh warga terurunan tersebut diduga sudah berlangsung lama sehingga dalam hal ini Kapoldasu agar memeriksa seluruh pejabat Divre Bulog Sumut yang terlibat.
"Karena bagaimanapun juga oknum atau pejabat Divre Bulog Sumut banyak yang terlibat," ujarnya.
Lebih lanjut dikatakannya, pengoplosan beras dengan harga beli murah dan dijual mahal merupakan kejahatan terselubung. Kapoldasu dan jajarannya harus menindaklanjuti seluruh temuan tersebut, jangan sampai masyarakat kembali kecewa dengan aparat penegak hukum yang kurang tegas.
"Pemeriksaan kepada pejabat dan penahanan terhadap tersangka pengoplos harus terbuka dan transparan, karena masyarakat juga ingin mengetahui perkembangan kasus tersebut," kata Hilal.
Beras Bulog adalah beras untuk rakyat miskin dan tidak dibenarkan untuk disalahgunakan, lebih-lebih untuk memperkaya diri, kroni dan kelompoknya.
"Kepada Menteri Bulog RI di Jakarta, kalau memang Kadivre Bulog Sumut ikut terlibat dalam permainan pengoplosan tersebut harus ditindak dengan tegas, kalau perlu dicopot dari jabatannya,"tandas Hilal.
http://www.sumut24.com/view.php?newsid=4283
Senin, 21 Januari 2013
Korupsi Rp 6,7 Miliar di Bulog, Gunawan NG Jadi Buruan Kejaksaan
21 Januari 2013
SURABAYA, Berita HUKUM - Kasus dugaan korupsi korupsi senilai Rp 6,7 miliar di Bulog Jatim, Gunawan NG Direktur Utama PT Agung Pratama Lestari (APL) yang sebelumnya diputus bebas di Pengadilan Negeri Surabaya, Desember 2007, kini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kejaksaan.
Dalam kasus korupsi miliaran ini, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi jaksa yang menuntutnya enam tahun. Namun saat dipanggil Kejaksaan untuk dieksekusi, Gunawan NG tak menunjukkan batang hidungnya, alias kabur. Modus buron selalu sama, Kejaksaan pun masih saja kecolongan.
Kisahnya, Gunawan Ng selaku Direktur Utama PT APL dipercaya Bulog melakukan pengadaan gabah kering giling (GKG). Ternyata, perusahaan ini menunjuk mitra untuk pengadaan gabah tersebut. Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) kala membacakan dakwaan, GKG itu seharusnya dikeringkan dengan drying center milik Bulog, tapi itu tidak dilakukan Gunawan Ng.
Tahun 2004, APL mengambil untung Rp 90 perkilogram dari harga GKG Rp 1.725 perkilogram, Sedangkan pada 2005 mengambil untung Rp 25 perkilogram dari harga GKG Rp 1.765 perkilogram. Jumlah GKG yang disetor ke Bulog 118.000 ton.
http://www.beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Korupsi+Rp+6%2C7+Miliar+di+Bulog%2C+Gunawan+NG+Jadi+Buruan+Kejaksaan&subjudul=DPO
SURABAYA, Berita HUKUM - Kasus dugaan korupsi korupsi senilai Rp 6,7 miliar di Bulog Jatim, Gunawan NG Direktur Utama PT Agung Pratama Lestari (APL) yang sebelumnya diputus bebas di Pengadilan Negeri Surabaya, Desember 2007, kini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kejaksaan.
Dalam kasus korupsi miliaran ini, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi jaksa yang menuntutnya enam tahun. Namun saat dipanggil Kejaksaan untuk dieksekusi, Gunawan NG tak menunjukkan batang hidungnya, alias kabur. Modus buron selalu sama, Kejaksaan pun masih saja kecolongan.
Kisahnya, Gunawan Ng selaku Direktur Utama PT APL dipercaya Bulog melakukan pengadaan gabah kering giling (GKG). Ternyata, perusahaan ini menunjuk mitra untuk pengadaan gabah tersebut. Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) kala membacakan dakwaan, GKG itu seharusnya dikeringkan dengan drying center milik Bulog, tapi itu tidak dilakukan Gunawan Ng.
Tahun 2004, APL mengambil untung Rp 90 perkilogram dari harga GKG Rp 1.725 perkilogram, Sedangkan pada 2005 mengambil untung Rp 25 perkilogram dari harga GKG Rp 1.765 perkilogram. Jumlah GKG yang disetor ke Bulog 118.000 ton.
http://www.beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Korupsi+Rp+6%2C7+Miliar+di+Bulog%2C+Gunawan+NG+Jadi+Buruan+Kejaksaan&subjudul=DPO
Politisasi HPP Beras
21 Januari 2013
TAHUN 2014 makin dekat, meski kita baru memasuki 2013. Jauh sebelumnya, banyak pihak menyiapkan segalanya menyongsong tahun Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014. Publik sangat faham bahwa segala sesuatu yang dilakukan aktor politik pada tingkat manapun akan semakin intensif digarap menurut skenario suksesnya dalam kontes paling akbar bagi kemenangan kelompok politiknya. Karena, semuanya mau menang.
Jargon semua mau menang memang sering menyesatkan. Segala program pembangunan dan kebijakan dalam kewenangan setiap kelompok, pasti disusun berdasarkan skenario pemenangan pemilu, tetapi senantiasa dibungkus bumbu politik kesejahteraan populis. Realitasnya, mendekati hari H, sungguh semakin tidak jelas apakah proyek, program dan kebijakan pembangunan itu politik kesejahteraan atau politik citra semata.
Ketidakjelasan nyaris nampak di seluruh urusan pembangunan, termasuk kebijakan Pemerintah tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah petani. Tidak seperti yang terjadi pada setiap akhir tahun beberapa waktu terakhir yang selalu diwarnai pembahasan tentang kenaikan HPP sebagai penyesuaian harga bagi kesejahteraan petani. Akhir 2012 justru diwarnai penegasan pemerintah bahwa HPP 2013 tidak dinaikkan. Alasannya? HPP RI sudah tertinggi se Asia Tenggara.
Tidak naik, artinya Inpres 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah tetap berlaku. Berdasarkan Inpres yang mulai berlaku 27 Februari 2012, HPP beras adalah Rp 6.600 per kilogram dan HPP Gabah Kering Panen (GKP), Rp 3300 dan Rp 3350 per kilogram pada tingkat petani dan penggilingan. Sementara HPP Gabah Kering Giling (GKG) Rp 4150 dan Rp 4200 per kilogram untuk tingkat penggilingan dan gudang Bulog. Semua itu terkait dengan kualitas medium.
Ada beberapa kejanggalan dari keputusan tentang HPP yang tahun 2013 tidak naik ini. Pertama, tidak naiknya HPP berarti selama 2013 petani dipaksa menerima HPP yang nominalnya sama dengan HPP 27 Februari 2012. Kedua, berbasis catatan makroekonomi bahwa inflasi RI mencapai 6% -7% per tahun, maka HPP beras yang Rp 6.600 per kilogram, sudah pasti memiliki nilai riel yang merosot.
Ketiga, bukankah ini menimbulkan pertanyaan: bahwa komoditas lain boleh naik harganya dan inflationary, tetapi harga beras tidak boleh naik selama dua tahun? Memangnya beras pengaman inflasi? Keempat, mengingat petani beras adalah konstituen terbesar Pemilu 2014, sungguh tidak bisa dipahami bahwa mereka harus berkorban menerima nasib berasnya makin murah, dalam nilai riel. Bukankah ini sebuah kezaliman pembangunan nasional, justru bagi mayoritas warga?
Kelima, alasannya HPP beras Indonesia sudah tertinggi se Asia Tenggara. Ini keputusan sangat sembrana dalam urusan berbangsa. Satu sisi, harga komoditas strategis teramat terkait dengan kebijakan moneter-fiskal-tataniaga negara masing-masing. Sehingga kalkulasinya tidak bisa sekedar kalkulasi finansial belaka, seperti alasan bahwa Indonesia tertinggi. Kita harus berani berhitung tentang derajat proteksi efektif, termasuk mengukur pengaruh kebijakan moneter, fiskal dan tataniaga tiap negara yang dirujuk dalam hal ini.
Pada sisi lain, nilai sebuah komoditas sangatlah tergantung pada kepentingan politik dan strategis setiap negara. Bagi RI, sungguh tidak cerdas ketika menilai beras sekadar dari tinjauan finansial belaka, dengan mengatakannya lebih tinggi atau lebih murah. Karena, sebutir beras senantiasa memiliki makna politik, makna sosial, berurusan dengan keadilan dan kedaulatan lokal, dan bahkan bermakna spiritual. Adalah kebodohan besar memaknai beras sebagai komoditas ekonomis, apalagi finansial semata.
Uraian singkat yang disampaikan jelas sekali membuktikan bahwa urusan HPP ini sudah terjebak politisasi 2014, mempermainkan isu kesejahteraan rakyat tani, meski senyatanya kepentingan citra lebih menonjol. Sama sekali tidak masuk akal ketika HPP yang sudah berusia satu tahun tidak akan diubah pada tahun 2013. Tidak masuk akal karena mencederai mayoritas pemilik contrengan RI. Ini hanyalah permainan politik murahan?
Politisasi HPP dalam hal ini nampaknya angon wajah. Kapan waktu naik yang tepat sekaligus memunculkan ‘pahlawan’, mendongkrak citra politik. Untuk membuktikan, mari kita amati panggung politik. Kita saksikan sampai kapan HPP tidak naik menghadapi hari H, 2014? Memangnya nggak butuh contrengan petani?
(M Maksum Machfoedz, Guru Besar TIP-FTP UGM, Ketua PB NU)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1699/politisasi-hpp-beras.kr
TAHUN 2014 makin dekat, meski kita baru memasuki 2013. Jauh sebelumnya, banyak pihak menyiapkan segalanya menyongsong tahun Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014. Publik sangat faham bahwa segala sesuatu yang dilakukan aktor politik pada tingkat manapun akan semakin intensif digarap menurut skenario suksesnya dalam kontes paling akbar bagi kemenangan kelompok politiknya. Karena, semuanya mau menang.
Jargon semua mau menang memang sering menyesatkan. Segala program pembangunan dan kebijakan dalam kewenangan setiap kelompok, pasti disusun berdasarkan skenario pemenangan pemilu, tetapi senantiasa dibungkus bumbu politik kesejahteraan populis. Realitasnya, mendekati hari H, sungguh semakin tidak jelas apakah proyek, program dan kebijakan pembangunan itu politik kesejahteraan atau politik citra semata.
Ketidakjelasan nyaris nampak di seluruh urusan pembangunan, termasuk kebijakan Pemerintah tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah petani. Tidak seperti yang terjadi pada setiap akhir tahun beberapa waktu terakhir yang selalu diwarnai pembahasan tentang kenaikan HPP sebagai penyesuaian harga bagi kesejahteraan petani. Akhir 2012 justru diwarnai penegasan pemerintah bahwa HPP 2013 tidak dinaikkan. Alasannya? HPP RI sudah tertinggi se Asia Tenggara.
Tidak naik, artinya Inpres 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah tetap berlaku. Berdasarkan Inpres yang mulai berlaku 27 Februari 2012, HPP beras adalah Rp 6.600 per kilogram dan HPP Gabah Kering Panen (GKP), Rp 3300 dan Rp 3350 per kilogram pada tingkat petani dan penggilingan. Sementara HPP Gabah Kering Giling (GKG) Rp 4150 dan Rp 4200 per kilogram untuk tingkat penggilingan dan gudang Bulog. Semua itu terkait dengan kualitas medium.
Ada beberapa kejanggalan dari keputusan tentang HPP yang tahun 2013 tidak naik ini. Pertama, tidak naiknya HPP berarti selama 2013 petani dipaksa menerima HPP yang nominalnya sama dengan HPP 27 Februari 2012. Kedua, berbasis catatan makroekonomi bahwa inflasi RI mencapai 6% -7% per tahun, maka HPP beras yang Rp 6.600 per kilogram, sudah pasti memiliki nilai riel yang merosot.
Ketiga, bukankah ini menimbulkan pertanyaan: bahwa komoditas lain boleh naik harganya dan inflationary, tetapi harga beras tidak boleh naik selama dua tahun? Memangnya beras pengaman inflasi? Keempat, mengingat petani beras adalah konstituen terbesar Pemilu 2014, sungguh tidak bisa dipahami bahwa mereka harus berkorban menerima nasib berasnya makin murah, dalam nilai riel. Bukankah ini sebuah kezaliman pembangunan nasional, justru bagi mayoritas warga?
Kelima, alasannya HPP beras Indonesia sudah tertinggi se Asia Tenggara. Ini keputusan sangat sembrana dalam urusan berbangsa. Satu sisi, harga komoditas strategis teramat terkait dengan kebijakan moneter-fiskal-tataniaga negara masing-masing. Sehingga kalkulasinya tidak bisa sekedar kalkulasi finansial belaka, seperti alasan bahwa Indonesia tertinggi. Kita harus berani berhitung tentang derajat proteksi efektif, termasuk mengukur pengaruh kebijakan moneter, fiskal dan tataniaga tiap negara yang dirujuk dalam hal ini.
Pada sisi lain, nilai sebuah komoditas sangatlah tergantung pada kepentingan politik dan strategis setiap negara. Bagi RI, sungguh tidak cerdas ketika menilai beras sekadar dari tinjauan finansial belaka, dengan mengatakannya lebih tinggi atau lebih murah. Karena, sebutir beras senantiasa memiliki makna politik, makna sosial, berurusan dengan keadilan dan kedaulatan lokal, dan bahkan bermakna spiritual. Adalah kebodohan besar memaknai beras sebagai komoditas ekonomis, apalagi finansial semata.
Uraian singkat yang disampaikan jelas sekali membuktikan bahwa urusan HPP ini sudah terjebak politisasi 2014, mempermainkan isu kesejahteraan rakyat tani, meski senyatanya kepentingan citra lebih menonjol. Sama sekali tidak masuk akal ketika HPP yang sudah berusia satu tahun tidak akan diubah pada tahun 2013. Tidak masuk akal karena mencederai mayoritas pemilik contrengan RI. Ini hanyalah permainan politik murahan?
Politisasi HPP dalam hal ini nampaknya angon wajah. Kapan waktu naik yang tepat sekaligus memunculkan ‘pahlawan’, mendongkrak citra politik. Untuk membuktikan, mari kita amati panggung politik. Kita saksikan sampai kapan HPP tidak naik menghadapi hari H, 2014? Memangnya nggak butuh contrengan petani?
(M Maksum Machfoedz, Guru Besar TIP-FTP UGM, Ketua PB NU)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1699/politisasi-hpp-beras.kr
Minggu, 20 Januari 2013
HKTI Dukung Pemerintah Hadapi Gugatan AS di WTO
20 Januari 2013
AS pun harus dikritisi oleh pemerintah RI. “Mereka banyak melemparkan tuduhan terhadap produk ekspor kita, seperti cassiavera atau kayu manis yang katanya menggunakan formalin, atau produk CPO kita yang dituduh tak ramah lingkungan, sehingga ketika tiba di AS ditahan,” ujar Fadli Zon.
HKTI menyatakan, pemerintah harus berani melawan gugatan AS agar para petani Indonesia bisa hidup lebih sejahtera. “Kebijakan kuota impor bukan soal jual beli produk, tetapi harus dilandasi kebutuhan nasional, kemampuan produksi dalam negeri, dan perlindungan terhadap petani,” kata Fadli Zon.
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/383848-hkti-dukung-pemerintah-hadapi-gugatan-as-di-wto
AS menggugat kebijakan pembatasan impor pangan yang diterapkan RI.
VIVAnews –
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mendukung segala upaya
pemerintah untuk menghadapi gugatan Amerika Serikat ke Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan pembatasan impor hortikultura
di Indonesia.
AS menyesalkan kebijakan izin impor ketat dan pembatasan impor pangan itu. Pemerintah pun memiliki waktu 60 hari sebelum melakukan klarifikasi balik ke WTO.
AS menyesalkan kebijakan izin impor ketat dan pembatasan impor pangan itu. Pemerintah pun memiliki waktu 60 hari sebelum melakukan klarifikasi balik ke WTO.
“HKTI yakin pemerintah
bisa mempertahankan kepentingan nasional. Jangan mau didikte oleh AS.
Ini juga soal kedaulatan dan harkat kita sebagai bangsa,” kata Sekjen
Dewan Pimpinan Nasional HKTI, Fadli Zon, Minggu 20 Januari 2013.
Fadli Zon mengatakan, kebijakan kuota impor adalah hak setiap negara. Semua negara, dengan alasan dan cara yang berbeda, menerapkan kebijakan kuota impor. Ini karena negara tak hanya ingin menjadi pasar bagi produk pertanian negara lain.
“Kuota impor kita sudah terlalu tinggi. Izin pemerintah untuk impor daging tahun ini saja sudah melebihi kuota yang ditetapkan sebanyak 14.650 ton,” kata Fadli Zon.
Padahal, kualitas produk
daging domestik RI masih lebih baik dan sehat, sedangkan impor daging AS
masih rawan dengan penyakit hewan menular seperti kuku dan mulut.Fadli Zon mengatakan, kebijakan kuota impor adalah hak setiap negara. Semua negara, dengan alasan dan cara yang berbeda, menerapkan kebijakan kuota impor. Ini karena negara tak hanya ingin menjadi pasar bagi produk pertanian negara lain.
“Kuota impor kita sudah terlalu tinggi. Izin pemerintah untuk impor daging tahun ini saja sudah melebihi kuota yang ditetapkan sebanyak 14.650 ton,” kata Fadli Zon.
AS pun harus dikritisi oleh pemerintah RI. “Mereka banyak melemparkan tuduhan terhadap produk ekspor kita, seperti cassiavera atau kayu manis yang katanya menggunakan formalin, atau produk CPO kita yang dituduh tak ramah lingkungan, sehingga ketika tiba di AS ditahan,” ujar Fadli Zon.
HKTI menyatakan, pemerintah harus berani melawan gugatan AS agar para petani Indonesia bisa hidup lebih sejahtera. “Kebijakan kuota impor bukan soal jual beli produk, tetapi harus dilandasi kebutuhan nasional, kemampuan produksi dalam negeri, dan perlindungan terhadap petani,” kata Fadli Zon.
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/383848-hkti-dukung-pemerintah-hadapi-gugatan-as-di-wto
Tiga Staf Bulog Dihukum 1 Tahun Penjara
19 Januari 2013
RUTENG, TIMEX - Tiga karyawan Perum Bulog yang menjadi terpidana kasus korupsi dana insentif tahun 2009 akhirnya dijebloskan ke LP Ruteng, Manggarai sejak pukul 15.30 Wita, Kamis (17/1).
Ketiga terpidana tersebut dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi oleh Mahkamah Agung (MA) dengan nomor putusan 1847.K/Pid.SUs/2011 tertanggal 29 Mei 2012 dan dipenjara selama satu tahun.
"Kami hanya menjalankan perintah eksekusi oleh MA. Salinan putusan baru diterima November lalu dan perintah eksekusi baru diterima belum lama ini. Dan sesuai perintah maka kita langsung eksekusi para terpidana untuk dijebloskan ke penjara," kata Kajari Ruteng, Gembong Priyanto kepada koran ini, Jumat (18/1).
Gembong menjelaskan, tiga terpidana kasus korupsi di kantor Bulog Sub Divre Ruteng adalah Hasnadaya Mansuetus, Paskalis Nara dan Hamid Abdulla. Sesuai keputusan MA, ketiga terpidana terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melanggar pasal 3 UU 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dikatakan, ketiga terpidana setelah menerima vonis bebas oleh PN Ruteng langsung pindah tugas ke tempat lain. Mansuetus Hasnadaya bertugas menjadi Kasi Administrasi dan Keuangan Sub Divre Bajawa, Paskalis Nara Kasi Administrasi dan Keuangan Sub Divre Ruteng, sedangka Hamid Abdula, Kepala Perwakilan Sub Divre Labuan Bajo.
"DI PN Ruteng mereka vonis bebas, kemudian kami langsung ajukan kasasi ke MA," katanya. Dikatakan, ketiga terpidana terbukti melakukan penyunatan sejumlah mata anggaran yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara sebesar Rp 164 juta. Dana tersebut sebetulnya dialokasikan untuk tenaga lapangan dan insentif dalam pendistribusian raskin, namun secara bersama ketiga terdakwa membuat item tersebut menjadi satu item pembayaran yakni dana insentif.
Sebetulnya, kata Gembong, ketiga terpidana sudah masuk penjara sejak Selasa (15/1) lalu, namun salah satu terpinda yakni Hamid Abdullah tidak hadir sehingga dilayangkan lagi surat panggilang. "Kemarin mereka hadir semua, karena itu kita langsung giring ke LP Ruteng untuk
menjalani masa penahanan," katanya.
Atas putusan tersebut, dua terpinda menyatakan menerima sedangkan terpidana Hamid Abdullah mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan MA. Namun proses PK sama sekali tidak menghambat proses eksekusi. Karena itu ketiga terpidana kasus korupsi tersebut langsung dijebloskan dalam tahanan sejak Kamis (17/1).
http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=53693
RUTENG, TIMEX - Tiga karyawan Perum Bulog yang menjadi terpidana kasus korupsi dana insentif tahun 2009 akhirnya dijebloskan ke LP Ruteng, Manggarai sejak pukul 15.30 Wita, Kamis (17/1).
Ketiga terpidana tersebut dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi oleh Mahkamah Agung (MA) dengan nomor putusan 1847.K/Pid.SUs/2011 tertanggal 29 Mei 2012 dan dipenjara selama satu tahun.
"Kami hanya menjalankan perintah eksekusi oleh MA. Salinan putusan baru diterima November lalu dan perintah eksekusi baru diterima belum lama ini. Dan sesuai perintah maka kita langsung eksekusi para terpidana untuk dijebloskan ke penjara," kata Kajari Ruteng, Gembong Priyanto kepada koran ini, Jumat (18/1).
Gembong menjelaskan, tiga terpidana kasus korupsi di kantor Bulog Sub Divre Ruteng adalah Hasnadaya Mansuetus, Paskalis Nara dan Hamid Abdulla. Sesuai keputusan MA, ketiga terpidana terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melanggar pasal 3 UU 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dikatakan, ketiga terpidana setelah menerima vonis bebas oleh PN Ruteng langsung pindah tugas ke tempat lain. Mansuetus Hasnadaya bertugas menjadi Kasi Administrasi dan Keuangan Sub Divre Bajawa, Paskalis Nara Kasi Administrasi dan Keuangan Sub Divre Ruteng, sedangka Hamid Abdula, Kepala Perwakilan Sub Divre Labuan Bajo.
"DI PN Ruteng mereka vonis bebas, kemudian kami langsung ajukan kasasi ke MA," katanya. Dikatakan, ketiga terpidana terbukti melakukan penyunatan sejumlah mata anggaran yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara sebesar Rp 164 juta. Dana tersebut sebetulnya dialokasikan untuk tenaga lapangan dan insentif dalam pendistribusian raskin, namun secara bersama ketiga terdakwa membuat item tersebut menjadi satu item pembayaran yakni dana insentif.
Sebetulnya, kata Gembong, ketiga terpidana sudah masuk penjara sejak Selasa (15/1) lalu, namun salah satu terpinda yakni Hamid Abdullah tidak hadir sehingga dilayangkan lagi surat panggilang. "Kemarin mereka hadir semua, karena itu kita langsung giring ke LP Ruteng untuk
menjalani masa penahanan," katanya.
Atas putusan tersebut, dua terpinda menyatakan menerima sedangkan terpidana Hamid Abdullah mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan MA. Namun proses PK sama sekali tidak menghambat proses eksekusi. Karena itu ketiga terpidana kasus korupsi tersebut langsung dijebloskan dalam tahanan sejak Kamis (17/1).
http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=53693
Sabtu, 19 Januari 2013
HPP Kedelai Minimal Rp 7.000 per Kilogram
19 Januari 2013
http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=72172:hpp-kedelai-minimal-rp-7000-per-kilogram000-per-kilogram&catid=73:ekonomi-bisnis-dan-keuangan&Itemid=195
Fiqhislam.com
- Pemerintah hampir bulat dalam penetapan harga pembelian pemerintah
(HPP) kedelai. Berdasarkan hasil diskusi dengan petani kedelai, HPP
kedelai yang layak adalah sebesar Rp 7.000 per kilogram (kg).
Menurut
Menteri Pertanian Suswono, penetapan HPP kedelai akan beriringan dengan
penunjukan Perum Bulog sebagai badan penyangga komoditas tersebut.
Pemerintah bakal memberikan wewenang sekaligus penugasan kepada BUMN ini
untuk mengatur tata niaga kedelai.
Wakil
Menteri Pertanian Rusman Heriawan menambahkan, HPP kedelai sebesar Rp
7.000 cukup ideal bagi para petani kedelai serta perajin tempe dan tahu.
Dengan harga pembelian sebesar itu, Bulog nantinya akan membeli kedelai
impor sebesar Rp 5.000 per kg, lalu menjualnya di harga Rp 6.000 per
kg.
Agar
terjadi subsidi silang, maka harga beli kedelai oleh Bulog dari petani
dalam negeri sebesar Rp 7.000 per kg. "Paling tidak ada subsidi silang
antara pembelian impor dengan petani lokal," ujar Rusman, Jumat (18/1).
Ketua Dewan Kedelai Nasional Benny Kusbini mengatakan, dengan penerapan harga pembelian Rp 7.000 per kg, para petani kedelai lebih tertarik untuk mengembangkan lahan pertaniannya.
Ketua Dewan Kedelai Nasional Benny Kusbini mengatakan, dengan penerapan harga pembelian Rp 7.000 per kg, para petani kedelai lebih tertarik untuk mengembangkan lahan pertaniannya.
Sementara,
Asep Nurdin, Ketua Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) Jawa
Barat sebelumnya menyatakan, pemerintah perlu menetapkan HPP kedelai
agar harga kedelai di dalam negeri terkendali.
Menteri
Perdagangan Gita Wirjawan berharap, Bulog dan perusahaan lain yang
berwenang melakukan importasi kedelai berkomitmen melakukan stabilitas
harga. "Selain berkomitmen dengan membeli dari petani, juga berkomitmen
untuk distribusi hingga ke Kopti," kata Gita.
Saat
ini, Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso menegaskan, perusahaannya
sudah mendapatkan komitmen dari beberapa produsen kedelai yang akan
memasok kedelai untuk Bulog. Tapi, hingga kini perusahaan logistik pelat
merah ini belum memutuskan siapa yang kelak menjadi pemasok kedelai
impor.
Kini,
Bulog masih menunggu penugasan resmi dari pemerintah untuk menjadi
badan penyangga harga kedelai di dalam negeri. Penugasan ini dalam
bentuk eraturan ataupun instruksi presiden "Mudah-mudahan bulan depan
penugasan impor bisa keluar," kata Sutarto.http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=72172:hpp-kedelai-minimal-rp-7000-per-kilogram000-per-kilogram&catid=73:ekonomi-bisnis-dan-keuangan&Itemid=195
Lembaga Pangan Harus Efektif
19 Januari 2013
UU Pangan | DPR Usulkan Dibentuknya Kementerian Pangan/Bulog
JAKARTA – Pemerintah sebagai pemegang amanah UU Pangan No 18 Tahun 2012 perlu memperjelas status kelembagaan pangan, termasuk kewenangan soal urusan pangannya. Posisi regulator dan operator pangan juga harus jelas.
"Pemerintah harus menjelaskan status lembaga pangan baru, apakah setara kementerian atau hanya seperti komisi yang sekarang jumlahnya banyak tetapi kinerjanya tidak efektif,"kata pengamat ekonomi pertanian, Khudori, Jumat (18/1).
Menurut Khudori, sekarang bola ada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan kebijakannya akan menentukan seberapa kuat kewenangan lembaga pangan tersebut. Saat ini, lembaga yang mengurus pangan tersebar mulai dari Kementerian Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Bulog, Dewan Ketahanan Pangan, hingga kementerian teknis yang jumlahnya mencapai 17 unit.
Meskipun pengelola pangan cukup banyak, koordinasinya lemah. Akibatnya, kata Khudori, manajemen pangan menjadi tidak jelas. Bahkan persoalan-persoalan krusial terkait pangan harus termentahkan di level koordinasi.
"Maunya pemerintah seperti apa? Itu harus dijelaskan. Memang ada tenggat tiga tahun, tetapi harus sudah dijelaskan regulatornya siapa dan apakah Bulog tetap menjadi operator. Presiden harus mulai memaparkan kelembagaan dan kewenangan pengelolaan pangan itu karena sekarang masyarakat, termasuk DPR, posisinya juga menunggu,"ungkap dia.
Khudori mengakui Presiden memiliki kewenangan untuk memutuskan soal kelembagaan itu, tetapi perlu diperjelas apakah level lembaga itu setingkat menteri atau hanya lembaga/komisi yang tidak memiliki kemampuan koordinasi.
Jadi, kata Khudori, harus sudah jelas siapa pemegang kewenangan sebagai penentu kebijakan pangan, termasuk regulator pangan, dan siapa yang menjadi operatornya. Hal itu nantinya terkait dengan kewenangan pengelolaan pangan dari pusat hingga daerah.
"Badan otorita pangan itu seharusnya kuat dalam pengelolaan pangan, sebagai penentu kebijakan pangan sekaligus regulator, sedangkan operator bisa jadi menunjuk BUMN seperti Bulog sebagai operatornya,"ungkap dia.
Lebih lanjut, Khudori mengatakan kewenangan soal pangan bisa dijadikan sentralistis. Artinya, pemerintah pusat masih memiliki kekuatan untuk mengatur pangan hingga daerah. Pasalnya, saat ini, pemerintah daerah, sesuai UU No 34, memiliki kewenangan yang besar terkait dengan otonomi. Pemerintah pusat saat ini hanya memiliki lima kewenangan untuk mengatur, yakni agama, pertahanan keamanan, hukum, moneter, dan fiskal.
Padahal pangan menjadi sangat strategis dan menyangkut hajat hidup mayoritas masyarakat. Jadi jangan sampai jika diserahkan ke pemda dan masing-masing berpegang pada otonomi daerah, distribusi pangan bisa terkendala.
"Pusat harus masih mengendalikan soal stok pangan, distribusi, hingga ekspor dan impor walaupun nanti tetap diterjemahkan hingga ke daerah,"ujar dia.
Cek Kosong
Sementara itu, Ketua Panja UU Pangan, yang juga Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron, mengatakan awalnya mayoritas fraksi di Komisi IV DPR mengusulkan peleburan lembaga. Badan Ketahanan Pangan (BKP) menjadi regulator pangan, dan Bulog sebagai operatornya. Akan tetapi, usulan tersebut ditolak pemerintah.
Herman menyebutkan dua lembaga itu awalnya mau langsung disatukan dalam UU Pangan tersebut. Namun, di UU Kementerian Aparatur Negara, ada aturan yang menyebutkan tentang ketentuan dan syarat penambahan lembaga baru. Akibat kendala itu, usulan tersebut tidak masuk UU Pangan.
Padahal jika usulan tersebut dipenuhi, bisa terbentuk Kementerian Pangan/Bulog yang merupakan peleburan dua lembaga pengelola pangan itu. Tetapi karena ditolak pemerintah, UU Pangan hanya memberikan cek kosong dan menyerahkan soal pembentukan lembaga tersebut kepada Presiden.
"Kita akan kawal kelembagaan pangan itu karena pangan itu urusan penting yang harus diprioritaskan. Akan tetapi, pangan masih di posisi pemerintah di peringkat kelima dalam pembangunan, jauh di bawah urusan reformasi birokrasi dan pendidikan,"imbuh dia.
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/110601
UU Pangan | DPR Usulkan Dibentuknya Kementerian Pangan/Bulog
JAKARTA – Pemerintah sebagai pemegang amanah UU Pangan No 18 Tahun 2012 perlu memperjelas status kelembagaan pangan, termasuk kewenangan soal urusan pangannya. Posisi regulator dan operator pangan juga harus jelas.
"Pemerintah harus menjelaskan status lembaga pangan baru, apakah setara kementerian atau hanya seperti komisi yang sekarang jumlahnya banyak tetapi kinerjanya tidak efektif,"kata pengamat ekonomi pertanian, Khudori, Jumat (18/1).
Menurut Khudori, sekarang bola ada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan kebijakannya akan menentukan seberapa kuat kewenangan lembaga pangan tersebut. Saat ini, lembaga yang mengurus pangan tersebar mulai dari Kementerian Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Bulog, Dewan Ketahanan Pangan, hingga kementerian teknis yang jumlahnya mencapai 17 unit.
Meskipun pengelola pangan cukup banyak, koordinasinya lemah. Akibatnya, kata Khudori, manajemen pangan menjadi tidak jelas. Bahkan persoalan-persoalan krusial terkait pangan harus termentahkan di level koordinasi.
"Maunya pemerintah seperti apa? Itu harus dijelaskan. Memang ada tenggat tiga tahun, tetapi harus sudah dijelaskan regulatornya siapa dan apakah Bulog tetap menjadi operator. Presiden harus mulai memaparkan kelembagaan dan kewenangan pengelolaan pangan itu karena sekarang masyarakat, termasuk DPR, posisinya juga menunggu,"ungkap dia.
Khudori mengakui Presiden memiliki kewenangan untuk memutuskan soal kelembagaan itu, tetapi perlu diperjelas apakah level lembaga itu setingkat menteri atau hanya lembaga/komisi yang tidak memiliki kemampuan koordinasi.
Jadi, kata Khudori, harus sudah jelas siapa pemegang kewenangan sebagai penentu kebijakan pangan, termasuk regulator pangan, dan siapa yang menjadi operatornya. Hal itu nantinya terkait dengan kewenangan pengelolaan pangan dari pusat hingga daerah.
"Badan otorita pangan itu seharusnya kuat dalam pengelolaan pangan, sebagai penentu kebijakan pangan sekaligus regulator, sedangkan operator bisa jadi menunjuk BUMN seperti Bulog sebagai operatornya,"ungkap dia.
Lebih lanjut, Khudori mengatakan kewenangan soal pangan bisa dijadikan sentralistis. Artinya, pemerintah pusat masih memiliki kekuatan untuk mengatur pangan hingga daerah. Pasalnya, saat ini, pemerintah daerah, sesuai UU No 34, memiliki kewenangan yang besar terkait dengan otonomi. Pemerintah pusat saat ini hanya memiliki lima kewenangan untuk mengatur, yakni agama, pertahanan keamanan, hukum, moneter, dan fiskal.
Padahal pangan menjadi sangat strategis dan menyangkut hajat hidup mayoritas masyarakat. Jadi jangan sampai jika diserahkan ke pemda dan masing-masing berpegang pada otonomi daerah, distribusi pangan bisa terkendala.
"Pusat harus masih mengendalikan soal stok pangan, distribusi, hingga ekspor dan impor walaupun nanti tetap diterjemahkan hingga ke daerah,"ujar dia.
Cek Kosong
Sementara itu, Ketua Panja UU Pangan, yang juga Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron, mengatakan awalnya mayoritas fraksi di Komisi IV DPR mengusulkan peleburan lembaga. Badan Ketahanan Pangan (BKP) menjadi regulator pangan, dan Bulog sebagai operatornya. Akan tetapi, usulan tersebut ditolak pemerintah.
Herman menyebutkan dua lembaga itu awalnya mau langsung disatukan dalam UU Pangan tersebut. Namun, di UU Kementerian Aparatur Negara, ada aturan yang menyebutkan tentang ketentuan dan syarat penambahan lembaga baru. Akibat kendala itu, usulan tersebut tidak masuk UU Pangan.
Padahal jika usulan tersebut dipenuhi, bisa terbentuk Kementerian Pangan/Bulog yang merupakan peleburan dua lembaga pengelola pangan itu. Tetapi karena ditolak pemerintah, UU Pangan hanya memberikan cek kosong dan menyerahkan soal pembentukan lembaga tersebut kepada Presiden.
"Kita akan kawal kelembagaan pangan itu karena pangan itu urusan penting yang harus diprioritaskan. Akan tetapi, pangan masih di posisi pemerintah di peringkat kelima dalam pembangunan, jauh di bawah urusan reformasi birokrasi dan pendidikan,"imbuh dia.
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/110601
Kadivre Bulog Sumut Diperiksa Polda Soal Kasus Oplos Beras
15 Januari 2013
http://beritabarak.blogspot.com/2013/01/kadivre-bulog-sumut-diperiksa-polda.html
SUMUT_BARAKINDO- Direktorat Reserse
Kriminal Khusus (Direskrimsus) Kepolisian Daerah (Polda) Sumut, Senin
(14/1/2013) kemarin, di khabarkan memeriksa Kepala Divisi Regional (Divre) Prum
Bulog Sumatera Utara (Sumut).
Pemeriksaan itu disebutkan, adalah
terkait dengan penemuan 200 ton beras oplos di gudang milik Hendri alias Aseng Jenggot,
di Jalan Kayu Putih Nomor 899, Kecamatan Medan Deli.
Direktur Reskrimsus Polda Sumut, Komisaris
Besar Polisi Sadono Budi Nugroho, didampingi Kasubdit I/Indag AKBP Edy Faryadi
mengatakan, pihaknya sudah memanggil Kadivre Bulog Sumut untuk diperiksa. "Kita
sudah memanggil pihak Bulog untuk diperiksa. Kita tunggu saja kedatangan
Kadivre Bulog," tegas Sadono, Senin (14/1/2013) kemarin.
Selain sebagai saksi ahli, Kedivre
Bulog Sumut juga diduga mengetahui hubungan antara Aseng Jenggot dengan pihak Bulog,
sehingga bisa membeli beras dari Bulog hingga sampai ratusan ton. "Kita
periksa Bulog untuk mengetahui apakah ada hubungan kerja sama dengan Aseng
Jenggot, atau bisa saja oknum Bulog, terkait dengan pengoplosan beras yang
dilakukan Aseng, mengingat banyaknya beras dari Perum Bulog yang ditemukan
digudang tersebut," katanya.
Sadono juga mengungkapkan, bahwa pihaknya
mendapat informasi jika Henri alias Aseng Jenggot adalah distributor beras
terbesar di Sumut merk Kuku Balam
berlambang dua buah Apel. Hendri alias Aseng Jenggot, adalah pemilik toko Jadi,
jalan Sei Sikamping, Helvetia, ditemukan digudangnya 200 ton beras Bulog.
Bahkan, pemilik perusahaan Sahabat Jaya (SBJ) itu merupakan penyuplai beras
untuk PTPN I-IV. "Kita akan selidiki apakah beras yang disuplay-nya ke
PTPN adalah beras oplosan atau beras Bulog," katanya, seperti dilansir waspada kemarin, dengan menyebut bahwa beras
Bulog yang diperoleh Aseng dari Bulog adalah berupa ekspait 5 persen.
Menurut Sadono, Hendri alias Aseng
Jenggot sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengoplosan
beras tersebut. "Aseng sudah jadi tersangka. Dari kasus pengoplosan, kita
tinggal melakukan penyelidikan soal UU perindustrian sekaligus keterlibatan Bulog.
Kemudian, Aseng akan kita tahan," jelasnya.
Diketahui, Subdit I/Indah menggerebek
Gudang No.899 di Jalan Kayu Putih, pada Rabu (9/1/2013) lalu. Di gudang itu sedang
berlangsung kegiatan pengoplosan beras Bulog seberat 50 Kg per karung dengan
beras tanpa merk 50 Kg per karung menjadi beras merk kuku balam berlambang dua
apel ke karung ukuran 30 Kg.
Dari gudang itu juga ditemukan 20
ton beras yang sudah dioplos, Merk kuku Balam dalam karung ukuran 30 Kg
dengan kemasan gambar dua buah apel. Kemudian, beras Bulog 200 ton dan
beras tanpa merk 300 ton yang dibeli dari Jakarta, berikut dokumen-dokumennya.
Aseng sendiri dikhabarkan sudah 35
tahun menjual beras, namun dia mengaku baru 10 tahun belakangan mengplos beras
Bulog. "Modusnya, beras bulog ukuran 50 Kg per karung dicampur dengan
beras non merk, kemudian dimasukan ke karung berukuran 30 Kg merk "Kuku
Balam" bergambar dua buah apel, dan dikarung juga tertera SBJ (Sahabat
Jaya)," kata Sadono.
Dalam penggerebekan itu, Hendri alias
Aseng Jenggot bersama karyawan bernama Susanto Jaya, bagian diboyong ke
Mapoldasu. Sadono mengatakan, Aseng dijerat dengan pasal 24 UU Nomor 5 Tahun
1984 tentang industri pasal 62 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang penipuan konsumen,
dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun penjara.http://beritabarak.blogspot.com/2013/01/kadivre-bulog-sumut-diperiksa-polda.html
Jumat, 18 Januari 2013
Kadivre Bulog Sumut Diperiksa
17 Januari 2013
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN-Kepala Divisi Regional Badan Usaha Logistik (Bulog) Sumut, Nasrun Rahmani diperiksa petugas Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumut, Kamis (17/1) sebagai saksi kasus penggelapan beras komersial Bulog. Nasrun diperiksa mulai pukul 10.00 wib sampai pukul. 15.00 WIB.
"Ka Divre Bulog Sumut itu diperiksa sebagai saksi atas ditemukannya beras Bulog di gudang No. 899 Jalan Kayu Putih, Mabar milik Hendri alias Aseng Jenggot," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumut Kombes Sadono Budi Nugroho didampingi Kasubdit II/Indag AKBP Edy Faryadi, Kamis (17/1/2013).
Sadono mengatakan, Nasrun dihadapkan belasan pertanyaan terutama menyangkut keberadaan beras Bulog di gudang No. 899 Jalan Kayu Putih sebanyak 200 ton. Beras Bulog telah dioplos dan kemudian dikemas menjadi jenis kuku balam bergambar dua buah apel, dengan cap SBJ (Sahabat Jaya).
Pertanyaan lainnya adalah seputar tugas pokok dan fungsi Bulog dan pengamanan harga.
Menurut Sadono, saat diperiksa Nasrun Rahmani menyebut setiap orang atau badan usaha berhak membeli beras komersial (premium) dari Bulog dengan harga digudang Bulog Rp.7.200. Pembelian diatur dengan syarat tertentu dengan penjualan ke konsumen tidak melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp7.400.
Kemudian, kata Nasrun, pengemasan dari Bulog diperbolehkan dengan ketentuan tidak dapat dicampur dengan beras lain.
Nasrun membenarkan toko Jadi milik Hendri alias Aseng membeli beras Bulog komersial periode tahun 2010, 2012 dan Januari 2013.
"Kami masih mendalami kasus tersebut. Yang pasti sesuai keterangan Bulog, beras Bulog tidak diperbolehkan dicampur dengan beras lain. Itulah yang dilanggar Hendri alias Aseng Jenggot," kata Sadono.
Aseng dijerat pasal 24 UU No.5 Tahun 1984 tentang Industri, pasal 62 UU No.8 tahun 1999 tentang Penipuan Konsumen dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Polda menggerebek Gudang No.899 Jalan Kayu Putih, Rabu (9/1/2013). Di gudang itu sedang terjadi pengoplosan beras Bulog seberat 50 kg per karung dengan beras tanpa merk 50 kg per karung menjadi beras kuku balam berlambang dua apel ke karung ukuran 30 kg.
Dari gudang itu, ditemukan 20 ton beras yang sudah dioplos, Merek kuku Balam dalam karung ukuran 30 kg dengan kemasan gambar dua buah apel. Kemudian, beras Bulog 200 ton dan beras tanpa merk 300 ton yang dibeli dari Jakarta, berikut dokumen-dokumen.
http://medan.tribunnews.com/2013/01/17/kadivre-bulog-sumut-diperiksa
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN-Kepala Divisi Regional Badan Usaha Logistik (Bulog) Sumut, Nasrun Rahmani diperiksa petugas Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumut, Kamis (17/1) sebagai saksi kasus penggelapan beras komersial Bulog. Nasrun diperiksa mulai pukul 10.00 wib sampai pukul. 15.00 WIB.
"Ka Divre Bulog Sumut itu diperiksa sebagai saksi atas ditemukannya beras Bulog di gudang No. 899 Jalan Kayu Putih, Mabar milik Hendri alias Aseng Jenggot," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumut Kombes Sadono Budi Nugroho didampingi Kasubdit II/Indag AKBP Edy Faryadi, Kamis (17/1/2013).
Sadono mengatakan, Nasrun dihadapkan belasan pertanyaan terutama menyangkut keberadaan beras Bulog di gudang No. 899 Jalan Kayu Putih sebanyak 200 ton. Beras Bulog telah dioplos dan kemudian dikemas menjadi jenis kuku balam bergambar dua buah apel, dengan cap SBJ (Sahabat Jaya).
Pertanyaan lainnya adalah seputar tugas pokok dan fungsi Bulog dan pengamanan harga.
Menurut Sadono, saat diperiksa Nasrun Rahmani menyebut setiap orang atau badan usaha berhak membeli beras komersial (premium) dari Bulog dengan harga digudang Bulog Rp.7.200. Pembelian diatur dengan syarat tertentu dengan penjualan ke konsumen tidak melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp7.400.
Kemudian, kata Nasrun, pengemasan dari Bulog diperbolehkan dengan ketentuan tidak dapat dicampur dengan beras lain.
Nasrun membenarkan toko Jadi milik Hendri alias Aseng membeli beras Bulog komersial periode tahun 2010, 2012 dan Januari 2013.
"Kami masih mendalami kasus tersebut. Yang pasti sesuai keterangan Bulog, beras Bulog tidak diperbolehkan dicampur dengan beras lain. Itulah yang dilanggar Hendri alias Aseng Jenggot," kata Sadono.
Aseng dijerat pasal 24 UU No.5 Tahun 1984 tentang Industri, pasal 62 UU No.8 tahun 1999 tentang Penipuan Konsumen dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Polda menggerebek Gudang No.899 Jalan Kayu Putih, Rabu (9/1/2013). Di gudang itu sedang terjadi pengoplosan beras Bulog seberat 50 kg per karung dengan beras tanpa merk 50 kg per karung menjadi beras kuku balam berlambang dua apel ke karung ukuran 30 kg.
Dari gudang itu, ditemukan 20 ton beras yang sudah dioplos, Merek kuku Balam dalam karung ukuran 30 kg dengan kemasan gambar dua buah apel. Kemudian, beras Bulog 200 ton dan beras tanpa merk 300 ton yang dibeli dari Jakarta, berikut dokumen-dokumen.
http://medan.tribunnews.com/2013/01/17/kadivre-bulog-sumut-diperiksa
Kamis, 17 Januari 2013
Impor Beras, Marginalisasi Petani Nasional
17 Januari 2013
http://beritabarak.blogspot.com/2013/01/impor-beras-marginalisasi-petani.html
Jakarta_BARAK- Sekeras apapun suara
kaum tani nasional menolak impor beras oleh pemerintah, tidak juga mampu
membendung niatan pemerintah dengan sukutu-sekutunya (importir-Red) untuk “mencari rente” dari hasil
impor. Sebagian kalangan bahkan menganggap, bahwa impor adalah cara ampuh untuk
“merampok” hak sekaligus martabat petani NKRI secara legal.
Bonang, Koordinato Nasional
Protanikita, menilai keputusan pemerintah untuk melakukan impor beras hanyalah
jalan pintas agar pemerintah tidak kehilangan muka setelah gagal menjadikan
produk pertanian nasional mampu bersaing dengan negara-negara lain.
“Sudah seharusnya pemerintah
introspeksi diri. Kenyataannya, kita makin jauh dari swasembada beras. Karena
tanpa kemauan politik yang jelas, petani kita tetap saja terpinggirkan,” kata
Bonang, Kamis (17/1/2013).
Menurutnya, impor beras oleh
pemerintah hanya akan masyarakat tani nasional semakin terpinggir
(marginalisasi). Sebab, selain persoalan beras impor, petani juga masih harus
mengahadapi persoalan lain, seperti infrastruktur pertanian berupa irigasi lama
yang dibiarkan rusak, dan tidak pernah dibangun jaringan irigasi yang baru.
“Pemerintah hanya membangun jalan tol
dan pelabuhan dengan ganti rugi tanah murah untuk mempermudah mengeruk
hasil tambang, hutan, dan kebun. Dan semua itu menggunakan uang utang yang
harus ditanggung oleh rakyat,” jelas Bonang.
Dipihak lain, M Hatta Taliwang dari
Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta mengungkapkan, saat ini petani lebih
melarat, anak-anaknya kurang pendidikan, menganggur, menjadi buruh murah, TKI, dan
bahkan menjadi korban perdagangan manusia.
“Ini karena hasil pertanian
dihancurkan secara sistematis oleh ketentuan bea impor pertanian hingga 0
persen. Padahal harga produk pertanian di negara maju, misalnya kedelai,
jagung, beras, dan gandum adalah harga subsidi dan dumping. Subsidi kepada petani dialihkan menjadi subsidi ke pabrik
pupuk dan benih,” ujar Hatta layaknya dilansir suaramerdeka kemarin.http://beritabarak.blogspot.com/2013/01/impor-beras-marginalisasi-petani.html
Negara Lain Di Bantu, Rakyat Sendiri Banyak Yang Kelaparan.
17 Januari 2013
Miris dan sedih membaca berita di detik
bahwa Indonesia negeriku tercinta memberi bantuan beras kepada negara
Philipina sebanyak 20 ribu ton. Menurut bapak Hatta Rajasa, Menteri
Koordinator Bidang Perekonmian , negara RI itu sudah kuat, pangan
berlimpah persediaan di Bulog cukup. Tahukah pak Menteri bahwa menurut
perkiraan pemerintah, hingga tahun 2015 ada 15,5 % penduduk Indonesia
yang rentan menderita kelaparan
Dalam agama diajarkan bantulah
keluargamu dulu, baru tetangga dekat dan jauh. Pernahkah Pak Menteri
blusukan dan membaca berita di koran koran tentang masyarakat Indonesia
yang masih kelaparan dan makan nasi aking, sedang harga RASKIN
dinaikan.
Nasi Aking
Tahukah Pak Menteri apa itu nasi aking?
Nasi aking adalah nasi basi yang di cuci dan dikeringkan lalu dimasak
lagi. Tahukah Pak Menteri bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang
makan nasi aking? Di kabupaten Brebes ada keluarga yang hanya makan
nasi aking seperti keluarga Sudarto dan nenek Sumarni. Nenek berusia 80
tahun yang kedua matanya buta, tiap hari hanya mengandalkan pemberian
dari tetangga. Di kabupaten Cirebon, ada keluarga Samiun yang sudah 20
tahun menyantap nasi aking, mereka hanya sesekali menikmati beras.
RASKIN :
Tahukah Pak Menteri apa itu RASKIN ?
Raskin adalah beras untuk rumah tangga miskin .Jatah beras murah bagi
keluarga tak mampu. Namun sayang banyak penyimpangan dalam penyaluran
RASKIN, seperti harga yang dinaikan (Rp. 1,600 menjadi Rp.
1.800,-/perliter) , jatah yang dikurangi yang mestinya setiap bulan 15
kg/perkeluarga, menjadi 5 - 10 kg dan dibagikan 2-3 bulan sekali.
Artinya tak akan mungkin cukup jatah 10 kg perkeluarga untuk 3 bulan.
Kadang RASKIN bermutu sangat jelek dan tak kayak di konsumsi.
Tahukah Pak Menteri bahwa masih banyak Panti Asuhan di Indonesia yang membutuhkan beras untuk anak anak yatim piatu?
Hati saya sangat sedih dan miris ,
ketika rakyat Indonesia masih banyak yang kelaparan dan tak mampu beli
beras. Pak menteri memberi sumbangan 20 ribu ton beras untuk negara
tetangga. Ibarat sebuah rumah tangga, si bapak membantu keluarga
tetangga tapi keluarganya sendiri kelaparan. Biar dibilang WOW gitu!!
Semoga masih ada pejabat pejabat di Indonesia yang mau memikirkan nasib rakyatnya. Amin.
Sumber : Tempo, detik, linkarjabar, lensaindonesia
Penerima Raskin Sukabumi Bertambah 6 Ribu RTS
17 Januari 2012
REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Jumlah warga penerima beras untuk rakyat miskin (raskin) di Kota Sukabumi bertambah sebanyak 6.136 rumah tangga sasaran (RTS). Pasalnya, pada 2013 ini jumlah warga penerima raskin mencapai sebanyak 17.956 RTS.
Sebelumnya, pada 2012 lalu, jumlah warga penerima raskin hanya sebanyak 11.820 RTS.
"Kenaikan ini bukan karena penduduk miskin bertambah," ujar Asisten Daerah (Asda) II Pemkot Sukabumi, Deden Solehudin, kepada wartawan.
Kenaikan ini, terang dia, lebih disebabkan karena adanya penambahan kategori warga penerima raskin. Saat ini warga dengan kategori hampir miskin pun mendapatkan jatah raskin dari pemerintah.
Deden mengungkapkan, dalam menentukan penerima raskin ini ada beberapa kategori yang dinilai Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini disebabkan penentuan raskin didasarkan pada data BPS.
Lebih lanjut Deden mengungkapkan, Pemkot Sukabumi memantau penyaluran raskin agar tepat sasaran. Setiap bulannya masing-masing RTS dijatah 15 kilogram dengan harga Rp 1.600 per kilogram.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/01/17/mgqub6-penerima-raskin-sukabumi-bertambah-6-ribu-rts
REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Jumlah warga penerima beras untuk rakyat miskin (raskin) di Kota Sukabumi bertambah sebanyak 6.136 rumah tangga sasaran (RTS). Pasalnya, pada 2013 ini jumlah warga penerima raskin mencapai sebanyak 17.956 RTS.
Sebelumnya, pada 2012 lalu, jumlah warga penerima raskin hanya sebanyak 11.820 RTS.
"Kenaikan ini bukan karena penduduk miskin bertambah," ujar Asisten Daerah (Asda) II Pemkot Sukabumi, Deden Solehudin, kepada wartawan.
Kenaikan ini, terang dia, lebih disebabkan karena adanya penambahan kategori warga penerima raskin. Saat ini warga dengan kategori hampir miskin pun mendapatkan jatah raskin dari pemerintah.
Deden mengungkapkan, dalam menentukan penerima raskin ini ada beberapa kategori yang dinilai Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini disebabkan penentuan raskin didasarkan pada data BPS.
Lebih lanjut Deden mengungkapkan, Pemkot Sukabumi memantau penyaluran raskin agar tepat sasaran. Setiap bulannya masing-masing RTS dijatah 15 kilogram dengan harga Rp 1.600 per kilogram.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/01/17/mgqub6-penerima-raskin-sukabumi-bertambah-6-ribu-rts
Pemerintah Harus Naikkan HPP Beras
16 Januari 2013
JAKARTA, KOMPAS.com- Pemerintah diminta menaikkan harga pembelian pemerintah atau HPP beras dari petani. Keengganan pemerintah menaikkan HPP sementara di pasaran harga beras sudah mencapai Rp 7.000 per kilogram.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon di Jakarta, Rabu (16/1/2013), mengatakan, dengan tidak dinaikannya HPP oleh pemerintah pada tahun 2013 ini, sementara harga beras di pasaran cukup tinggi, maka petani hampir dipastikan tak akan menjual stoknya ke Bulog.
Fadli yang juga Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia versi Prabowo Subianto ini mengatakan, hal ini bisa menjadi alasan untuk kembali impor beras.
"Tahun 2013 ini, HPP beras tidak akan dinaikan pemerintah. HPP beras, gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) tahun ini sama dengan tahun 2012. HPP beras Rp 6.600 per kilogram, padahal harga beras di pasaran sudah mencapai Rp 7000. Ini bukti pemerintah tak peduli nasib petani," kata Fadli.
Menurut Fadli, dampak dari tidak dinaikannya HPP oleh pemerintah adalah petani tak mau menjual beras pada pemerintah. Akibatnya, stok beras Bulog kosong dan pemerintah punya alasan melakukan impor.
"Harusnya pemerintah menawarkan HPP yang lebih tinggi," ujarnya. Fadli mengatakan, sebenarnya ada jalan lain dengan menerapkan kembali harga dasar dan harga eceran tertinggi. Dengan harga dasar, pemerintah wajib membeli beras petani jika harga jatuh.
"Ini menjamin harga petani dan melindungi petani," katanya.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/01/16/22590319/Pemerintah.Harus.Naikkan.HPP.Beras
JAKARTA, KOMPAS.com- Pemerintah diminta menaikkan harga pembelian pemerintah atau HPP beras dari petani. Keengganan pemerintah menaikkan HPP sementara di pasaran harga beras sudah mencapai Rp 7.000 per kilogram.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon di Jakarta, Rabu (16/1/2013), mengatakan, dengan tidak dinaikannya HPP oleh pemerintah pada tahun 2013 ini, sementara harga beras di pasaran cukup tinggi, maka petani hampir dipastikan tak akan menjual stoknya ke Bulog.
Fadli yang juga Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia versi Prabowo Subianto ini mengatakan, hal ini bisa menjadi alasan untuk kembali impor beras.
"Tahun 2013 ini, HPP beras tidak akan dinaikan pemerintah. HPP beras, gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) tahun ini sama dengan tahun 2012. HPP beras Rp 6.600 per kilogram, padahal harga beras di pasaran sudah mencapai Rp 7000. Ini bukti pemerintah tak peduli nasib petani," kata Fadli.
Menurut Fadli, dampak dari tidak dinaikannya HPP oleh pemerintah adalah petani tak mau menjual beras pada pemerintah. Akibatnya, stok beras Bulog kosong dan pemerintah punya alasan melakukan impor.
"Harusnya pemerintah menawarkan HPP yang lebih tinggi," ujarnya. Fadli mengatakan, sebenarnya ada jalan lain dengan menerapkan kembali harga dasar dan harga eceran tertinggi. Dengan harga dasar, pemerintah wajib membeli beras petani jika harga jatuh.
"Ini menjamin harga petani dan melindungi petani," katanya.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/01/16/22590319/Pemerintah.Harus.Naikkan.HPP.Beras
Mentan: Tahun lalu harusnya Bulog tak perlu impor beras
16 Januari 2013
Menteri Pertanian Suswono angkat bicara mengenai pernyataan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) yang menyebut tahun ini tidak perlu impor beras. Menurutnya, permasalahan terletak pada sistem pengaturan stok beras di lembaga itu.
"Seharusnya (klaim tidak perlu impor) bukannya tahun ini saja tapi tahun-tahun sebelumnya juga, faktanya tahun lalu aram II hampir mendekati 5 persen, kalau mencapai itu kata (Bulog) tidak perlu impor. Nyatanya tidak bisa, di akhir tahun stoknya hanya 1 juta ton," ujar Suswono kepada merdeka.com selepas rapat kerja di DPR, Rabu (16/1).
Mentan berharap Bulog bisa maksimal menyerap produksi petani di panen raya Maret mendatang. Jika itu bisa dilakukan, keinginan untuk tidak mengimpor beras dapat dilakukan.
"Kuncinya kan pada saat musim panen raya, Bulog seharusnya optimal menyerap gabah petani. Kalau itu memenuhi target di musim panen raya, saya kira bisa terwujud (tidak impor)," paparnya.
Seperti diketahui, awal bulan ini, Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso menyebutkan stok beras di awal 2013 2,3 juta ton. Sementara pengadaan dalam negeri bakal digenjot sampai 3,5 juta ton tahun ini. Sehingga dia berkesimpulan impor beras tidak perlu dilakukan.
Meski demikian rencana pengadaan beras impor masih ada karena telah diagendakan sejak tahun lalu. Hanya saja, dengan optimisme kenaikan produksi, rencana impor 1 juta ton pada 2013 dipangkas. "Sehingga, tahun ini, impor beras akan berhenti di angka 670.000 ton. Ini sudah diberitahukan juga ke kementerian terkait," ujar Sutarto saat itu.
http://www.merdeka.com/uang/mentan-tahun-lalu-harusnya-bulog-tak-perlu-impor-beras.html
Menteri Pertanian Suswono angkat bicara mengenai pernyataan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) yang menyebut tahun ini tidak perlu impor beras. Menurutnya, permasalahan terletak pada sistem pengaturan stok beras di lembaga itu.
"Seharusnya (klaim tidak perlu impor) bukannya tahun ini saja tapi tahun-tahun sebelumnya juga, faktanya tahun lalu aram II hampir mendekati 5 persen, kalau mencapai itu kata (Bulog) tidak perlu impor. Nyatanya tidak bisa, di akhir tahun stoknya hanya 1 juta ton," ujar Suswono kepada merdeka.com selepas rapat kerja di DPR, Rabu (16/1).
Mentan berharap Bulog bisa maksimal menyerap produksi petani di panen raya Maret mendatang. Jika itu bisa dilakukan, keinginan untuk tidak mengimpor beras dapat dilakukan.
"Kuncinya kan pada saat musim panen raya, Bulog seharusnya optimal menyerap gabah petani. Kalau itu memenuhi target di musim panen raya, saya kira bisa terwujud (tidak impor)," paparnya.
Seperti diketahui, awal bulan ini, Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso menyebutkan stok beras di awal 2013 2,3 juta ton. Sementara pengadaan dalam negeri bakal digenjot sampai 3,5 juta ton tahun ini. Sehingga dia berkesimpulan impor beras tidak perlu dilakukan.
Meski demikian rencana pengadaan beras impor masih ada karena telah diagendakan sejak tahun lalu. Hanya saja, dengan optimisme kenaikan produksi, rencana impor 1 juta ton pada 2013 dipangkas. "Sehingga, tahun ini, impor beras akan berhenti di angka 670.000 ton. Ini sudah diberitahukan juga ke kementerian terkait," ujar Sutarto saat itu.
http://www.merdeka.com/uang/mentan-tahun-lalu-harusnya-bulog-tak-perlu-impor-beras.html
Rabu, 16 Januari 2013
Bulog Mamuju Diduga Salurkan Raskin tak Berkualitas
16 Januari 2013
Metrotvnews.com, Mamuju: Badan Urusan Logistik Sub Divre Mamuju, Sulbar, diduga menyalurkan beras miskin tidak berkualitas kepada masyarakat.
"Berdasarkan laporan masyarakat diduga Bulog Sub Divre Mamuju menyalurkan beras miskin (raskin) tidak berkualitas kepada masyarakat," kata Ketua Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Sulawesi Barat, Husaini, di Mamuju, Selasa (15/1).
Ia mengatakan, dari temuan lembaganya dan berdasarkan aduan masyarakat Bulog Mamuju menyalurkan beras tak layak karena bukan beras medium atau beras berkualitas dan layak dikomsumsi masayarakat.
"Beras yang disalurkan Bulog Mamuju ke masyarakat selama ini adalah beras berbau, merah dan pecah sehingga diyakini beras itu tidak berkualitas," katanya.
Menurut dia, Bulog Mamuju juga diduga melakukan kecurangan kepada masyarakat karena mengambil separuh dari jatah raskin yang akan disalurkan kepada masyarakat.
"Jatah raskin yang disalurkan diduga dikurangi hal itu juga diduga kuat terjadi berdasarkan pengakuan salah satu wartawan di Sulbar yang mengaku melihat lansung pengurangan jatah raskin oleh Bulog Mamuju di gudang, setiap karung beras raskin yang akan disalurkan ke masyarakat dikurangi satu piring," katanya.
Oleh karenanya ia berharap agar Bulog Mamuju dapat menghentikan segala aktivitasnya yang merugikan masyarakat seperti menyalurkan beras tak layak dan mengurangi jatah raskin untuk masyarakat miskin yang membutuhkan.
Ia berharap aparat hukum mengusut apabila Bulog Mamuju diduga melakukan tindakan melawan hukum itu dan melakukan proses hukum
"Masyarakat jangan dirugikan dalam menerima raskin seperti yang dilakukan Bulog Mamuju, karena bagaimanapun raskin sangat dibutuhkan masyarakat miskin," katanya.
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/16/6/123063/Bulog-Mamuju-Diduga-Salurkan-Raskin-tak-Berkualitas
Metrotvnews.com, Mamuju: Badan Urusan Logistik Sub Divre Mamuju, Sulbar, diduga menyalurkan beras miskin tidak berkualitas kepada masyarakat.
"Berdasarkan laporan masyarakat diduga Bulog Sub Divre Mamuju menyalurkan beras miskin (raskin) tidak berkualitas kepada masyarakat," kata Ketua Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Sulawesi Barat, Husaini, di Mamuju, Selasa (15/1).
Ia mengatakan, dari temuan lembaganya dan berdasarkan aduan masyarakat Bulog Mamuju menyalurkan beras tak layak karena bukan beras medium atau beras berkualitas dan layak dikomsumsi masayarakat.
"Beras yang disalurkan Bulog Mamuju ke masyarakat selama ini adalah beras berbau, merah dan pecah sehingga diyakini beras itu tidak berkualitas," katanya.
Menurut dia, Bulog Mamuju juga diduga melakukan kecurangan kepada masyarakat karena mengambil separuh dari jatah raskin yang akan disalurkan kepada masyarakat.
"Jatah raskin yang disalurkan diduga dikurangi hal itu juga diduga kuat terjadi berdasarkan pengakuan salah satu wartawan di Sulbar yang mengaku melihat lansung pengurangan jatah raskin oleh Bulog Mamuju di gudang, setiap karung beras raskin yang akan disalurkan ke masyarakat dikurangi satu piring," katanya.
Oleh karenanya ia berharap agar Bulog Mamuju dapat menghentikan segala aktivitasnya yang merugikan masyarakat seperti menyalurkan beras tak layak dan mengurangi jatah raskin untuk masyarakat miskin yang membutuhkan.
Ia berharap aparat hukum mengusut apabila Bulog Mamuju diduga melakukan tindakan melawan hukum itu dan melakukan proses hukum
"Masyarakat jangan dirugikan dalam menerima raskin seperti yang dilakukan Bulog Mamuju, karena bagaimanapun raskin sangat dibutuhkan masyarakat miskin," katanya.
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/16/6/123063/Bulog-Mamuju-Diduga-Salurkan-Raskin-tak-Berkualitas
Impor Beras Pinggirkan Petani
16 Januari 2013
JAKARTA - Soal impor beras selalu mengundang pro dan kontra. Mereka yang menolak menilai kebijakan itu hanya jalan pintas agar pemerintah tak kehilangan muka setelah gagal menjadikan produk pertanian kita mampu bersaing dengan negara lain.
“Saatnya pemerintah introspeksi. Kenyataannya, kita makin jauh dari swasembada beras. Tanpa kemauan politik yang jelas, petani kita tetap terpinggirkan,” ujar Bonang, aktivis LSM yang bergelut dengan masalah pertanian, kemarin.
M Hatta Taliwang dari Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta menambahkan saat ini petani lebih melarat dan anak-anaknya kurang pendidikan, menganggur, menjadi buruh murah, TKI, bahkan menjadi korban perdagangan manusia.
“Hasil pertanian dihancurkan secara sistematis oleh ketentuan bea impor pertanian hingga 0 persen. Padahal harga produk pertanian negara maju, misalnya kedelai, jagung, beras, dan gandum adalah harga subsidi dan dumping. Subsidi kepada petani dialihkan menjadi subsidi ke pabrik pupuk dan benih,” ujarnya.
Bonang dan Hatta menilai infrastruktur pertanian berupa irigasi lama dibiarkan rusak dan tak pernah dibangun yang baru.
Pemerintah hanya membangun jalan tol dan pelabuhan dengan ganti rugi tanah murah untuk mempermudah mengeruk hasil tambang, hutan, dan kebun.
“Semua menggunakan uang utang yang harus ditanggung oleh seluruh rakyat,” tandas Bonang.
Impor tersebut berasal dari Vietnam 600 ribu ton dan India 100 ribu ton. Menurut anggota Komisi IV Wan Abu Bakar, impor yang dilakukan pada 2012 akan diaudit oleh BPK. “Betul, belum diaudit sejauh mana impor tersebut, apakah ada penyimpangan atau tidak. Itu perlu diaudit dengan bantuan BPK,” ujarnya.
Audit, lanjut dia, perlu dilakukan agar ada transparansi dari Perum Bulog dari impor tahun lalu. Sebelumnya, DPR telah mengesahkan UU tentang Pangan yang baru.
Isinya antara lain menetapkan jenis dan jumlah pangan pokok tertentu sebagai cadangan pangan pemerintah.
Pengadaan diutamakan melalui pembelian pangan pokok produksi dalam negeri, terlebih pada saat panen raya. Diharapkan hal itu bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/01/16/212138/Impor-Beras-Pinggirkan-Petani
JAKARTA - Soal impor beras selalu mengundang pro dan kontra. Mereka yang menolak menilai kebijakan itu hanya jalan pintas agar pemerintah tak kehilangan muka setelah gagal menjadikan produk pertanian kita mampu bersaing dengan negara lain.
“Saatnya pemerintah introspeksi. Kenyataannya, kita makin jauh dari swasembada beras. Tanpa kemauan politik yang jelas, petani kita tetap terpinggirkan,” ujar Bonang, aktivis LSM yang bergelut dengan masalah pertanian, kemarin.
M Hatta Taliwang dari Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta menambahkan saat ini petani lebih melarat dan anak-anaknya kurang pendidikan, menganggur, menjadi buruh murah, TKI, bahkan menjadi korban perdagangan manusia.
“Hasil pertanian dihancurkan secara sistematis oleh ketentuan bea impor pertanian hingga 0 persen. Padahal harga produk pertanian negara maju, misalnya kedelai, jagung, beras, dan gandum adalah harga subsidi dan dumping. Subsidi kepada petani dialihkan menjadi subsidi ke pabrik pupuk dan benih,” ujarnya.
Bonang dan Hatta menilai infrastruktur pertanian berupa irigasi lama dibiarkan rusak dan tak pernah dibangun yang baru.
Pemerintah hanya membangun jalan tol dan pelabuhan dengan ganti rugi tanah murah untuk mempermudah mengeruk hasil tambang, hutan, dan kebun.
“Semua menggunakan uang utang yang harus ditanggung oleh seluruh rakyat,” tandas Bonang.
Audit
Sementara itu, Komisi IV DPR RI meminta Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) mengaudit impor beras sebanyak 700 ribu ton yang dilakukan oleh
Perum Bulog.Impor tersebut berasal dari Vietnam 600 ribu ton dan India 100 ribu ton. Menurut anggota Komisi IV Wan Abu Bakar, impor yang dilakukan pada 2012 akan diaudit oleh BPK. “Betul, belum diaudit sejauh mana impor tersebut, apakah ada penyimpangan atau tidak. Itu perlu diaudit dengan bantuan BPK,” ujarnya.
Audit, lanjut dia, perlu dilakukan agar ada transparansi dari Perum Bulog dari impor tahun lalu. Sebelumnya, DPR telah mengesahkan UU tentang Pangan yang baru.
Isinya antara lain menetapkan jenis dan jumlah pangan pokok tertentu sebagai cadangan pangan pemerintah.
Pengadaan diutamakan melalui pembelian pangan pokok produksi dalam negeri, terlebih pada saat panen raya. Diharapkan hal itu bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/01/16/212138/Impor-Beras-Pinggirkan-Petani
Bulog Minta Kewenangan Perizinan
16 Januari 2013
Jakarta, Kompas - Tanpa ada aturan khusus yang diberikan kepada Perum Bulog, sulit bagi lembaga stabilisasi harga pangan tersebut untuk mewujudkan tujuan pemerintah mendorong peningkatan produksi kedelai dalam negeri dan pada saat yang sama menjaga harga di tingkat konsumen.
Aturan khusus perlu diberikan kepada Bulog berupa keleluasaan Bulog memberikan izin impor bagi swasta. Yang berikutnya, dalam situasi-situasi tertentu ketika terjadi lonjakan harga kedelai di pasar dunia, Bulog mendapat dukungan fiskal berbentuk anggaran cadangan pangan.
Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan itu, Selasa (15/1), di Jakarta. ”Pada prinsipnya kami tidak mau mematikan swasta. Swasta tetap diberi kesempatan, tetapi tetap dalam kendali pemerintah melalui perusahaan BUMN bernama Bulog,” ujarnya.
Kalau izin impor berada di Kementerian Perdagangan, sementara Kemendag tidak operasional. Bulog yang tahu kondisi riil di lapangan karena Bulog memang lembaga operasional.
Bulog akan memberikan izin impor kedelai kepada swasta yang bersedia mengikuti ketentuan yang ditetapkan. Misalnya menjual kedelai impor dengan harga yang ditetapkan. ”Kalau harga jual melampaui harga yang ditetapkan, izin tidak diberikan lagi. Swasta juga diberi tugas untuk membeli kedelai produksi dalam negeri,” katanya.
Meski memberikan izin impor, Bulog tidak akan mengenakan biaya tambahan. Karena itu, justru akan memperpanjang rantai distribusi dan mendorong kenaikan harga. Dengan aturan khusus ini, kuota impor yang diberikan kepada Bulog 100 persen, meski begitu swasta tetap bisa mengimpor.
Terkait pemanfaatan dana cadangan pangan, Sutarto mengatakan, pasar kedelai di dunia tidak selamanya stabil. Ada kalanya terjadi gejolak. Seperti ketika kekeringan di AS dan lonjakan permintaan kedelai dari China. Harga langsung melambung. Kalau tidak ada peluang memanfaatkan dana cadangan pangan, Bulog akan merugi kalau harus menjual kedelai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
http://cetak.kompas.com/read/2013/01/16/04141351/bulog.minta.kewenangan.perizinan
Jakarta, Kompas - Tanpa ada aturan khusus yang diberikan kepada Perum Bulog, sulit bagi lembaga stabilisasi harga pangan tersebut untuk mewujudkan tujuan pemerintah mendorong peningkatan produksi kedelai dalam negeri dan pada saat yang sama menjaga harga di tingkat konsumen.
Aturan khusus perlu diberikan kepada Bulog berupa keleluasaan Bulog memberikan izin impor bagi swasta. Yang berikutnya, dalam situasi-situasi tertentu ketika terjadi lonjakan harga kedelai di pasar dunia, Bulog mendapat dukungan fiskal berbentuk anggaran cadangan pangan.
Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan itu, Selasa (15/1), di Jakarta. ”Pada prinsipnya kami tidak mau mematikan swasta. Swasta tetap diberi kesempatan, tetapi tetap dalam kendali pemerintah melalui perusahaan BUMN bernama Bulog,” ujarnya.
Kalau izin impor berada di Kementerian Perdagangan, sementara Kemendag tidak operasional. Bulog yang tahu kondisi riil di lapangan karena Bulog memang lembaga operasional.
Bulog akan memberikan izin impor kedelai kepada swasta yang bersedia mengikuti ketentuan yang ditetapkan. Misalnya menjual kedelai impor dengan harga yang ditetapkan. ”Kalau harga jual melampaui harga yang ditetapkan, izin tidak diberikan lagi. Swasta juga diberi tugas untuk membeli kedelai produksi dalam negeri,” katanya.
Meski memberikan izin impor, Bulog tidak akan mengenakan biaya tambahan. Karena itu, justru akan memperpanjang rantai distribusi dan mendorong kenaikan harga. Dengan aturan khusus ini, kuota impor yang diberikan kepada Bulog 100 persen, meski begitu swasta tetap bisa mengimpor.
Terkait pemanfaatan dana cadangan pangan, Sutarto mengatakan, pasar kedelai di dunia tidak selamanya stabil. Ada kalanya terjadi gejolak. Seperti ketika kekeringan di AS dan lonjakan permintaan kedelai dari China. Harga langsung melambung. Kalau tidak ada peluang memanfaatkan dana cadangan pangan, Bulog akan merugi kalau harus menjual kedelai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
http://cetak.kompas.com/read/2013/01/16/04141351/bulog.minta.kewenangan.perizinan
Langganan:
Postingan (Atom)