21 Januari 2013
TAHUN 2014 makin dekat, meski kita baru memasuki
2013. Jauh sebelumnya, banyak pihak menyiapkan segalanya menyongsong
tahun Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014. Publik sangat faham bahwa
segala sesuatu yang dilakukan aktor politik pada tingkat manapun akan
semakin intensif digarap menurut skenario suksesnya dalam kontes paling
akbar bagi kemenangan kelompok politiknya. Karena, semuanya mau menang.
Jargon
semua mau menang memang sering menyesatkan. Segala program pembangunan
dan kebijakan dalam kewenangan setiap kelompok, pasti disusun
berdasarkan skenario pemenangan pemilu, tetapi senantiasa dibungkus
bumbu politik kesejahteraan populis. Realitasnya, mendekati hari H,
sungguh semakin tidak jelas apakah proyek, program dan kebijakan
pembangunan itu politik kesejahteraan atau politik citra semata.
Ketidakjelasan
nyaris nampak di seluruh urusan pembangunan, termasuk kebijakan
Pemerintah tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan
gabah petani. Tidak seperti yang terjadi pada setiap akhir tahun
beberapa waktu terakhir yang selalu diwarnai pembahasan tentang kenaikan
HPP sebagai penyesuaian harga bagi kesejahteraan petani. Akhir 2012
justru diwarnai penegasan pemerintah bahwa HPP 2013 tidak dinaikkan.
Alasannya? HPP RI sudah tertinggi se Asia Tenggara.
Tidak naik,
artinya Inpres 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan
Penyaluran Beras Oleh Pemerintah tetap berlaku. Berdasarkan Inpres yang
mulai berlaku 27 Februari 2012, HPP beras adalah Rp 6.600 per kilogram
dan HPP Gabah Kering Panen (GKP), Rp 3300 dan Rp 3350 per kilogram pada
tingkat petani dan penggilingan. Sementara HPP Gabah Kering Giling
(GKG) Rp 4150 dan Rp 4200 per kilogram untuk tingkat penggilingan dan
gudang Bulog. Semua itu terkait dengan kualitas medium.
Ada
beberapa kejanggalan dari keputusan tentang HPP yang tahun 2013 tidak
naik ini. Pertama, tidak naiknya HPP berarti selama 2013 petani dipaksa
menerima HPP yang nominalnya sama dengan HPP 27 Februari 2012. Kedua,
berbasis catatan makroekonomi bahwa inflasi RI mencapai 6% -7% per
tahun, maka HPP beras yang Rp 6.600 per kilogram, sudah pasti memiliki
nilai riel yang merosot.
Ketiga, bukankah ini menimbulkan
pertanyaan: bahwa komoditas lain boleh naik harganya dan inflationary,
tetapi harga beras tidak boleh naik selama dua tahun? Memangnya beras
pengaman inflasi? Keempat, mengingat petani beras adalah konstituen
terbesar Pemilu 2014, sungguh tidak bisa dipahami bahwa mereka harus
berkorban menerima nasib berasnya makin murah, dalam nilai riel.
Bukankah ini sebuah kezaliman pembangunan nasional, justru bagi
mayoritas warga?
Kelima, alasannya HPP beras Indonesia sudah
tertinggi se Asia Tenggara. Ini keputusan sangat sembrana dalam urusan
berbangsa. Satu sisi, harga komoditas strategis teramat terkait dengan
kebijakan moneter-fiskal-tataniaga negara masing-masing. Sehingga
kalkulasinya tidak bisa sekedar kalkulasi finansial belaka, seperti
alasan bahwa Indonesia tertinggi. Kita harus berani berhitung tentang
derajat proteksi efektif, termasuk mengukur pengaruh kebijakan moneter,
fiskal dan tataniaga tiap negara yang dirujuk dalam hal ini.
Pada
sisi lain, nilai sebuah komoditas sangatlah tergantung pada kepentingan
politik dan strategis setiap negara. Bagi RI, sungguh tidak cerdas
ketika menilai beras sekadar dari tinjauan finansial belaka, dengan
mengatakannya lebih tinggi atau lebih murah. Karena, sebutir beras
senantiasa memiliki makna politik, makna sosial, berurusan dengan
keadilan dan kedaulatan lokal, dan bahkan bermakna spiritual. Adalah
kebodohan besar memaknai beras sebagai komoditas ekonomis, apalagi
finansial semata.
Uraian singkat yang disampaikan jelas sekali
membuktikan bahwa urusan HPP ini sudah terjebak politisasi 2014,
mempermainkan isu kesejahteraan rakyat tani, meski senyatanya
kepentingan citra lebih menonjol. Sama sekali tidak masuk akal ketika
HPP yang sudah berusia satu tahun tidak akan diubah pada tahun 2013.
Tidak masuk akal karena mencederai mayoritas pemilik contrengan RI. Ini
hanyalah permainan politik murahan?
Politisasi HPP dalam hal ini
nampaknya angon wajah. Kapan waktu naik yang tepat sekaligus memunculkan
‘pahlawan’, mendongkrak citra politik. Untuk membuktikan, mari kita
amati panggung politik. Kita saksikan sampai kapan HPP tidak naik
menghadapi hari H, 2014? Memangnya nggak butuh contrengan petani?
(M Maksum Machfoedz, Guru Besar TIP-FTP UGM, Ketua PB NU)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1699/politisasi-hpp-beras.kr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar