23 Januari 2013
Gurita importir pangan kian menenggelamkan potensi Indonesia yang
seharusnya menjadi pemasok pangan dunia. Komite Ekonomi Nasional (KEN) —
yang sebagian besar anggotanya adalah para pengusaha dan ekonom—pun
geram dan mengadukan kondisi buruk ini kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Kartel itu tak hanya menimbulkan kerusakan dahsyat
bagi pertanian nasional dan merugikan petani. Industri pengolahan hingga
ekonomi secara umum juga sangat dirugikan. Alih-alih memberi makan
dunia (feed the world), impor pangan justru kian melonjak. Indonesia
sebagai negara agraris makin terperangkap dalam ketergantungan pada
pangan impor. Mulai dari beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu,
hingga daging, Indonesia mengimpor pangan besar-besaran.
Pada
2008, impor pangan masih sekitar US$ 5 miliar. Namun, Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat, tahun 2011 impor tujuh komoditas pangan itu
sudah mencapai 17,6 juta ton, senilai US$ 9,4 miliar atau sekitar Rp 90
triliun. Defisit pangan pun menembus 17,35 juta ton, senilai US$ 9,24
miliar, dengan ekspor hanya 250 ribu ton senilai US$ 150 juta.
Jika
keuntungan yang diraup importir 10% saja, ini berarti kartel pangan
setidaknya mempertebal kocek Rp 9 triliun tiap tahun. Jumlah itu membuat
segelintir importir terus ketagihan dan mampu menggoda para pengambil
keputusan negeri ini. Ada sejumlah nama, seperti trio PT Teluk Intan (PT
Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill yang ditengarai
menguasai impor kedelai. Ada pula empat produsen gula rafinasi terbesar
yang menguasai pangsa pasar 65%.
Kekuatan oligopoli yang
beroperasi sebagai kartel ini telah mendikte pasar dalam negeri. Pasar
menjadi tidak efisien, sehingga harga gampang dikerek tinggi. Ini tentu
saja sangat memberatkan masyarakat umum maupun industri pengolahan.
Petani lokal pun terpuruk dipermainkan kekuatan modal besar.
Memang
secara hukum keberadaan kartel ini sulit dibuktikan. Namun, nyata-nyata
masyarakat dan usaha kecil menengah (UKM) kian tercekik. Jika harga
gula pada 2009 masih sekitar Rp 6.300 per kilogram (kg), harga kemudian
terus naik. Saat ini, harga sudah dua kali lipat lebih, menembus Rp
13.000 per kg. Selain beras, harga kedelai dan daging sapi terus naik.
Para perajin tahu tempe dan pedagang bakso pun banyak yang gulung tikar.
Tak
bisa ditawar lagi, pemerintah harus segera memecah kekuatan oligopoli
komoditas pangan. Pemerintah harus menciptakan iklim persaingan yang
sehat dan memperkuat institusi pengawas persaingan. Pemerintah harus
memberi insentif dan membangun infrastruktur pertanian, guna mendorong
petani dan investor bermitra untuk mendongkrak produksi pangan.
Kemitraan ini bisa mencontoh skema inti-plasma perkebunan sawit yang
saling menguntungkan.
Pengembangan sentra produksi seperti
beras, gula, kedelai, dan peternakan sapi harus disegerakan. Selain
mendukung pendanaan yang dibutuhkan, pemerintah pusat dan daerah harus
kompak untuk menyediakan lahan yang dibutuhkan. Misalnya untuk gula,
lahan tambahan yang dibutuhkan hanya 300.000 hektare, namun ini tak
kunjung tersedia hingga investor mundur teratur.
Pemerintah juga
harus membangun pusat lelang komoditas di sentra-sentra produksi,
sehingga petani mendapatkan tambahan keuntungan yang selama ini dimakan
tengkulak. Petani pun akan terdorong untuk meningkatkan kualitas dan
produksi. Impor pangan juga harus dikendalikan secara tepat waktu dan
tepat jumlah.
Dengan demikian, petani yang tengah panen tidak
makin terpukul. Untuk menjaga kepentingan konsumen dan petani secara
seimbang, pemerintah juga harus turun tangan dengan menerjunkan langsung
Perum Bulog. Dengan pengalaman dan sumber daya besar, BUMN logistik
pangan ini sudah siap menjadi stabilisator, tak hanya beras, tapi juga
komoditas pangan yang lain.
Nah, kini tinggal ketegasan
pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan presiden (perpres) untuk
merevitalisasi Bulog. Payung hukum yang kuat ini diperlukan guna menebas
kartel yang menggurita di negeri ini, yang melibatkan para politisi
hingga pejabat tinggi.
http://www.investor.co.id/tajuk/memangkas-gurita-importir-pangan/53083
Tidak ada komentar:
Posting Komentar