Kamis, 24 Januari 2013

Memangkas Gurita Importir Pangan

23 Januari 2013

Gurita importir pangan kian menenggelamkan potensi Indonesia yang seharusnya menjadi pemasok pangan dunia. Komite Ekonomi Nasional (KEN) — yang sebagian besar anggotanya adalah para pengusaha dan ekonom—pun geram dan mengadukan kondisi buruk ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kartel itu tak hanya menimbulkan kerusakan dahsyat bagi pertanian nasional dan merugikan petani. Industri pengolahan hingga ekonomi secara umum juga sangat dirugikan. Alih-alih memberi makan dunia (feed the world), impor pangan justru kian melonjak. Indonesia sebagai negara agraris makin terperangkap dalam ketergantungan pada pangan impor. Mulai dari beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu, hingga daging, Indonesia mengimpor pangan besar-besaran.

Pada 2008, impor pangan masih sekitar US$ 5 miliar. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun 2011 impor tujuh komoditas pangan itu sudah mencapai 17,6 juta ton, senilai US$ 9,4 miliar atau sekitar Rp 90 triliun. Defisit pangan pun menembus 17,35 juta ton, senilai US$ 9,24 miliar, dengan ekspor hanya 250 ribu ton senilai US$ 150 juta.

Jika keuntungan yang diraup importir 10% saja, ini berarti kartel pangan setidaknya mempertebal kocek Rp 9 triliun tiap tahun. Jumlah itu membuat segelintir importir terus ketagihan dan mampu menggoda para pengambil keputusan negeri ini. Ada sejumlah nama, seperti trio PT Teluk Intan (PT Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill yang ditengarai menguasai impor kedelai. Ada pula empat produsen gula rafinasi terbesar yang menguasai pangsa pasar 65%.

Kekuatan oligopoli yang beroperasi sebagai kartel ini telah mendikte pasar dalam negeri. Pasar menjadi tidak efisien, sehingga harga gampang dikerek tinggi. Ini tentu saja sangat memberatkan masyarakat umum maupun industri pengolahan. Petani lokal pun terpuruk dipermainkan kekuatan modal besar.

Memang secara hukum keberadaan kartel ini sulit dibuktikan. Namun, nyata-nyata masyarakat dan usaha kecil menengah (UKM) kian tercekik. Jika harga gula pada 2009 masih sekitar Rp 6.300 per kilogram (kg), harga kemudian terus naik. Saat ini, harga sudah dua kali lipat lebih, menembus Rp 13.000 per kg. Selain beras, harga kedelai dan daging sapi terus naik. Para perajin tahu tempe dan pedagang bakso pun banyak yang gulung tikar.

Tak bisa ditawar lagi, pemerintah harus segera memecah kekuatan oligopoli komoditas pangan. Pemerintah harus menciptakan iklim persaingan yang sehat dan memperkuat institusi pengawas persaingan. Pemerintah harus memberi insentif dan membangun infrastruktur pertanian, guna mendorong petani dan investor bermitra untuk mendongkrak produksi pangan. Kemitraan ini bisa mencontoh skema inti-plasma perkebunan sawit yang saling menguntungkan.

Pengembangan sentra produksi seperti beras, gula, kedelai, dan peternakan sapi harus disegerakan. Selain mendukung pendanaan yang dibutuhkan, pemerintah pusat dan daerah harus kompak untuk menyediakan lahan yang dibutuhkan. Misalnya untuk gula, lahan tambahan yang dibutuhkan hanya 300.000 hektare, namun ini tak kunjung tersedia hingga investor mundur teratur.

Pemerintah juga harus membangun pusat lelang komoditas di sentra-sentra produksi, sehingga petani mendapatkan tambahan keuntungan yang selama ini dimakan tengkulak. Petani pun akan terdorong untuk meningkatkan kualitas dan produksi. Impor pangan juga harus dikendalikan secara tepat waktu dan tepat jumlah.

Dengan demikian, petani yang tengah panen tidak makin terpukul. Untuk menjaga kepentingan konsumen dan petani secara seimbang, pemerintah juga harus turun tangan dengan menerjunkan langsung Perum Bulog. Dengan pengalaman dan sumber daya besar, BUMN logistik pangan ini sudah siap menjadi stabilisator, tak hanya beras, tapi juga komoditas pangan yang lain.

Nah, kini tinggal ketegasan pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan presiden (perpres) untuk merevitalisasi Bulog. Payung hukum yang kuat ini diperlukan guna menebas kartel yang menggurita di negeri ini, yang melibatkan para politisi hingga pejabat tinggi.

http://www.investor.co.id/tajuk/memangkas-gurita-importir-pangan/53083

Tidak ada komentar:

Posting Komentar