31 Januari 2013
Salah satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warga.
Pada
2015, jumlah penduduk mencapai 255 juta jiwa. Dengan angka konsumsi 135
kilogram per kapita per tahun, diperlukan beras 38,49 juta ton. Untuk
menghasilkan beras sebesar itu butuh luas panen 13,38 juta hektar.
Padahal, luas panen yang tersedia hanya 12,65 juta hektar alias defisit
0,73 juta hektar. Menurut Kementerian Pertanian, defisit luas panen 2020
mencapai 2,21 juta hektar dan membengkak jadi 3,75 juta hektar pada
2025 dan 5,38 juta hektar pada 2030.
Dewasa ini, lahan pertanian
kian sempit. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000
hektar. Pada periode 2002-2006 melonjak menjadi 145.000 hektar per
tahun. Akan tetapi, rentang 2007-2010 di Jawa saja laju konversi
rata-rata 200.000 hektar per tahun (Kompas, 24/5/2011). Lahan (sawah
beririgasi teknis, nonteknis, dan lahan kering) di Jawa pada 2007 masih
4,1 juta hektar, kini hanya tinggal 3,5 juta hektar.
Indonesia
memasuki darurat lahan pertanian pangan. Lahan sawah Indonesia hanya
8,06 juta hektar dan tegalan/kebun 12,28 juta hektar (BPS, 2009).
Indonesia memang amat tertinggal dalam penyediaan lahan pertanian,
khususnya sawah. Amerika Serikat memiliki lahan pertanian sekitar 175
juta hektar, India (161 juta), China (143 juta), Brasil 58 (juta),
Thailand (31 juta), dan Australia (50 juta). Luas lahan per kapita
Indonesia 0,03 hektar. Bandingkan dengan Australia 2,63 hektar; AS
(0,61); Brasil (0,34); China (0,11); India (0,16); Thailand (0,52); dan
Vietnam (0,10) (Kementerian Pertanian, 2011).
Lahan pertanian
terancam punah. Tanpa usaha mencegah (moratorium) konversi lahan,
terutama di Jawa, ketahanan pangan bakal mengalami rongrongan serius.
Selama ini, 56-60 persen produksi padi bertumpu pada sawah-sawah subur
di Jawa. Dengan dukungan irigasi teknis, produktivitas sawah di Jawa
tinggi (51,87 kuintal per hektar) ketimbang di luar Jawa (39,43 kuintal
per hektar) sehingga Jawa menghasilkan surplus beras. Selama ini,
pencetakan sawah baru oleh pemerintah rata-rata 37.000-45.000 hektar per
tahun. Jika konversi lahan tak terkendali, surplus beras tidak akan
terjadi. Rawan pangan meruyak. Tenaga kerja di sektor pertanian
kehilangan pekerjaan, jumlah penganggur meningkat. Ini akan menimbulkan
kerawanan sosial.
Konversi lahan merupakan fenomena umum selama
pembangunan berlangsung. Pertumbuhan ekonomi selangit, transformasi
struktur ekonomi dan laju pertambahan penduduk yang tinggi merupakan
determinan utama konversi lahan pertanian. Semua itu butuh tapakan
lahan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi mendongkrak mutu sosial-ekonomi
lahan non-pertanian. Perpaduan antara permintaan dan rente lahan
non-pertanian yang terus meningkat inilah yang menyebabkan konversi
lahan berjalan masif.
Dampak berganda
Pertanyaannya,
apa kerugian konversi lahan? Sebagai negara berpenduduk besar, seperti
kata Presiden Soekarno, pangan adalah soal hidup-mati. Dalam jangka
pendek, konversi lahan seolah- olah menguntungkan secara ekonomi.
Padahal, konversi lahan yang tak terkendali jadi ancaman serius masa
depan negara. Konversi lahan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi
domestik merosot, lalu kita akan bergantung pangan impor. Kita tahu,
sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli, pasarnya tipis dan
harganya tak stabil.
Ditilik dari sisi mana pun, konversi
lahan—terutama sawah beririgasi—amat tidak menguntungkan. Menurut Bulog
(1973), setiap satu hektar sawah di Jawa dikonversi akan hilang dana
4.000 dollar AS untuk membuat kebun beras. Dengan laju konversi 145.000
hektar per tahun, nilai ekonomi yang lenyap 580 juta dollar AS (Rp 5,3
triliun) per tahun. Adapun padi yang hilang 1,3 juta ton gabah.
Kerugian
konversi kian besar bila biaya pemeliharaan sistem irigasi dan rekayasa
kelembagaan pendukung diperhitungkan. Menurut Sumaryanto dan Tahlim
Sudaryanto, investasi mengembangkan ekosistem sawah per hektar Rp 210
juta pada 2005. Ini belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan
pendapatan petani penggarap, penggilingan padi, buruh tani, industri
input (pupuk, pestisida, alat pertanian), dan sektor pedesaan lain.
Hampir
pasti, suhu udara meningkat. Potensi erosi, banjir, dan longsor lebih
besar, serta kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Dampak
berganda konversi itu tak pernah disadari karena kita hanya menilai
sawah sebagai penghasil pangan dan serat. Padahal, selain menghasilkan
pangan, sawah multifungsi, yakni menjaga ketahanan pangan, menjaga
kestabilan fungsi hidrologis daerah aliran sungai, menurunkan erosi,
menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan, dan
mempertahankan nilai-nilai sosial budaya pedesaan.
Guna mencegah
konversi lahan tersedia payung hukum, yakni UU No 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU ini dilengkapi
empat peraturan pemerintah dan satu peraturan menteri. Semangat
peraturan ini adalah mencegah konversi lahan pertanian. Konversi hanya
untuk kepentingan umum. Itu pun syaratnya maha-berat. Pelanggar bisa
dipidana 2-7 tahun, denda Rp 1 miliar-Rp 7 miliar.
Namun, UU dan
seperangkat PP itu masih mandul. Untuk mencegah konversi, tak cukup cara
legal-formal. Pemerintah perlu mengembangkan insentif yang lebih
menarik, seperti kebijakan teknis pertanian, penyaluran benih unggul,
bimbingan penyuluhan dan pendampingan petani, jaminan harga jual, dan
pasar. Terakhir, kebijakan penegakan hukum tanpa pandang bulu untuk
mencegah pragmatisme bisnis dan politik.
Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
http://cetak.kompas.com/read/2013/01/30/02581633/Darurat.Lahan.Pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar