Kamis, 29 November 2012

Bulog: Pengadaan beras lokal Bengkulu tidak tercapai

28 November 2012

Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Pengadaan beras lokal Bengkulu pada 2012 yang ditargetkan sebanyak 7.500 ton diprediksi tidak tercapai karena hingga saat ini baru terealisasi 3.300 ton, kata Kepala Bidang Pelayanan Publik Bulog Divisi Regional Bengkulu Heri Darmawan.

"Beras yang didapat sebanyak itu sudah dibantu pengadaan jarak jauh yaitu daerah perbatasan Sumsel dan Lampung," katanya di Bengkulu, Rabu.

Ia memperkirakan hingga Desember 2012 pengadaan lokal itu paling tinggi mencapai 4.500 ton. Jumlah itu tercapai bila ada pasokan beras dari provinsi tetangga.

"Untuk pengadaan lokal di Bengkulu saat ini produksi beras petani hanya cukup untuk makan petani bersangkutan hingga musim panen mendatang," katanya.

Hal itu, katanya, terlihat dari kebutuhan beras untuk warga Bengkulu setiap tahun yang mencapai 30 ribu ton. Beras itu sebagian besar dipasok Bulog.

"Kami bersama tim Bulog sudah keliling pada seluruh sentra produksi beras di Bengkulu, namun belum menemukan panen raya dalam jumlah luas," katanya.

Pasokan beras melalui Bulog Bengkulu setiap tahun berkisar 25 ribu hingga 30 ribu ton. Bila daerah Bengkulu terjadi peningkatan produksi, pengadaan Bulog tidak akan sebesar itu.

Ia mencontohkan di wilayah Sumsel dengan sentra beras di Belitang, Musi Banyu Asin, Lubuklinggau, dan Musi Rawas dengan produksinya betul-betul nyata atau bukan di atas kertas.

Kepala Humas Bulog Divre Bengkulu Riswan mengatakan stok beras di Bulog Bengkulu sebanyak 7.500 ton, sedangkan awal Desember 2012 akan masuk 3.000 ton dari Jawa Tmur.

Stok beras seluruhnya di Bulog Bengkulu akan mencapai di atas 10 ribu ton dengan perkiraan bisa memenuhi kebutuhan tiga bulan ke depan. (ANTARA)


http://www.antarabengkulu.com/berita/8199/bulog-pengadaan-beras-lokal-bengkulu-tidak-tercapai 

Rabu, 28 November 2012

IMPOR BERAS: Kuota impor hanya akan dipakai 700.000 ton

28 November 2012

JAKARTA: Dari plafon 1 juta ton, pemerintah diperkirakan hanya akan mengimpor 500.000--700.000 ton beras hingga penghujung 2012.

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menuturkan meski ijin impor sudah dikeluarkan, pemerintah hanya akan mengeksekusi sebagian dari komitmen impor beras pada akhir 2012 ini.

"Itu hanya akan dieksekusi sebagian karena alhamdulillah panen bagus. Tapi kita antisipasi suasana kurang baik dari cuaca," kata Gita usai rapat koordinasi terkait pangan di Kemenko Perekonomian, Rabu (28/11).

Menurutnya, opsi impor beras terpaksa ditempuh untuk mengamankan stok beras pemerintah yang dikelola Perum Bulog yakni minimal 2,4 juta ton.

"Saya rasa sekitar 500.000 ton [beras yang akan diimpor]. Yang sudah dieksekusi 200.000 ton dari komitmen 700.000 ton. Tapi realisasi antara 500.000-700.000 ton," ujarnya.

Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso menuturkan komitmen impor beras pada 2012 mencapai 720.000 ton, yakni berasal dari India 120.000 ton dan Vietnam 600.000 ton.

"Maksimum 600.000--700.000 ton yang akan diimpor, karena kita selalu berhitung jangan sampai stok bulog kurang dari 2 juta ton," katanya.

Adapun biaya yang perlu disiapkan untuk importasi 700.000 beras diproyeksi mencapai Rp3 triliun. Selain India dan Vietnam, lanjutnya, Bulog juga menjajaki beras impor dari Kamboja, namun untuk volume yang kecil. (arh)

http://www.bisnis.com/articles/impor-beras-kuota-impor-hanya-akan-dipakai-700-dot-000-ton

Bos Bulog Klaim Serapan Beras Petani Tahun Ini Catat Rekor Sejarah

28 November 2012

Jakarta - Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengklaim serapan beras dari dalam negeri sampai bulan November 2012 sudah mencapai 3.560.000 ton. Capaian ini merupakan tertinggi kedua setelah tahun 2009 yang mencapai 3,6 juta ton.

"Ternyata beras kita di dalam negeri cukup baik sampai hari ini kita sudah menyerap 3.560.000 ton sudah 2 kali lipat tahun lalu dan 2010. Kemudian pada posisi ini tertinggi kedua setelah 2009 yang mencapai 3,6 juta ton," kata Sutarto di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta, Rabu (28/11/2012).

Sutarto berpendapat dengan capaian 3,5 juta ton dan dikurang jumlah konsumsi yang mencapai 1,1 juta ton sehingga stok sampai akhir tahun bisa mencapai 2,4 juta ton. Dengan hasil ini, maka Indonesia hanya akan melakukan impor maksimum sebesar 700 ribu ton. "Mungkin maksimum 700 ribu ton," imbuhnya.

Ada dua negara yang telah dibidik Bulog untuk melakukan impor beras. Kedua negara itu adalah India dan Vietnam dengan jumlah yang berbeda. "Yang sudah terkontrak 720 ribu ton dari India 120 ribu dan Vietnam 600 ribu ton," tutupnya.

Ditempat yang sama, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan capaian yang dilakukan Bulog hingga hari ini. Menurutnya capaian yang dilakukan Bulog cukup menggembirakan dan tertinggi kedua setelah tahun 2009.

"Tadi ada laporan yang menggembirakan sampai akhir tahun Bulog stok beras sudah hampir mencapai level yang sama di 2009 yaitu 3, juta ton lebih kita antisipasi sebagian dikonsumsi jadi stok hingga akhir tahun mencapai 2,4 juta ton," tandasnya.

http://finance.detik.com/read/2012/11/28/170032/2104152/4/bos-bulog-klaim-serapan-beras-petani-tahun-ini-catat-rekor-sejarah

Selasa, 27 November 2012

Kenaikan Kuota Impor Daging Langgar UU Pangan

26 November 2012

JAKARTA - Ketua Komisi IV DPR, M Romahurmuziy, menilai rencana pemerintah menaikkan kuota impor daging menyalahi Undang-undang (UU) Pangan. Alasannya, sesuai pasal 14 ayat 2 UU Pangan maka impor hanya bisa dilakukan manakala produksi dalam negeri tidak mencukupi.

Padahal menurutnya, Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Peternakan (Ditjennak) Kementan sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam manajemen stok pangan subsektor ternak, sudah berkali-kali meyakinkan bahwa stok daging masih ada. "Dan stok ini akan digunakan untuk menormalisasi harga. Harga-harga mulai kemarin terpantau sudah berangsur normal," katanya, Senin (26/11).

Romi -sapaan Romahurmuziy- menambahkan, Komisi IV DPR juga sudah menemukan adanya bukti-bukti rekayasa kenaikan harga dan kelangkaan daging sapi ini sebagai gerakan sepihak untuk menopang tuntutan adanya kenaikan kuota impor daging.

"Tapi ini Kemendag (Kementerian Perdagangan) sebagai institusi yang bukan tupoksinya mengurus stok ternak justru menyuarakan perlunya kenaikan kuota impor. Ada apa ini?" katanya tak habis pikir.

Pria yang juga Sekjen PPP itu menegaskan, peternak hanya mendapat harga sapi hidup Rp 20 ribu per kilogram. Akibatnya mereka tak mau beternak sapi untuk sumber pendapatannya.

"Sekarang ketika harga sapi bakalan hidup sedikit naik di atas harga ideal Rp30 ribu hingga Rp32 ribu per kilogram, pemerintah melalui Kemendag justru menghancurkan kuncup harapan yang baru mekar dengan rencana menaikkan kuota impor," ulasnya.

Menurutnya, rencana kenaikan kuota impor inilah yang ditunggu-tunggu perekayasa kenaikan harga dan kelangkaan daging sapi ini. "Barangkali, lobi mereka memang lebih kuat, dan para peternak kecil kita tidak mampu melobi. Makanya dlm kondisi ini, para peternak selalu dlm posisi dikalahkan," jelasnya.

Seperti diberitakan, pemerintah akhirnya mengeluarkan jalan pintas untuk memenuhi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri yang membuat harga melonjak. Hal ini disampaikan oleh Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/11).

"Harga daging sudah turun sedikit. Tapi kita akan sikapi. Menko Perekonomian Hatta Rajasa sudah keluarkan pernyataan bahwa impor akan kita buka lagi untuk daging. Mudah-mudahan bisa," ungkap Gita. (boy/jpnn) 
 

Minggu, 25 November 2012

Degaramisasi sampai Dekedelaisasi: Negara dalam Ketiak Importir

22/11/2012

2014 sudah dekat. Itulah jatuh tempo target swasembada enam komoditas strategis: beras, gula, jagung, kedelai dan daging sapi dalam koordinasi Kementerian Pertanian, dan garam, Kementerian Kelautan dan Perikanan, KKP. Komitmen keswasembadaan telah kelewat santer diproklamirkan melalui beragam kesempatan dalam mendukung komitmen terpenting Presiden SBY dalam urusan pangan nasional merespon krisis pangan global.
Ironisnya, fakta lapangan menunjukkan bahwa penguatan keswasembadaan yang dibanggakan sebagai unggulan politik KIB, Kabinet Indonesia Bersatu, ternyata acapkali berjalan bersamaan dengan banyak kebijakan yang berimplikasi sebaliknya: penggembosan jalan swasembada. Penggembosan itu sepenuhnya mencederai target swasembada 2014. Terlebih ironis lagi bahwa segala pencederaan itu telah terjadi dengan fenomena seragam.

Secara sistemik, pola pencederaan terhadap beragam komoditas strategis yang selama ini mengandalkan importasi, nyaris sama. Celakanya, respon Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) juga nyaris sebangun. Fenomena menyedihkan, bahwa keputusan KIB mudah berubah karena tekanan politik jalanan para pemilik uang, importir pangan strategis, seperti transparan dipertontonkan akal-akalannya dalam krisis kedele dan daging sapi mutakhir. Kata strategis untuk sejumlah komoditas dengan demikian kehilangan makna sakral. Karena itu, krisis garam yang belum selesai, telah disusul krisis beras, gula, jagung, kedele dan hari ini, daging sapi.

Pengkhiatanan keswasembadaan memang sangat kasat mata. Pertama dimulai dengan degaramisasi. Semangat swasembada dengan kewajiban importir untuk membeli produk lokal sebelum importasi, tidaklah terlalu sulit dimentahkan ketika faktanya formalisasi pembelian dan ketercapaian harga garam rakyat yang terbatas masih saja mewarnai pergaraman nasional. Sementara, upaya pengembangan produktifitas garam nasional oleh KKP selalu menghadapi sulitnya mengais subsidi bagi petani garam vis-a-vis petani lain. Pertanyaannya, bagaimana bisa swasembada tahun 2014 nanti?

Kedua, penggembosan gula. Importasi gula mentah, raw sugar, oleh Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang diperkarakan APTRI, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, awal Juli. Importasi ini menyalahi aturan karena PPI bukan importir produsen. Akan tetapi penyimpangan tersebut malah dilegalisir Kemendag tanpa melibatkan APTRI. Protes keras sudah pasti menyurutkan semangat swasembada petani tebu. Kolonialisasi gula rafinasi pun akan semakin menggurita. Bagaimana bisa merubah 40 persen import jadi swasembada 2014, memerlukan konsistensi.

Ketiga, terjadi pada beras. Ketika dicanangkan surplus 10 juta ton 2014, setelah kini swasembada, ternyata Pemerintah memutuskan importasi satu juta ton, 2012, menyusul importasi 1,8 juta ton, 2011. Itu masih pula ditambah dengan ditandatangani MOU dengan Vietnam yang harus menjatah satu juta ton per tahun, 2013-2017. Kegerahan petani tentu bisa dimaklumi ketika bertanya: gimana mau surplus kalau kebanjiran import terus-menerus? Pasti sekali, swasembada bukanlah swasembada beras Vietnam.

Keempat, ketergantungan akademik jagung. Sementara ini angka ketergantungan produksi jagung cukup rendah. Produksi ramalan 2012 mencapai 79 persen dari target 24 juta ton. Akan tetapi nilai ketergantungan benih jagung semakin mengerucut pada benih import dan sama sekali tidak memperoleh antisipasi akademik memadai dalam hal perbenihan. Pemihakan akademik tidak dilihat sebagai sangat penting, sementara seed dependency, ketergantungan gterhadap benih semakin memuncak.

Kelima, balada kedelai Ramadlan. Gerakan penghapusan cukai import kedelai sistematis dilakukan. Mudah diduga bahwa gerakan demonstrasi tahu-tempe pasti dijawab Pemerintah dengan penghapusan cukai. Itulah target kartel, dalang demo. Dekedelaisasi sistematis berjalan tidak hanya pada tingkat eksternal. Internal, sungguh sulit publik memaklumi kinerja pembangunan Kementan, ketika realisasi produksi 2012 hanya 780.000 ton, setara dengan 40 persen target produksi 1,9 juta ton untuk 2012, yang dibuat dan dijanjikan Kementan sendiri. Kok mentarget swasembada 2014?

Keenam, terjadi pada daging sapi. Penggembosan terjadi Ramadlan ini dalam eskalasi importasi dan disusul krisis daging sapi minggu ini. Kalau Ramadlan lau pembenaran importasi kembali berdalih Idul Fitri, hari ini jelas sekali sebagai tekanan politik jalanan terhadap Negara ketika membatasi importasi. Tentu ini mengganggu pengendalian importasi dari 34,9 persen, 2011, menjadi 17,5 persen, 2012. Keswasembadaan daging sapi 2014 dengan ini diyakini bakal mundur lagi setelah gagal sekian kali, 1995-2000-2005-2010. RI bukanlah RUU, Republik Undur-Undur.

Kembali ke garam. Ketika hari ini kita berbicara Garnas, Garam Nasional, untuk ke sekian kalinya kita mengkritisi aib abadi Negeri ini. Kesenjangan nyata antara potensi dan realitas importasi tentu menjadi konsentrasi sentral pelomek Garnas. Mulai dari urusan prasarana dan sarana, teknologi produksi, sampai urusan tataniaga, ternyata Garnas memang adalah anak tiri pembangunan nasional. Marjinalisasi dan amputasi Garnas sangat mudah sekali ditengarai dengan segala indikasi.

Pada tingkat prasarana, benar sekali bahwa 96.000 kilometer panjang pantai RI adalah sumberdaya. Akan tetapi aksessibilitasnya bagi petani ternyata terbatas dan terbatas pulalah kapasitas produksi, kuantitas maupun kualitas. Hal ini terjadi karena, infrastruktur tidak pernah dibenahi untuk bisa memanfaatkan air laut sebagai bahan baku tidak cukup memadai. Faktanya, nyaris segala infrastruktur pengambilan air adalah bangunan air yang kedaluwarsa dan harus diupayakan sendiri oleh petani garam. Itupun baru aksessibilitas air permukaan. Sementara pergaraman negara lain sudah mengakses air dengan kandungan yang sangat baik bagi garamisasi.

Untuk sarana produksi, persoalannya nyaris sama. Petani garam, yang mayoritasnya rekan-rekan Madura dan Nahdliyin, nyaris tidak tersentuh kemudahan sarana produksi, seperti teknologi, penyuluhan, permodalan murah, dan segala sarana produksi sistim Garnas. Sarana-prasarana ini adalah dua hal yang secara teknis sangat berpengaruh terhadap produktifitas Garnas. Apa pula tujuan pembiaran ini kalau tidak untuk menghidup-hidupkan keterbatasan produksi dalam negeri serta kemudian dijadikannya sebagai pembenar untuk importasi bagi para kroni importasi.

Pada tingkat teknologis, muncul kelakar sinis. Air kencing juga menjadi garam di bawah terik matahari. Inilah simplifikasi teknologis yang tidak canggih amat. Persoalannya, pengembangan teknologi pergaraman untuk meningkatkan produktifitas, bukanlah kapasitas petani garam. Pendampingan memadai sudah seharusnya dilakukan oleh Negara untuk bisa meningkatkan daya saing teknologis Garnas Rakyat, termasuk bagaimana meningkatkan kualitas Garnas konsumsi menjadi Garnas industri. Itu jikalau negara tidak menganaktirikan rakyat tani Garnas. Ketika kisruh memuncak, Negara baru tergopoh-gopoh berlagak peduli.

Berdasarkan kajian dinamikanya, bisa disimpulkan bahwa semangat swasembada telah digerogoti dan dicederai sendiri. Tak bisa dibantah bahwa kegagalan produksi memang diurip-urip, dipelihara. Itulah proses degaramisasi sampai dekedelaisasi, untuk melanggengkan importasinya yang penuh rejeki. Tidak bisa dibantah bahwa keseragaman sistemik yang telah terjadi menggambarkan betapa keputusan dan kebijakan telah terdistorsi dan menempatkan Negara dalam ketiak importir, kalau tidak boleh disebutkan bahwa keputusan dan kebijakan itu memang konspiratif.

Sungguh sulit diharapkan akan terjadinya pemulihan kepercayaan publik kepada KIB, ketika mencla-mencle. Kemarin hal yang sama terjadi dalam urusan kedele. Hari ini daging sapi. Esok pagi akan kembali lagi menimpa perberasan nasional, dan esok lusa gula rafinasi membunuh rakyat tani. Sementara, kisruh Garnas tetap abadi. Semuanya dengan prosesi politik yang sama, keterjebakan KIB dalam ketiak politik pemilik uang. Hasilnya, keswasembadaan pangan strategis ini pasti gagal maning dan gagal maning di tahun 2014.

Tersanderanya Pemerintah seperti ini pasti bukan kehendak publik rakyat jelata, pemilik mayoritas contrengan dalam Pemilu dan Pilpres 2014 mendatang... insya Allah...  

* Ketua PBNU, guru besar Pertanian UGM

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40911-lang,id-c,kolom-t,Degaramisasi+sampai+Dekedelaisasi++Negara+dalam+Ketiak+Importir-.phpx 

Jumat, 23 November 2012

PBNU Sesalkan Pemerintah Disetir Importir

23/11/2012

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyesalkan lemahnya proteksi pemerintah terhadap para petani lokal. Hal itu terlihat dari mudahnya pemerintah untuk membuka keran impor bagi sejumlah komoditi pangan, seperti garam, kedelai, beras, dan daging sapi.

"Yang memprihatinkan, kabinet  kok bisa disetir oleh komprador.  Kami sangat menyesalkan  bagaimana kabinet mengambil keputusan dipengaruhi oleh beberapa orang komprador. Produktifitas lokal diabaikan sehingga kesannya kualitas pertanian dan peternakan lokal rendah agar ada alasan untuk mengimpor. Mayoritas korbannya adalah masyarakat kecil di kampung-kampung," tandas Ketua PBNU Prof KH Maksum Machfudz, dalam konferensi pers tentang rencana kerjasama Komite Garam PBNU dengan PT Garuda Food dalam meningkatkan produksi garam rakyat, di Gedung PBNU, Kamis (22/11).

Prof Maksum mengatakan,  PBNU mendukung dengan sangat serius langkah-langkah yang dilakukan oleh Komite Garam, dalam meningkatkan kualitas dan produktifitas serta pemasaran garam rakyat yang diproduksi oleh Asosiasi Petani Garam Nusantara (Aspegnu).
"PBNU mendukung, karena ini menjadi  problem masyarakat luas. PBNU dibentuk untuk memoderasi masyarakat di segala bidang, termasuk di bidang ekonomi dan politik. Kita mendesak pemerintah agar menciptakan iklim ekonomi yang berkeadilan, dan jauh dari kenakalan," tandasnya.

Tentang rencana kerjasama Aspegnu, Komite Garam PBNU dengan PT Garuda Food, Machfoud berharap bisa menjadi solusi bagi problem pangan di negeri ini, sekaligus juga menjadi percontohan bagi pemerintah, bahwa sejatinya, produksi lokal pun bisa bersaing jika diperhatikan dan diberi pembinaan.
"Dari kasus garam ini, kita mulai perbaikan. Kasus garam ini menjadi uji coba,  agar mengetuk rekan-rekan di kabinet bahwa banyak masyarakat kecil yang harus didampingi. Mereka tak harus dimanjakan, hanya diperlukan kebijakan dan sentuhan kecil agar mereka mampu berkembang," ujarnya.

Ia menguraikan sejumlah masalah pangan di negeri ini adalah bagian dari desain segelintir importir pangan, yang ingin mengambil keuntungan dengan membunuh produksi para petani dan peternak lokal.
"Garam dari tahun lalu belum selesai. Garam belum selesai disusul masalah beras. Kita gembar-gembor swasembada beras, tapi pemerintah impor terus. Kemudian swasembada kedelai juga diserang krisis. Krisis ini dibuat oleh kartel importer yang memanfaatkan psikologi massa. Jagung,  gula juga tinggal menunggu bom waktu. Gula diancam kebanjiran gula rafinasi. Ditambahlagi oleh krisis daging sapi," paparnya.

Ditambahkan, berbagai problem pangan itu sengaja diciptakan oleh sejumlah pengusaha dengan memainkan pasar, menimbun bahkan melenyapkan sejumlah komoditi pangan dari pasaran, sehingga harga-harga melambung naik, lalu mendesak pemerintah untuk meningkatkan jumlah impor bahkan menghapuskan bea cukai impor pangan.

"Negara ini tak bisa diharapkan, kecuali komitmen bersama dari berbagai elemen  masyarakat. Kita tak mau dikadalin terus oleh komponen bangsa tertentu yang ingin mengambil keuntungan  dari impor. Ini bukan su'udzon.  Ini persoalan konspirasi, kongkalikong Negara dengan komprador, agar memelihara rendahnya kualitas lokal, untuk melegalkan impor pangan," tandasnya.

Ia menyesalkan sikap abai pemerintah terhadap petani dan peternak lokal, juga upaya liberalisasi ekonomi pangan yang dilakukan pemerintah. Padahal, kata Machfoud, negara-negara maju seperti Amerika saja melakukan proteksi ketat terhadap produksi pangan lokal.
"Keterbatasan tekhnologi petani sangat sulit dijangkau oleh masyarakat. Di Amerika petani mendapat subsidi pemerintah, di kita perhatian pemerintah rendah. Negara-negara maju masih keberatan menurunkan subsidinya pada pertanian. Tapi Negara kita malah bergaya menghapus subsidi untuk petani lokal dan membuka keran impor selebar-lebarnya," katanya.

http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,40923-lang,id-t,PBNU+Sesalkan+Pemerintah+Disetir+Importir-.phpx

Kamis, 22 November 2012

JK: Swasembada Beras Butuhkan Upaya 6 Bulan

21 November 2012

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Mantan Wapres, Jusuf Kalla (JK), mengatakan hanya membutuhkan waktu enam bulan untuk melakukan upaya-upaya mewujudkan swasembada beras. Berdasarkan pengalamannya terdahulu, yang harus diperbaiki adalah koordinasi dengan setiap daerah untuk turut menyukseskan program tersebut.

“Saya dulu hanya membutuhkan waktu enam bulan untuk melakukan berbagai upaya mewujudkan swasembada beras," kata dia dalam acara Pekan Inovasi Mahasiswa Pertanian Indonesia (PIMPI) beberapa waktu lalu di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Darmaga, Bogor, Rabu (21/11).

Menurutnya, pemerintah perlu berkoordinasi intensif dengan setiap daerah dan memperbaiki faktor-faktor terkait produksi padi, seperti penyediaan benih, pupuk, pengairan dan cara pemanenan. Dalam kegiatan yang diikuti 18 perguruan tinggi se-Indonesia ini ia mengemukakan, demi mewujudkan swasembada beras, JK berkeliling daerah, mendatangi gubernur dan bupati langsung untuk mendorong perbaikan faktor produksi beras di daerah tersebut.

"Hasilnya, pada tahun 2008, 2009 dan 2010, Indonesia minim impor beras, tapi setelah saya tinggal, Indonesia impor beras lagi," ujarnya. Berkaca pada pengalamannya, diperlukan political will yang kuat dari pemerintah untuk mengurangi impor pangan khususnya beras.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/11/21/mdtds8-jk-swasembada-beras-butuhkan-upaya-6-bulan

Senin, 19 November 2012

Pekerjaan Besar Bidang Pangan

19 November 2012
Sapuan Gafar
Setelah mengalami penantian cukup panjang, RUU Pangan akhirnya disahkan menjadi UU. Mencermati naskah UU Pangan terbaru ini, ternyata kita masih dihadang pekerjaan rumah yang besar dan berat.
UU Pangan versi baru cakupannya sangat luas. Agar lebih jelas ruang lingkupnya, maka diuraikan terlebih dahulu perbedaan antara pangan dan pertanian.
Pangan merupakan hasil dan atau produk olahan dari hasil pertanian. Sementara cakupan pertanian itu meliputi pertanian pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan serta air. Pengaturan yang berkaitan dengan pertanian lebih menyangkut budidayanya (on farm), sedangkan untuk pangan lebih menyangkut penyediaan, pengolahan, distribusi, keamanan, kesehatan, dan konsumsinya (off farm).
Bagi negara yang menganut paham pasar bebas, UU Pangan lebih banyak mengatur keamanan pangan saja. Urusan lain diatur oleh pasar. Berbeda dengan UU Pangan yang lama (UU No 7/1996). Selain mengatur keamanan pangan, juga mengatur tentang ketahanan pangan, stabilisasi harga pangan, label dan iklan pangan, dan lain-lain. Jadi sudah lebih komprehensif.
Dulu dan kini
Dari pemahaman di atas, maka tidak mudah membuat peraturan pemerintah (PP) dari UU Pangan yang baru disahkan ini mengingat ruang lingkupnya sangat luas dan banyak yang sudah diatur berbagai UU dan PP sebelumnya secara sektoral. Pertanyaannya, UU Pangan baru ini akan jadi ”komandan” dalam arti UU lain harus menyesuaikan atau jadi koordinator saja.
UU Pangan yang lama hanya bersifat mengoordinasikan dan mengisi pengaturan pangan yang belum ada atau belum diatur secara jelas. Untuk UU Pangan baru, landasannya adalah kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan dan keadilan. Dengan demikian, logikanya, UU lain harus menyesuaikan UU ini. Maka, hal ini mungkin akan menjadi persoalan tersendiri.
Dalam mengajukan RUU Pangan tahun 1976 diperlukan persetujuan tertulis dari Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kesehatan, Menteri Kehakiman, serta Menteri Sekretaris Negara yang mengoordinasikan semua legislasi saat itu. Adapun RUU-nya disiapkan selama tiga tahun, konsepnya dibahas dengan tim antardepartemen dan sudah disosialisasikan bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional. Selain itu, untuk menyusun rancangan PP tentang pangan, kita masih harus melibatkan instansi terkait sehingga diperlukan waktu yang cukup lama. Sekarang ini ego sektoral tampak lebih menonjol sehingga penyelesaian RPP-nya diperkirakan akan lebih alot.
Pada saat ini GBHN sudah tidak ada lagi dan sebagian besar kewenangan mengenai pangan sudah diserahkana kepada daerah. Dahulu, untuk membuat PP tentang label dan iklan pangan perlu tiga tahun dan terjadi perdebatan publik yang keras tentang label halal. Untuk menyelesaikan PP tentang keamanan dan mutu gizi pangan butuh tiga tahun lebih, bolak-balik masuk Sekretariat Negara. Namun, sebelum disetujui oleh Sekretariat Negara terjadi kecelakaan. Kantor Menteri Pangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Alhasil, PP tentang Keamanan, Mutu. dan Gizi Pangan diselesaikan oleh Departemen Kesehatan (Badan Pengawas Obat dan Makanan) pada 2004. Pada 2002, PP tentang Ketahanan Pangan diselesaikan oleh Departemen Pertanian (Badan Ketahanan Pangan).
Hal yang akan menjadi ganjalan dalam penyelesaian RPP UU Pangan yang baru adalah faktor kelembagaannya. Pertama, lembaga tersebut diharapkan yang akan menjadi inisiator dan atau koordinator penyusunan RPP.
Kedua, bentuk lembaga dalam UU Pangan tak diatur eksplisit, hanya memerintahkan kepada Presiden membentuk ”lembaga pemerintah” untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional.
Apabila tugasnya seperti ini, lembaganya akan jadi ”lembaga super”, harus adi komandan lembaga di bawah urusan pangan. Tidak mungkin hanya berbentuk lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Bentuk Kementerian Pangan sekalipun tidak cukup. Apalagi sekarang tak ada GBHN lagi dan kewenangan urusan pangan sudah diserahkan kepada daerah.
Ketiga, masalah anggaran akan menjadi kendala karena untuk lembaga yang baru belum dapat berbuat apa-apa lantaran belum ada anggarannya. Selain itu, masalah pengisian staf dengan kualifikasi seperti yang diinginkan juga tak mudah.
Keempat, untuk lembaga baru akan ada kendala kantor, membangun kantor yang baru perlu waktu dan biaya, untuk persetujuan anggaran perluasan kantor KPK saja menjadi persoalan. Kelima, apabila tugas perencanaan dari lembaga ini tidak disertai anggaran untuk pelaksanaannya di daerah, nasibnya akan sama dengan yang sekarang ini alias tidak jalan.
Jalan keluar
Pekerjaan rumah yang diberikan UU Pangan kepada pemerintah cukup pelik dan sulit. Dibentuk kementerian pangan baru, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkendala jumlah kementerian yang sudah dibatasi. Apalagi bentuk yang diinginkan super kementerian, hal ini tidak ada kamusnya di negeri ini. Dibentuk ”Badan Otoritas Pangan” yang memiliki kewenangan luas, seperti dikemukakan penggagas RUU Pangan, SBY menghadapi aturan bahwa LPNK itu hanya lembaga pusat, tidak punya tangan di daerah. Dalam praktiknya nanti, LPNK Pangan akan kesulitan mengoordinasikan para direktur jenderal di kementerian, apalagi pejabat tingkat menteri.
Dari semua urusan pangan, sebenarnya yang belum ada pengaturan yang jelas tentang cadangan pangan nasional. Untuk itu, disarankan dibentuk Badan Koordinasi Cadangan Pangan Nasional (BKCPN). Badan ini bertugas melaksanakan urusan cadangan pangan pemerintah (pusat), mengoordinasikan dan membina cadangan pangan pemerintah daerah, monitoring cadangan pangan masyarakat, serta secara berkala melakukan stok opname posisi persediaan yang ada di masyarakat.
Karena merupakan lembaga pusat dan menggunakan anggaran APBN, BKCPN dapat memberikan tugas kepada BUMN (Perum Bulog) untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, dan distribusi cadangan pangan sebagaimana diatur dalam UU Pangan. BKCPN nantinya tinggal mengeluarkan perintah logistik kepada Perum Bulog untuk mengeluarkan cadangan pangan untuk keperluan tertentu di seluruh Indonesia. Untuk memudahkan koordinasi, sebaiknya BKCPN berkantor di Perum Bulog. Sebagian staf dari BKCPN juga dapat menggunakan staf Perum Bulog karena sudah terbiasa dengan tugas-tugas seperti ini.
Namun, saya khawatir UU ini tak segera ditandatangani karena konsekuensinya berat. Sasaran UU ini, pemerintah wajib mencukupi pangan sampai tingkat perorangan, sedangkan UU Pangan lama hanya sampai tingkat rumah tangga. Ini akan menjadi persoalan karena data yang ada hanya berbasis rumah tangga. Pertanyaan sederhana, sudah siapkah penyaluran raskin berbasis perorangan? Tampaknya hanya Indonesia yang bunyi UU Pangan-nya begitu ideal seperti Indonesia.
Sebenarnya, bila revitalisasi Perum Bulog segera direalisasikan, kebutuhan lembaga seperti disebut di atas tak mendesak walaupun terasa ada yang hilang setelah Bulog yang LPND/LPNK dibubarkan. Namun, tugas-tugas pemerintahan di bidang stabilisasi harga pangan dapat terpenuhi dengan kelembagaan yang ada saat ini. Membentuk lembaga baru juga belum tentu efektif, malah dapat menimbulkan birokrasi baru. Hanya perlu diingat, operasi stabilisasi harga itu ada biayanya, pasti mengalami kerugian, di mana pun di dunia ini yang menjalankan kebijakan stabilisasi harga. Oleh karena itu, segala risiko harus ditanggung pemerintah.

 Sapuan Gafar Sekretaris Menteri Pangan 1993-1999

http://cetak.kompas.com/read/2012/11/19/02153783/pekerjaan.besar.bidang.pangan 
 
 

Kenaikan Harga Tidak Wajar

19 November 2012
Jakarta, Kompas - Beberapa kalangan meminta agar swasembada daging harus segera dicapai untuk mencegah spekulasi harga daging. Dalam jangka pendek, pemerintah harus segera memasok daging ke pasar. Kenaikan harga daging sapi menjelang akhir tahun ini dinilai tidak wajar.
Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum dan Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi-Kerbau Indonesia Teguh Boediyana, yang dihubungi Kompas di Yogyakarta dan Jakarta, Minggu (18/11), menyatakan, pemerintah harus tegas dan konsisten dengan target pencapaian swasembada daging sapi 2014.
”Jangan mau diatur-atur oleh para importir,” kata Maksum terkait kenaikan harga daging yang terjadi sejak pekan lalu. Ia mengingatkan, untuk kesekian kalinya pemerintah dipermainkan oleh kelompok tertentu karena Indonesia tidak mandiri dalam hal pangan. Pola yang sama digunakan para importir saat terjadi kelangkaan kedelai beberapa waktu lalu.
Teguh mengatakan, dalam jangka menengah, pemerintah perlu mengajak semua pemangku kepentingan membahas ulang produksi dan kebutuhan daging nasional.
Dalam jangka pendek, pemerintah harus menekan perusahaan penggemukan dan importir daging untuk melepas sebagian stoknya.
Pemerintah juga harus terus memperbaiki berbagai persoalan yang menjadi penghambat kelancaran distribusi sapi agar disparitas harga tidak terjadi dan terlalu tinggi.
Sementara itu, pedagang yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Daging Indonesia mencurigai ada yang memanfaatkan momentum dengan menaikkan harga daging sapi. Kenaikan harga daging menjelang akhir tahun ini dinilai tidak wajar karena harga di beberapa negara lain lebih murah daripada harga daging di Indonesia.
”Sepertinya ada yang ingin memanfaatkan momentum akhir tahun. Mereka sengaja menahan dan menjual daging dengan harga lebih tinggi daripada biasanya,” tutur Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia M Nurdin R.
Segera normal
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro memastikan, Minggu malam, para jagal sapi sudah bisa mulai bekerja kembali.
”Dari Kediri, Jawa Timur, pasokan sapi mulai melimpah. Para pembeli dari luar kota membeli dengan harga Rp 30.000 per kilogram daging sapi hidup dengan tambahan komisi Rp 150.000 kepada pedagang sapi lokal,” ujarnya.
Pantauan ke pasar sapi di Jawa Timur, kemarin pagi, menunjukkan, sapi yang keluar ke pasar normal sekitar 90 persen atau sama dengan pasokan sebelum Hari Raya Kurban.
Menurut Syukur, stok sapi saat ini cukup. Stok di perusahaan penggemukan sekitar wilayah Jabodetabek mencapai 130.000 sapi. Jumlah itu terdiri dari 38.000 sapi lokal dan 92.000 sapi eks impor. Pada November-Desember 2012 akan masuk lagi sisa impor kuartal IV sebanyak 15.000 sapi.
Dalam waktu dekat, apabila dibutuhkan akan dipasok 5.000 sapi siap potong dari Nusa Tenggara Barat untuk pasar Jabodetabek. Pengangkutannya sedang dijajaki kerja sama dengan TNI AL dan Kementerian Perhubungan. Para asosiasi peternak sapi juga akan mendorong anggotanya untuk melepas sapi ke pasar.
Sementara itu, di Jakarta dilaporkan, harga daging sapi dari kelas medium hingga premium di hipermarket dan supermarket kini menembus Rp 135.000 per kilogram hingga Rp 150.000 per kilogram dari sebelumnya pada bulan Agustus harganya Rp 80.000 sampai Rp 90.000 per kilogram.
Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Satria Hamid mengungkapkan, semua ritel modern di Indonesia kini kesulitan memperoleh daging sapi akibat tersendatnya pasokan.
Sebelumnya, pasokan total daging sapi untuk semua ritel modern di Indonesia sebanyak 35,2 ton per hari, tetapi sekarang anjlok sampai 50 persen menjadi 17,6 ton per hari.
Pemangkasan kuota
Menurut Sarman Simanjorang, Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya, gejolak harga daging sapi berawal ketika pemerintah memangkas kuota daging sapi impor pada 2012. Impor daging sapi yang pada 2011 sebesar 100.000 ton tiba-tiba dipangkas hingga tersisa hanya 34.000 ton.
Kementerian Pertanian saat itu memutuskan pemangkasan impor daging ini karena Indonesia akan swasembada daging sapi. Kementerian Pertanian menghitung, kebutuhan daging sapi bisa dipenuhi oleh sapi lokal.
Dari beberapa daerah, seperti Surabaya, Magelang, dan Bandar Lampung, dilaporkan, stok sapi potong makin minim sehingga produksi rumah potong hewan menurun drastis. Pasokan ke rumah potong berkurang sehingga pedagang kesulitan memperoleh sapi dari penggemukan di beberapa sentra di daerah tersebut.(ARN/MAS/ETA/JON/EGI/DMU/ANS/MDN/PIN/NDY/NEL)

http://cetak.kompas.com/read/2012/11/19/03180264/Kenaikan.Harga.Tidak.Wajar.
 

Minggu, 18 November 2012

Kejaksaan Agung tidak akan hentikan penyidikan skandal dugaan korupsi PT Bank Bukopin

Kejaksaan Agung memastikan tidak akan menghentikan penyidikan skandal dugaan korupsi pengadaan alat pengering gabah (driying center) di Bank Bukopin senilai Rp76,3 miliar.
“Siapa bilang dihentikan. Kami tinggal menunggu kelengkapan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan” ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andi Nirwanto menanggapi perkembangan penyidikan skandal korupsi Bank Bukopin, Jumat (16/11), di Jakarta.
Meskipun perkara Bank Bukopin telah ditangani kejaksaan sejak empat tahun silam, namun 11 tersnagkanya tidak pernah ditahan.
“Kami lebih memfokuskan kepada kelengkapan berkas. Buat apa tersangka ditahan jika ternyata pemberkasannya lambat. Mereka malah bisa bebas demi hukum,” kata Andi.
Adapun kesebelas tersangka skanal Bank Bukopin ini adalah HHB, karyawan Bank Bukopin; ZKP, account officer; EW, Manajer Divisi Kredit Agribisnis; Shr, Manajer Pengembangan dan bekas anggota Komite Kredit;  ELH, Pemimpin Bank Bukopin cabang Medan/mantan Group Head Agribisnis dan anggota Komite Kredit;  ECH, General Manager Area III/anggota Komite Kredit; DT, Management;  serta GNG Kuasa Direktur PT Agung Pratama Lestari.
Tim penyidik yang diketuai Fadil Djumhana telah memeriksa bekas Direktur Utama Bank Bukopin, Sofyan Basir yang sekarang menjadi Direktur Utama Bank BRI). Namun, statusnya belum menjadi tersangka.
Perkara Bank Bukopin ini berbeda dengan penyidikan skandal dugaan korupsi PT Chevron Pasific Indonesia yang merugikan uang negara Rp200 miliar, dimana semua tersangkanya langsung ditahan di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung.
Dalam perkara Bank Bukopin, tim penyidik sebelumnya telah mengumpulkan alat bukti dari hasil penyitaan gudang Bulog di Indonesia, di antaranya kantor Bulog di Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
Skandal Ini berlangsung pada 2004, bermula saat Direksi PT Bank Bukopin memberi  kredit kepada PT Agung Pratama Lestari sebesar Rp62,8 M, untuk mengadakan alat pengering gabah pada Divisi Regionnal Bulog Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan sebanyak 45 unit. Namun,  kredit ini digunakan tidak sesuai spesifikasi. Mesin merek Sincui, tapi yang dibeli merek Global Sea. Akhirnya, kredit macet dan membengkak hingga menjadi Rp76,3 miliar. isa

http://yustisi.com/2012/11/kejaksaan-agung-tidak-akan-hentikan-penyidikan-skandal-dugaan-korupsi-pt-bank-bukopin/

Indonesia Impor 80 Ribu Ton Beras Premium India

17 November 2012

TEMPO.CO, Chennai - Perusahaan yang melantai di bursa saham New York, Amira Nature Foods, menyatakan telah meneken kerja sama impor beras dengan pembeli asal Indonesia. Keduanya telah menyepakati kerja sama impor beras jenis basmati sebanyak 80 ribu ton, dengan nilai pembelian US$ 39,4 juta dolar atau setara Rp 394 miliar.

Menurut direktur sekaligus CEO Amira, Kharan Chanana, sebagaimana dikutip dari The Hindu Businessline pada Jumat, 16 November 2012, pembelian beras tersebut merupakan pemesanan yang kedua oleh pembeli yang sama. “Kami berharap kesepakatan ini memberikan aliran pendapatan yang kuat tahun ini,” kata Chanan.

Ia juga berharap kerja sama impor ini dapat mendukung inisiatif mereka untuk menumbuhkembangkan penjualan dengan cara memanfaatkan pihak ketiga dalam penetrasi produk merek Amira. Perusahaan itu memang biasa memanfaatkan pihak ketiga untuk menjual produk beras mereka.

Amira menjual beras jenis basmati. Beras basmati merupakan jenis beras khusus yang hanya tumbuh di daerah-daerah tertentu, semisal India. Beras tersebut termasuk jenis beras kelas premium berserat tinggi dan dijual Amira dengan merek yang sama, yaitu Amira.

Berdasarkan perkiraan, hanya ada sekitar 2 juta ton beras basmati yang ditanam di seluruh dunia setiap tahun. Angka yang sangat rendah dibandingkan beras jenis lain, yang bisa diproduksi hingga 500 juta ton per tahun.

Amira sendiri berkantor di Dubai, Uni Emirat Arab. Mereka juga memiliki kantor di India, Malaysia, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat.







http://m.tempo.co/read/news/2012/11/17/090442338/Indonesia-Impor-80-Ribu-Ton-Beras-Premium-India

Kamis, 15 November 2012

Keberpihakan Pada Petani Wujudkan Kedaulatan Pangan

14 November 2012

RMOL. Sudah saatnya pemerintah menyusun kebijakan yang berpihak kepada petani nasional. Dengan begitu pemerintah bisa mewujudkan cita-cita keadaulatan pangan dan impor beras yang lebih banyak merugikan keuangan negara bisa dihentikan.
Demikian disampaikan Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) Riza Ramli pada diskusi yang bertajuk "Asean Economy Development Through the Strengthening of Food Self-sufficiency" di Jakarta, Selasa (13/11).
"Keberpihakan terhadap petani inilah yang diterapkan seperti pemerintah sejumlah negara maju, seperti Jepang dan Taiwan. Petani di negara-negara itu benar-benar mendapatkan perlindungan dari pemerintahnya. Itulah sebabnya mereka bisa hidup dengan tingkat kesejahteraan yang sangat memadai," ujar Rizal Ramli pada acara yang diselenggarakan Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) itu.
Menurut Rizal Ramli, publik harus bisa membedakan makna ‘ketahanan pangan’ dan ‘kedaulatan pangan.’ Sepintas, lanjut dia, sepertinya tidak ada perbedaan hakiki dari dua kaliimat ini. Namun sesungguhnya di balik keduanya ada perbedaan makna yang amat fundamental.
Pada ketahanan pangan, paradigma yang dipegang adalah; yang penting tersedianya bahan pangan sebagai kebutuhan pokok. Tidak penting sumber stok itu, apakah hasil panen sendiri atau impor. Bahkan pada paradigma ketahanan pangan yang dikembangkan justru pemenuhan kebutuhan beras dengan cara mengimpor.
Stok beras dunia hanya sekitar 4 juta ton. Kalau tiap tahun Indonesia mengimpor hingga 2 juta ton, ini akan mengerek harga beras di pasar internasional. Akibatnya, kita harus mengeluarkan devisa dalam jumlah sangat besar untuk impor beras. Adalah rahasia umum, bahwa ada komisi sekitar US$10-US$20/ton. Bayangkan, berapa banyak keuntungan para pemburu rente ini? Ini terjadi karena yang diterapkan adalah paradigma neolib. Pada saat yang sama, rakyat harus membayar beras lebih tinggi dari semestinya. Celakanya hal seperti ini juga berlaku pada produk pertanian lain, seperti kedelai, jagung, dan gaplek.
“Sebetulnya pemerintah bisa tidak mengimpor beras. Caranya, dengan membeli beras produksi petani sebanyak-banyaknya. Dengan cara ini tidak perlu kita buang-buang devisa. Yang lebih penting lagi, petani pun senang karena padi dan berasnya dihargai secara pantas,” ungkap Rizal Ramli yang juga mantan Kepala Bulog ini.
Tiru Jepang dan Taiwan
Dia menyarankan agar Indonesia meniru Jepang dan Taiwan. Pemerintah Jepang sangat memproteksi petani dan produk pertaniannya. Impor beras dipersulit dengan berbagai macam peraturan. Pada saat yang sama, pemerintah membeli beras petaninya dengan harga tinggi. Itulah sebabnya petani Jepang makmur hingga bisa menjadi turis ke Bali dan tempat-tempat wisata lainnya.
Hal serupa juga dilakukan Taiwan. Ketika Chiang Kai Sek lari dari China ke Taiwan, dia memberi petaninya 0,5 hektare sawah. Walau tidak luas, namun dengan program intensifikasi produksi padinya bisa jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Hal itu ditambah lagi dengan pengembangan produk holtikultura lainnya, kesejahteraan petani Taiwan jadi meningkat sangat baik.
Pemerintah bisa membagikan lahan di luar Jawa kepada petani, masing-masing 10 ha untuk menanam sawit dan lainnya. Agar tidak terjadi kecemburuan sosial, penduduk lokal menerima 20 ha. Ini jauh lebih bagus ketimbang tanah dibagi-bagi kepada para konglomerat ratusan ribu bahkan sampai jutaan hektar.
“Petani yang dapat lahan itu diberi biaya hidup untuk lima tahun. Ditambah bibit dan sarana produksi lain, saya kira anggaran untuk tiap keluarga tidak lebih dari Rp150 juta. Tapi setelah lima tahun, petani kita sudah bisa menikmati hasil panen dan jadi kaya raya. Mereka tidak perlu lagi ke Malaysia menjadi buruh sawit. Kita bahkan bisa mengimpor tenaga kerja dari Pakistan atau Banglades untuk mengurus kebun-kebun petani. Sayangnya, program ini tidak dilakukan,” paparnya. Rizal Ramli yang juga mantan Menko Perekonomian ini.
Pada kesempatan itu Rizal Ramli juga menilai cita-cita Bung Karno tentang Trisakti, yaitu kedaulatan dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya sangat relevan dengan kondisi hari ini. Tanpa kedaulatan, negara sangat rentan dan bergantung pada negara lain, tidak mungkin jadi negara kuat dan makmur. Trisakti juga relevan sebagai cara untuk menarik manfaat sebesar-besarnya dari globalisasi dan hubungan internasional. [dem]

http://www.rmol.co/read/2012/11/14/85220/Keberpihakan-Pada-Petani-Wujudkan-Kedaulatan-Pangan- 

Ketua ARUP Minta Pemerintah Berpihak Pada Petani

13 November 2012

LENSAINDONESIA.COM: Sudah saatnya pemerintah menyusun kebijakan yang berpihak kepada petani nasional. Dengan begitu pemerintah bisa mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan dan impor beras yang lebih banyak merugikan keuangan negara bisa dihentikan. Demikian disampaikan Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) Rizal Ramli pada diskusi yang bertajuk  `Asean Economy Development Through the Strengthening of Food Self-sufficiency` di Jakarta, Selasa (13/11/2012).
“Keberpihakan terhadap petani inilah yang diterapkan seperti pemerintah sejumlah negara maju, seperti Jepang dan Taiwan. Petani di negara-negara itu benar-benar mendapatkan perlindungan dari pemerintahnya. Itulah sebabnya mereka bisa hidup dengan tingkat kesejahteraan yang sangat memadai,” ujar Rizal Ramli pada acara yang diselenggarakan Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) itu.
Menurut Rizal Ramli, publik harus bisa membedakan makna ‘ketahanan pangan’ dan ‘kedaulatan pangan.’ Sepintas, sepertinya tidak ada perbedaan hakiki dari dua kalimat ini. Namun sesungguhnya di balik keduanya ada perbedaan makna yang amat fundamental.
Pada ketahanan pangan, paradigma yang dipegang adalah yang penting tersedianya bahan pangan sebagai kebutuhan pokok. Tidak penting sumber stok itu, apakah hasil panen sendiri atau impor. Bahkan pada paradigma ketahanan pangan yang dikembangkan justru pemenuhan kebutuhan beras dengan cara mengimpor.
Stok beras dunia hanya sekitar 4 juta ton. Kalau tiap tahun Indonesia mengimpor hingga 2 juta ton, ini akan mengerek harga beras di pasar internasional. Akibatnya, kita harus mengeluarkan devisa dalam jumlah sangat besar untuk impor beras. Adalah rahasia umum, bahwa ada komisi sekitar US$10-US$20/ton. Ini terjadi karena yang diterapkan adalah paradigma neolib. Pada saat yang sama, rakyat harus membayar beras lebih tinggi dari semestinya. Celakanya hal seperti ini juga berlaku pada produk pertanian lain, seperti kedelai, jagung, dan gaplek.
“Sebetulnya pemerintah bisa tidak melakukan impor beras. Caranya, dengan membeli beras produksi petani sebanyak-banyaknya. Dengan cara ini tidak perlu kita buang-buang devisa. Yang lebih penting lagi, petani pun senang karena padi dan berasnya dihargai secara pantas,” ungkap Rizal Ramli yang juga mantan Kepala Bulog ini. @aripurwanto

http://www.lensaindonesia.com/2012/11/13/ketua-arup-minta-pemerintah-berpihak-pada-petani.html 

Selasa, 13 November 2012

Rakyat Diminta Ikut Pelototi Audit Impor Beras Oleh BPK

12 November 2012

JAKARTABAGUS. Komisi IV DPR mempertanyakan keseriusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengaku sedang melakukan audit terhadap kebijakan impor beras pemerintah.
Anggota Komisi IV DPR Nabiel Al Musawa mengatakan, BPK harus membuktikan ke­se­riusan­nya mengaudit kebiasan pemerintah mengimpor beras.
“Audit BPK harus dilakukan se­suai amanah Undang-Undang Dasar 1945, bukan untuk tujuan tertentu atau kepentingan se­saat,” katanya kepada Rakyat Mer­deka di Jakarta, Jumat (9/11).
Untuk diketahui, anggota BPK Ali Masykur Musa mengatakan, pihaknya sedang melakukan au­dit terhadap kebijakan impor be­ras. Dia menargetkan audit itu selesai akhir tahun. Saat ini au­ditnya sudah 60 persen.
Lebih lanjut Nabiel mengaku komisinya sangat kecewa de­ngan kinerja Perum Bulog yang selalu ber­alasan ketika diharus­kan me­nye­rap beras petani. Kondisi ini­lah yang membuat cadangan be­ras tidak mencu­kupi dan akhirnya pemerintah terpaksa harus impor.
Audit beras oleh BPK, kata dia, sangat penting. Selama ini data yang ada pada Angka Ra­malan (Aram) Badan Pusat Sta­tistik (BPS) selalu berbeda de­ngan data yang dipaparkan Bu­log.
“Kami juga meminta ma­syara­kat ikut mengawasi hasil audit impor beras oleh BPK,” cetusnya.
Hal senada disampaikan ang­gota Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi. Menurutnya, audit im­por beras ini sangat penting, ka­renanya dia meminta BPK serius.
Viva yakin, jika audit ini bisa ber­jalan maksimal, akan ketahu­an alasan pemerintah yang hobi nengimpor beras. Apalagi audit itu akan melibatkan bagai­mana kebijakan yang diambil Kemen­terian Pertanian, Kemen­te­rian Perdagangan, BPS dan Bulog.
“Kebijakan impor memang me­libatkan antar lembaga dan Bu­log hanya sebagai operator yang ditunjuk melaksanakan im­­por oleh pemerintah,” jelasnya.
Manager Advokasi Koalisi Rak­yat untuk Kedaulatan Pa­ngan (KRKP) Said Abdullah me­nga­takan, alasan yang dipa­kai peme­rintah mengimpor un­tuk mem­perkuat cadangan beras tidak per­nah masuk akal.
“Pemerintah menyatakan tidak akan melakukan impor beras tahun ini. Menjadi pertanyaan jika kemudian impor tetap dila­kukan. Apakah prediksi pro­duksi yang dilakukan tidak tepat atau ada kepentingan lain. Ini yang harus diaudit BPK,” tegasnya
Menurut Said, seperti sudah menjadi rutinitas. Impor dila­ku­­kan dengan dalih cadangan beras masih kurang. Padahal, pada saat bersamaan, produksi padi relatif cukup, bahkan le­bih untuk men­cukupi target ca­dangan beras. Ini lebih karena ketidakmampuan Bulog me­nye­rap beras nasional.
Berapapun hasil produksi na­sional, lanjutnya, tapi jika Bulog tidak mampu menyerap lebih ba­nyak beras dalam negeri dengan alasan keterbatasan anggaran dan harga yang tinggi, sudah pasti impor tetap dilakukan.
Wakil Ketua BPK Hasan Bisri yang ditanya Rakyat Merdeka soal perkembangan audit impor beras beras, tidak mau menja­wab. Dia hanya meminta untuk meng­konfirmasi ma­salah itu ke ang­gota BPK Ali Masykur Musa yang melontarkan audit tersebut. Namun hingga berita ini ditu­runkan, Ali Masykur belum bisa dihubungi lagi.
Sebelumnya, pengamat Perta­nian Khudori meminta BPK trans­paran melakukan audit ke­bijakan impor beras oleh peme­rintah selama 2012, di mana ha­silnya akan diumumkan akhir tahun ini.
“Saya berharap dengan adanya audit, BPK mampu melihat ada atau tidaknya semacam permai­nan dibalik keluarnya izin impor beras tersebut,” katanya.
Menurutnya, dua tahun ter­ak­hir harga beras di luar negeri cen­derung rendah dan setelah di­ku­rangi berbagai biaya trans­portasi, pengapalan, maupun bea masuk ternyata terdapat dispari­tas harga beras impor sebesar Rp 1.000 per kilogram (kg).
“Bisa dibayangkan, kalau pe­merintah mengimpor sekitar 1 juta ton beras saja, ada potensi disparitas harga sampai Rp 1 triliun,” tandasnya.  [Harian Rakyat Merdeka]

http://www.jakartabagus.com/read/2012/11/12/8750/Rakyat-Diminta-Ikut-Pelototi-Audit-Impor-Beras-Oleh-BPK-

Anggota DPR Hermanto Dukung BPK Audit Impor Beras

12 November 2012

JAKARTA – Anggota Komisi IV DPR RI Hermanto mendorong pelaksanaan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kebijakan impor beras dilakukan secara obyektif dan faktual. Audit ini sangat penting untuk mengetahui apakah terdapat penyimpangan atau tidak.
Selain itu, BPK perlu memperjelas sejauh mana pelaksanaan impor beras selama ini, apakah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
"Karena, di lapangan kita dapati terjadinya surplus beras di daerah-daerah. Sehingga, harusnya Perum Bulog sebagai operator menyerap beras dari petani," katanya, Senin (12/11).
Lebih lanjut Legislator FPKS Dapil Sumbar ini mengatakan, sesuai dengan UU tentang Pangan yang baru disahkan DPR bahwa pemerintah menetapkan jenis dan jumlah pangan pokok tertentu sebagai Cadangan Pangan Pemerintah. Pengadaan Cadangan Pangan Pemerintah diutamakan melalui pembelian Pangan Pokok produksi dalam negeri, terutama pada saat panen raya. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Untuk itu, Audit BPK ini menjadi penting dilakukan secara transparan, objektif dan faktual mengingat selama ini impor beras dilakukan secara diam-diam. Masyarakat baru tau setelah beras ada di dalam negeri. Dampaknya adalah hasil panen raya dalam negeri menjadi tidak terserap.
Sebagai gambaran, sebelumnya Anggota BPK, Ali Masykur Musa mengatakan, fokus audit mencakup penerapan kebijakan impor beras oleh pemerintah sepanjang tahun 2012 ini. Audit ini dimaksudkan untuk menganalisa beberapa komponen dalam kebijakan impor beras, terutama masalah pengadaan, kesesuaian impor dengan kebijakan ketahanan pangan, serta peran importir di balik impor beras. Hingga kini, BPK telah mengaudit sekitar 60 persen atas dokumen impor beras dan akan mengumumkan hasil audit kepada publik, paling lambat di penghujung tahun 2012 ini. (rin/rel)

http://www.padangmedia.com/1-Berita/77493-Anggota-DPR-Hermanto-Dukung-BPK-Audit-Impor-Beras.html

Dissenting Opinion, Terdakwa Korupsi Bulog Menang Kasasi

12 November 2012

Jember (beritajatim.com) - Pengusaha Muhammad Ghozi memenangkan kasasi di Mahkamah Agung, terkait perkara dugaan korupsi di Badan Urusan Logistik Jawa Timur. MA menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jember yang membebaskannya.

"Kasasi Ghozi turun kira-kira tiga hari lalu," kata Ketua Pengadilan Negeri Jember Prio Utomo, Senin (12/11/2012). Dalam putusan MA itu, ada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari salah satu anggota majelis hakimn, yakni Artidjo Alkostar. Ia menganggap Ghozi bersalah dalam perkara itu.

Prio mengatakan, setelah putusan itu diterima PN Jember, pihaknya akan mendistribusikan kepada Kejaksaan Negeri setempat. "Nanti jaksa yang mengeksekusi keputusan itu," katanya.

Ada lima terdakwa dalam perkara ini, yakni Muharto (mantan Kepala Bulog Jatim), Ghozi, Kepala Divre Bulog Jatim Soeryandri, Kepala Divisi Hukum Bulog Pusat Indra Suyanto, dan Direktur SDM dan Umum Bulog Pusat Agus Syaifullah. Majelis hakim PN Jember menjatuhkan vonis bebas kepada mereka.

Bibit persoalan sudah muncul sejak tahun 1975. Saat itu, Ghozi memiliki utang kekurangan setor beras seberat 1.684.338 kilogram, atau senilai Rp 256.917.776.

Ghozi lantas meletakkan jaminan sejumlah aset tanah dan bangunan. Salah satunya adalah tanah seluas 5.710 meter persegi dan bangunan 2.210 meter persegi. Ternyata belakangan diketahui, tidak ada restrukturisasi utang. Muncul persoalan dengan kompensasi uang yang dikeluarkan Bulog, karena dinilai tak sesuai dengan nilai jual tanah dan adanya kekurangan tanah.

Akibatnya ada sejumlah kerugian yang muncul dan ditanggung Bulog, totalnya Rp 2,022 miliar. Item kerugian ini adalah: kerugian atas kompensasi utang dengan harga tanah sebesar Rp 1,268 miliar; kerugian sebesar Rp 168,980 juta karena kekurangan luas tanah 340 meter persegi yang diserahkan oleh Ghozi dari yang dibayar seluas 2.487 meter persegi; kerugian negara atas kehilangan luas tanah 520 meter persehi setelah penggabungan sertifikat sebesar Rp 258,440 juta; dan kerugian negara atas kelebihan pembayaran harga bangunan gudang sebesar Rp 326,400 juta.

Majelis hakim PN Jember menjatuhkan vonis bebas, karena tak ada kerugian negara dalam kasus itu. Menurut Prio, Ghozi memang tak bisa membayar. Namun semua tanah yang jadi jaminan sudah dipegang Bulog, dan harganya sudah sesuai dengan nominal utang. [wir]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/4/Hukum%20&%20Kriminal/2012-11-12/152392/Dissenting_Opinion,_Terdakwa_Korupsi_Bulog_Menang_Kasasi 

Jumat, 09 November 2012

Pemerintah Dinilai Terlalu Berorientasi Impor

08 November 2012

TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat, Ma''mur Hasanuddin, menilai kebijakan pemerintah masih didominasi oleh paradigma importasi. Paradigma ini membuat pola pikir mengenai kedaulatan pangan tidak lepas dari impor.

"Contoh kecil, selama ini pemerintah lebih mengutamakan importasi dan melegalkan konversi lahan pertanian terus-menerus," kata Ma''mur dalam keterangan pers tertulisnya, Kamis, 8 November 2012.

Menurut dia, kebijakan impor bertolak belakang dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan produksi beras. Ma''mur menyoroti wacana rencana pemerintah mengimpor beras dari Kamboja sebesar 100 ribu ton tahun ini.

Legislator dari Jawa Barat ini menegaskan, selama ini rasio impor beras Indonesia terhadap konsumsi beras nasional terus meningkat hampir dua kali lipat. Ketergantungan terhadap beras impor akan mengakibatkan melemahnya semangat memproduksi yang menyebabkan tergerusnya anggaran negara.

Padahal di sisi lain, dia melanjutkan, Kementerian Pertanian didorong untuk meningkatkan produksi pertanian. Sayangnya, sejauh ini tidak ada kebijakan proteksi lahan dan revitalisasi infrastruktur yang memadai dari pemerintah. Kementerian Perdagangan pun, ia menilai, hanya melihat beras sebagai komoditas ekonomi yang diperjualbelikan dan kecukupan stok, namun kurang mempertimbangkan keberpihakan terhadap petani lokal.

"Bulog telah sering diingatkan untuk dapat secara maksimal menyerap gabah petani di masa panen, namun tidak pernah terealisasi dengan baik," katanya.

Penyerapan Bulog, dia menambahkan, harus seiring dengan Angka Ramalan (ARAM) II yang dirilis Badan Pusat Statistik bahwa Produksi padi 2012 diperkirakan sebesar 68,96 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik sebesar 3,20 juta ton (4,87 persen) dibandingkan dengan di 2011. Kenaikan tersebut diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 2,09 juta ton dan di luar Jawa sebesar 1,11 juta ton.

"Penanganan pemerintah terhadap sistem perberasan nasional parsial dan tidak menyeluruh, sehingga sering kali perkembangan produksi hanya dilihat pada capaian hasil, bukan pada proses pencapaiannya. Sedangkan di sisi hilir importasi beras terus berlangsung yang mengakibatkan harga beras lokal terkoreksi rendah di pasaran," ujar Ma''mur.

Karena itulah, ia menyarankan disusunnya sebuah tatanan perberasan nasional yang menyeluruh dan mencakup berbagai aspek penting dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi petani dalam meningkatkan produksi, mendorong semangat pedagang beras, industri penggilingan, insentif permodalan ringan, dan konsumen. Dalam lima tahun terakhir pasar dunia mengalami surplus, namun Indonesia terus-menerus kekurangan.

"Indonesia menjadi konsumen utama beras dunia, karena kegagalan dalam diversifikasi pangan dan pengembangan infrastruktur pertanian penunjang produksi padi," ujar Ma''mur.

Sepanjang 2011, beras impor yang masuk ke Indonesia sebanyak 2,75 juta ton dengan nilai US$ 1,5 miliar. Vietnam merupakan negara terbesar pemasok beras sebanyak 1,78 juta ton tahun lalu. Sementara beras dari Thailand sebanyak 938,7 ribu ton dengan nilai US$ 533 juta.

http://www.tempo.co/read/news/2012/11/08/090440475/Pemerintah-Dinilai-Terlalu-Berorientasi-Impor

Rabu, 07 November 2012

Bupati Merauke Larang Bulog Datangkan Beras dari Luar

7 November 2012

Merauke, Media Center - Bupati  Merauke Drs Romanus Mbaraka melarang pihak Bulog Devri Merauke untuk mendatangkan beras dari Merauke tapi Bulog Merauke memaksimalkan pembelian beras dari hasil panen petani Merauke.
Apalagi,  pada musim gadu tahun 2012 ini, ungkap Bupati, hasil produksi  petani jauh lebih besar dibandingkan musim rendengan awal bulan April lalu.  Larangan bagi Bulog Merauke ini, disampaikan Bupati Romanus Mbaraka saat berbincang-bincang dengan  sejumlah petani SP IV, Kampung Waninggap Kai, Tanah Miring Merauke, Selasa ( 6/11).
Menurut Bupati, selain panen petani pada musim gadu ini cukup besar, harga beras juga cukup menjanjikan bagi petani.  Sebab, harga  beras saat ini di pasaran Merauke diatas Rp 6.000. termasuk pembelian  Bulog Merauke diatas harga Rp 6.000, sehingga dengan hasil dan harga yang bagus itu diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi petani.
Meski harga beras cukup bagus saat ini, namun Bupati Romanus Mbaraka mengingatkan para petani untuk tidak menjual semua gabah atau berasnya. Tapi harus ada stok untuk kebutuhan dalam keluarga. ‘’Jangan sampai  dijual semua, lalu kembali membeli beras. Harus  ada yang disimpan,’’ katanya mengingatkan.  
Bupati  Romanus Mbaraka menjelaskan lebih jauh, hasil produksi petani Merauke tersebut saat ini juga mulai dikirim  2.000 ton ke Fakfak dan 5000 ton ke Kaimana untuk memenuhi permintaan dari kedua daerah itu.  
Salah satu petani meminta dan berharap agar harga pembelian beras Bulog tersebut tidak disamaratakan di seluruh Indonesia karena ongkos produksi di Merauke lebih besar ketimbang di luar Papua.
Menanggapi itu, Bupati mengungkapkan dengan adanya bengkel kampung yang disiapkan untuk mengolah sawah petani diharapkan biaya operasional tersebut bisa ditekan sehingga petani tidak mengalami kerugian yang terlalu besar saat gagal panen.

http://www.radarmerauke.com/2012/11/bupati-merauke-larang-bulog-datangkan.html 



Selasa, 06 November 2012

PDIP Jatim Ajak Tolak Impor Beras dari Kamboja

6 November 2012

SURYA Online, SURABAYA - Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur Drs H Sirmadji Tj mengajak masyarakat menolak rencana  pemerintah melalui kementerian perdagangan mengimpor 100.000 ton beras dari Kamboja. Langkah pemerintah itu menurutnya tidak realistis.

Pasalnya, masuknya beras impor di tengah kondisi persiapan panen raya triwulan ketiga, bisa memengaruhi stabilitas harga beras petani lokal dan pendapatan petani. "Seharusnya pemerintah lebih serius dalam strategi kedaulatan pangan, sehingga dapat meningkatkan hajat hidup petani lokal. Bukan malah mengurangi pendapatan petani dengan kehadiran beras impor," tandas Sirmadji melalui pres rilis yang diterima Surya.co.id, Selasa (6/11/2012).

Pemerintah berencana melakukan impor dengan dalih cadangan beras nasional masih kurang sekitar 1 juta ton dari cadangan ideal sekitar 3,3 juta ton. Saat ini cadangan beras nasional yang ada hanya 2,2 juta ton dari total 3,4 juta ton beras dimiliki Bulog dikurangi keperluan PSO (public service obligation), beras raskin 1,2 juta ton.

Kenyataan di lapangan, tambah Sirmadji, Bulog telah gagal menyerap hasil panenan petani, dengan dalih keterbatasan anggaran dan harga beras lokal terlalu tinggi. Padahal, ungkapnya, jika strategi pangan nasional diarahkan pada kedaulatan pangan dan bukan ketahanan pangan, Bulog seharusnya mengutamakan menyerap hasil panen petani.

Pada sisi lain, lanjut Sirmadji persoalan impor beras tidak sekedar di Bulog saja, akan tetapi juga mempengaruhi psikologi pasar dan pendapatan petani. Rumor tentang impor saja bisa langsung menurunkan harga panenan petani yang diprediksi untuk wilayah Jawa Timur pada pertengahan bulan desember 2012 mendatang.

"Sesuai data Bulog, Jawa Timur saat ini menjadi provinsi yang paling tinggi pengadaan beras dalam negeri yang mencapai 738.303 ton atau 31,27% dari total ketersediaan beras di gudang bulog seluruh Indonesia. Sehingga jika beras impor masuk Jatim, maka kesejahteraan petani di provinsi ini juga akan menurun," jelas Sirmadji.

Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Jawa Timur, lanjut Sirmadji, akan secara konsisten dan tegas menolak beras yang akan diimpor pemerintah, masuk pasar sembako di Jawa Timur. Hal ini mengingat jumlah petani di Jatim sebanyak 3.743.861 keluarga menggantungkan hidupnya dari stabilitas harga produksi beras. "Jika Jatim menjadi korban kebijakan pemerintah pusat soal beras impor yang tidak realistis tersebut, secara kualitatif nilai keekonomian keseluruhan di Jatim akan mengalami penurunan pada triwulan ketiga 2012," jelas Wakil Ketua DPRD Jatim itu. 

http://surabaya.tribunnews.com/2012/11/06/pdip-jatim-ajak-tolak-impor-beras-dari-kamboja

Minggu, 04 November 2012

Kualitas 188.000 Ton Raskin Bulog Subdivre III Bojonegoro di Pertanyakan


03 November 2012
Jatim_BARAK - Aksi demo mahasiswa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di depan kantor DPRD Lamongan yang menuntut pemecatan Kepala Gudang (Kagud) Bulog Lamongan lantaran banyaknya kasus Raskin buruk dan berkutu pada Jumat (2/11) kemarin, mendapat respon dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Raskin Watch.
Koordinator Raskin Watch, Dipo, mempertanyakan kualitas 188.000 ton beras hasil pengadaan Perum Bulog Subdivre III Bojonegoro pada tahun anggaran 2012 ini. Ia mempertanyakan apakah beras hasil pengadaan Subdivre Bulog pimpinan Damin Hartono itu Memenuhi Syarat (MS) atau Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Inpres Nomor 3 tahun 2012.
“Sebab, aksi demo mahasiswa pada Jumat (02/11/2012) kemarin menyebutkan bahwa kualitas beras Raskin yang di distribusikan Bulog setempat tidak sesuai standar Inpres Nomor 2 tahun 2012. Demi melindungi hak Gakin, DPRD Lamongan harus membentuk Panitia Khusus (Pansus) dengan melibatkan surveyor independen,” tegasnya kepada BarakIndonesia.com, Sabtu (3/11).
Sebelumnya, karena kesal dengan banyaknya kasus Beras Miskin (Raskin) yang rusak dan berkutu, mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Lamongan melakukan aksi unjuk rasa digedung DPRD setempat. Mahasiswa meminta agar Kepala Gudang (Kagud) Perum Bulog Lamongan dipecat.
Mahasiswa menilai, pemecatan Kepala Gudang Bulog Lamongan harus dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban Perum Bulog Subdivre III Bojonegoro atas banyaknya kasus pendistribusian beras Raskin yang tidak layak konsumsi diwilayah tersebut.
Selain berorasi, Mahasiswa juga membentangkan poster yang mengecam kinerja Bulog setempat. Mereka meminta DPRD agar mengawasi kinerja Bulog dan merekomendasikan pemberhentian Kepala Gudang Bulog Lamongan karena mendistribusikan beras Raskin tidak layak konsumsi.
“Sampai hari ini, kami dari PMII Lamongan masih saja menemukan Raskin yang tidak berkualitas dan tidak layak konsumsi. Padahal kami sudah kerap kali memberi masukan kepada Bulog,” tegas Ketua PMII Cabang Lamongan, Benu Muharto dalam orasinya.
Kedatangan massa PMII itu, semula dihadang oleh sejumlah petugas dari Polres dan Satpol PP saat hendak masuk melalui pintu gerbang utama sisi utara. Pendemo mengungkapkan, berdasarkan temuan dan laporan yang didapat PMII dari masyarakat, kualitas beras yang diserahkan ke masyarakat miskin tidak sesuai standar, seperti yang tertuang dalam Inpres Nomor 03 tahun 2012 tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran oleh pemerintah. “Persoalan ini  muncul, diduga karena ada kongkalikong antara Bulog dengan mitra kerjanya,”tegas Benu seperti dilansir tribunews tadi malam.
Sementara, Komisi B DPRD Lamongan mengaku akan menindaklanjuti laporan PMII, dan berjanji akan memanggil Kasubdivre Bulog III Bojonegoro. “Intinya, Komisi B akan menindaklanjuti  temuan PMII yang dilaporkan ke DPRD dan hendak memanggil Kabulog Divre III Bojonegoro.Mari kita kawal bersama peredaran Raskin di Lamongan ini,” kata Nisbianto.(Nil)*

Sabtu, 03 November 2012

Impor Beras Tidak Realistis

3 November 2012

JAKARTA, KOMPAS.com- Seperti sudah diprediksi sebelumnya, tahun ini pemerintah melalui Kementerian Perdagangan akan mengimpor 100.000 ton beras dari Kamboja. Ini bagian dari kontrak pembelian beras 1 juta ton. Adapun dari Vietnam akan diimpor beras 200.000 ton juga sebagai bagian kontrak kerjasama Vietnam.
Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Sabtu (3/11/2012), di Jakarta mengatakan, pemerintah melakukan impor dengan argumentasi bahwa cadangan beras nasional masih kurang sekitar 1 juta ton dari cadangan ideal sekitar 3,3 juta ton.
Saat ini cadangan beras nasional yang ada hanya 2,2 juta ton dari total 3,4 juta ton beras dimiliki Bulog dikurangi keperluan PSO (public service obligation), beras raskin 1,2 juta ton.
Keputusan kembali impor beras, bertolak belakang dengan pernyataan Bulog mupun Menteri Pertanian pada awal tahun ini. Menurut mereka pemerintah menyatakan tidak akan melakukan impor beras tahun ini. Menjadi pertanyaan jika kemudian impor tetap dilakukan.
"Apakah prediksi produksi yang dilakukan tidak tepat atau ada kepentingan lain?" tanyanya.
Seperti sudah menjadi rutinitas, impor dilakukan dengan dalih cadangan beras masih kurang. Padahal pada saat bersamaan produksi padi relatif cukup, bahkan lebih, untuk mencukupi target cadangan beras. Pada titik ini lebih karena ketidakmampuan Bulog menyerap beras nasional.
Pada kenyataannya, cadangan beras nasional yang dikelola Bulog tidak ada hubungan langsung dengan produksi padi dalam negeri. Karena seringkali kemampuan penyerapan beras bulog atas hasil produksi nasional sangat rendah bahkan tak lebih dari 10 persen.
Berapapun hasil produksi nasional, jika Bulog tidak mampu menyerap lebih banyak beras dalam negeri dengan alasan keterbatasan anggaran dan harga yang tinggi maka sudah pasti impor dilakukan. Persoalan impor tidak hanya berhenti di Bulog tetapi juga menyangkut soal stabilitas harga dan pendapatan petani.
Seperti sudah lazimnya impor dilakukan pada akhir tahun, karena masa paceklik. Impor yang dilakukan bahkan kadang terus berlangsung hingga awal tahun. Situasi ini tentu saja mempengaruhi psikologi pasar dan petani.
Rumor tentang impor saja bisa langsung menurunkan harga, apalagi jika beras sampai masuk ke wilayah produsen beras. Padahal, situasi saat ini petani sedang menikmati puncak harga.
Hampir di semua wilayah produsen beras di Jawa harga gabah dan beras jauh diatas HPP. Dengan demikian petani mendapatkan keuntungan yang lebih dibandingkan musim lalu.

RI Makin Gemar Impor Beras


03 November 2012
Jakarta, Kompas - Pemerintah terus mencari beras impor di pasar internasional. Vietnam dan Kamboja adalah dua negara yang terus didekati untuk memasok beras ke Indonesia. Untuk tahap awal, sebanyak 300.000 ton beras akan didatangkan pada Desember.
Laporan yang dikeluarkan oleh Oryzanews, Jumat (2/11), menyebutkan, bulan lalu Indonesia menandatangani pembelian sebanyak 300.000 ton beras dari Vietnam. Pekan ini Indonesia kembali menandatangani pembelian sebanyak 200.000 ton beras dari negara ini.
Dalam pekan ini, Indonesia juga menyatakan akan mengimpor sebanyak 100.000 ton beras dari Kamboja. Laporan yang sama menyebutkan, sebanyak 1 juta ton beras akan diimpor Indonesia dari negara ini.
Sementara itu di Jakarta, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh mengatakan, meski sudah ada nota kesepahaman dengan Kamboja terkait kerja sama pengadaan beras, sampai sekarang belum ada keputusan kuota impor untuk Kamboja.
”Memang ada delegasi Kamboja datang, tapi tidak ada kesepakatan apa-apa. Hanya pembicaraan courtesy call, apalagi saya tidak berwenang bikin kesepakatan, secara komersial harus oleh Dirut Perum Bulog,” katanya.
Menurut dia, pihak Bulog sudah melakukan kontrak pembelian beras dengan negara lain, misalnya dengan Vietnam dan India. ”Beras dari Thailand juga masih dalam pembicaraan. Namun, pengadaan dari Thailand sulit terealisasi karena harga di negara penghasil beras terbesar dunia ini lebih mahal dari harga internasional,” ujarnya.
Pengadaan beras
Deddy menjelaskan, langkah tersebut merupakan realisasi nota kesepahaman antara Indonesia dan Kamboja pada 28 Agustus. Menteri Perdagangan Indonesia dan Menteri Perdagangan Kamboja menandatangani kerja sama, yang salah satunya tentang kesediaan Kamboja memasok beras ke Indonesia jika suatu saat dibutuhkan. Dengan masuknya Kamboja, ada lima negara pemasok beras ke Indonesia. Empat negara lainnya adalah Vietnam, Thailand, India, dan Myanmar.
Sebelumnya Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, kebutuhan beras nasional setiap tahun mencapai 33 juta ton, sedangkan produksi diperkirakan 38 juta ton.
”Sejauh ini Bulog mampu menyerap 3,4 juta ton beras. Setelah dikurangi untuk public service obligation, sisanya tinggal 1,2 juta ton. Idealnya cadangan beras 10 persen dari kebutuhan nasional. Karena itu, impor masih diperlukan,” katanya.
Keputusan impor sebanyak 1,1 juta ton beras dilakukan di tengah proyeksi kenaikan produksi padi sebesar 68,96 juta ton gabah kering giling atau mengalami kenaikan sebesar 3,20 juta ton (4,87 persen) dibandingkan dengan tahun 2011. Kenaikan tersebut diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 2,09 juta ton dan di luar Jawa sebesar 1,11 juta ton.
Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, saat ini stok beras di gudang-gudang Bulog mencapai 2,1 juta ton. Stok tersebut setara untuk memenuhi kebutuhan beras untuk rakyat miskin selama sekitar delapan bulan.
Sementara itu, kesulitan air untuk lahan pertanian bagian hulu di Kabupaten Demak, Kudus, dan lahan sisi utara Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, membuat para petani di daerah itu menunda masa tanam padi atau mundur dari waktu yang dijadwalkan.
Tinggi duga muka air Bendungan Sutami di Desa Karangkates, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, dilaporkan mulai merosot ke bawah pola level air rendah dari seharusnya 260 meter di atas permukaan air laut (dpl) menjadi 259,97 meter dpl, sementara pola operasi kemarau normal 263 meter dpl


Jumat, 02 November 2012

Desember, RI Impor Beras Kamboja 100.000 Ton

Kamis, 1 November 2012
Penulis : Didik Purwanto

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan kembali akan mengimpor beras. Jika selama ini pemerintah mengimpor beras dari Thailand atau Vietnam, kali ini pemerintah mengimpor beras dari Kamboja.
Kesepakatan itu diambil antara Dirjen Perdagangan Luar Negeri (PLN) Kementerian Perdagangan Deddy Saleh dan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Sutarto Alimoeso mewakili Pemerintah Indonesia dengan Chairman Green Trade Thon Virak mewakili Kementerian Perdagangan Kamboja dan Ceo Chamalay Foods Co. Ltd Noorhisham bin Nordin di Jakarta, Kamis (1/11/2012).
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh menjelaskan, beras dari Kamboja ini akan digunakan untuk memenuhi stok beras nasional antara 3-4 juta ton. Berasnya tidak semua dikirim ke Indonesia, tetapi akan dibuat stok di Kamboja.
"Nantinya Bulog bisa beroperasi di Kamboja, beras tidak perlu semua dikirim ke Indonesia, tetapi dijadikan stok di sana, bisa untuk komersial (dijual lagi) dan bisa diambil sewaktu-sewaktu untuk memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri," kata Deddy.
Menurut Deddy, pada tahap awal, Pemerintah Kamboja akan mendatangkan 100 ribu ton beras ke Tanah Air pada Desember 2012 dan pada 2013 sebanyak 1 juta ton. Komitmen ini diperoleh setelah ada kesepakatan antara Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan Menteri Perdagangan Kamboja Cham Prasidh pada 28 Agustus lalu di Kamboja.
Deddy berharap kerja sama ini bisa menguntungkan kedua negara, tidak sebatas masalah impor beras Kamboja ke Indonesia saja, tetapi juga dilanjutkan dengan ekspor berbagai produk Indonesia seperti manufaktur, kopi, dan lain-lain ke Kamboja.
"Jadi, biar kerja sama ini membawa manfaat, Indonesia juga bisa mengekspor barang manufaktur, kopi, dan lain-lain ke Kamboja," katanya.
Untuk merealisasikan kerja sama ini, Green Trade Kamboja telah menggandeng Camalay Foods Co. Ltd sebagai joint venture dan Schamrice (M) SDN BHD sebagai perusahaan yang melaksanakan operasional di lapangan, termasuk pihak yang akan menyiapkan fasilitas, pergudangan, maupun kebutuhan (stok) yang diinginkan.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/11/01/17594417/Desember.RI.Impor.Beras.Kamboja.100.000.Ton