“Keberpihakan terhadap petani inilah yang diterapkan seperti pemerintah sejumlah negara maju, seperti Jepang dan Taiwan. Petani di negara-negara itu benar-benar mendapatkan perlindungan dari pemerintahnya. Itulah sebabnya mereka bisa hidup dengan tingkat kesejahteraan yang sangat memadai,” ujar Rizal Ramli pada acara yang diselenggarakan Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) itu.
Menurut Rizal Ramli, publik harus bisa membedakan makna ‘ketahanan pangan’ dan ‘kedaulatan pangan.’ Sepintas, sepertinya tidak ada perbedaan hakiki dari dua kalimat ini. Namun sesungguhnya di balik keduanya ada perbedaan makna yang amat fundamental.
Pada ketahanan pangan, paradigma yang dipegang adalah yang penting tersedianya bahan pangan sebagai kebutuhan pokok. Tidak penting sumber stok itu, apakah hasil panen sendiri atau impor. Bahkan pada paradigma ketahanan pangan yang dikembangkan justru pemenuhan kebutuhan beras dengan cara mengimpor.
Stok beras dunia hanya sekitar 4 juta ton. Kalau tiap tahun Indonesia mengimpor hingga 2 juta ton, ini akan mengerek harga beras di pasar internasional. Akibatnya, kita harus mengeluarkan devisa dalam jumlah sangat besar untuk impor beras. Adalah rahasia umum, bahwa ada komisi sekitar US$10-US$20/ton. Ini terjadi karena yang diterapkan adalah paradigma neolib. Pada saat yang sama, rakyat harus membayar beras lebih tinggi dari semestinya. Celakanya hal seperti ini juga berlaku pada produk pertanian lain, seperti kedelai, jagung, dan gaplek.
“Sebetulnya pemerintah bisa tidak melakukan impor beras. Caranya, dengan membeli beras produksi petani sebanyak-banyaknya. Dengan cara ini tidak perlu kita buang-buang devisa. Yang lebih penting lagi, petani pun senang karena padi dan berasnya dihargai secara pantas,” ungkap Rizal Ramli yang juga mantan Kepala Bulog ini. @aripurwanto
http://www.lensaindonesia.com/2012/11/13/ketua-arup-minta-pemerintah-berpihak-pada-petani.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar