Minggu, 25 November 2012

Degaramisasi sampai Dekedelaisasi: Negara dalam Ketiak Importir

22/11/2012

2014 sudah dekat. Itulah jatuh tempo target swasembada enam komoditas strategis: beras, gula, jagung, kedelai dan daging sapi dalam koordinasi Kementerian Pertanian, dan garam, Kementerian Kelautan dan Perikanan, KKP. Komitmen keswasembadaan telah kelewat santer diproklamirkan melalui beragam kesempatan dalam mendukung komitmen terpenting Presiden SBY dalam urusan pangan nasional merespon krisis pangan global.
Ironisnya, fakta lapangan menunjukkan bahwa penguatan keswasembadaan yang dibanggakan sebagai unggulan politik KIB, Kabinet Indonesia Bersatu, ternyata acapkali berjalan bersamaan dengan banyak kebijakan yang berimplikasi sebaliknya: penggembosan jalan swasembada. Penggembosan itu sepenuhnya mencederai target swasembada 2014. Terlebih ironis lagi bahwa segala pencederaan itu telah terjadi dengan fenomena seragam.

Secara sistemik, pola pencederaan terhadap beragam komoditas strategis yang selama ini mengandalkan importasi, nyaris sama. Celakanya, respon Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) juga nyaris sebangun. Fenomena menyedihkan, bahwa keputusan KIB mudah berubah karena tekanan politik jalanan para pemilik uang, importir pangan strategis, seperti transparan dipertontonkan akal-akalannya dalam krisis kedele dan daging sapi mutakhir. Kata strategis untuk sejumlah komoditas dengan demikian kehilangan makna sakral. Karena itu, krisis garam yang belum selesai, telah disusul krisis beras, gula, jagung, kedele dan hari ini, daging sapi.

Pengkhiatanan keswasembadaan memang sangat kasat mata. Pertama dimulai dengan degaramisasi. Semangat swasembada dengan kewajiban importir untuk membeli produk lokal sebelum importasi, tidaklah terlalu sulit dimentahkan ketika faktanya formalisasi pembelian dan ketercapaian harga garam rakyat yang terbatas masih saja mewarnai pergaraman nasional. Sementara, upaya pengembangan produktifitas garam nasional oleh KKP selalu menghadapi sulitnya mengais subsidi bagi petani garam vis-a-vis petani lain. Pertanyaannya, bagaimana bisa swasembada tahun 2014 nanti?

Kedua, penggembosan gula. Importasi gula mentah, raw sugar, oleh Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang diperkarakan APTRI, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, awal Juli. Importasi ini menyalahi aturan karena PPI bukan importir produsen. Akan tetapi penyimpangan tersebut malah dilegalisir Kemendag tanpa melibatkan APTRI. Protes keras sudah pasti menyurutkan semangat swasembada petani tebu. Kolonialisasi gula rafinasi pun akan semakin menggurita. Bagaimana bisa merubah 40 persen import jadi swasembada 2014, memerlukan konsistensi.

Ketiga, terjadi pada beras. Ketika dicanangkan surplus 10 juta ton 2014, setelah kini swasembada, ternyata Pemerintah memutuskan importasi satu juta ton, 2012, menyusul importasi 1,8 juta ton, 2011. Itu masih pula ditambah dengan ditandatangani MOU dengan Vietnam yang harus menjatah satu juta ton per tahun, 2013-2017. Kegerahan petani tentu bisa dimaklumi ketika bertanya: gimana mau surplus kalau kebanjiran import terus-menerus? Pasti sekali, swasembada bukanlah swasembada beras Vietnam.

Keempat, ketergantungan akademik jagung. Sementara ini angka ketergantungan produksi jagung cukup rendah. Produksi ramalan 2012 mencapai 79 persen dari target 24 juta ton. Akan tetapi nilai ketergantungan benih jagung semakin mengerucut pada benih import dan sama sekali tidak memperoleh antisipasi akademik memadai dalam hal perbenihan. Pemihakan akademik tidak dilihat sebagai sangat penting, sementara seed dependency, ketergantungan gterhadap benih semakin memuncak.

Kelima, balada kedelai Ramadlan. Gerakan penghapusan cukai import kedelai sistematis dilakukan. Mudah diduga bahwa gerakan demonstrasi tahu-tempe pasti dijawab Pemerintah dengan penghapusan cukai. Itulah target kartel, dalang demo. Dekedelaisasi sistematis berjalan tidak hanya pada tingkat eksternal. Internal, sungguh sulit publik memaklumi kinerja pembangunan Kementan, ketika realisasi produksi 2012 hanya 780.000 ton, setara dengan 40 persen target produksi 1,9 juta ton untuk 2012, yang dibuat dan dijanjikan Kementan sendiri. Kok mentarget swasembada 2014?

Keenam, terjadi pada daging sapi. Penggembosan terjadi Ramadlan ini dalam eskalasi importasi dan disusul krisis daging sapi minggu ini. Kalau Ramadlan lau pembenaran importasi kembali berdalih Idul Fitri, hari ini jelas sekali sebagai tekanan politik jalanan terhadap Negara ketika membatasi importasi. Tentu ini mengganggu pengendalian importasi dari 34,9 persen, 2011, menjadi 17,5 persen, 2012. Keswasembadaan daging sapi 2014 dengan ini diyakini bakal mundur lagi setelah gagal sekian kali, 1995-2000-2005-2010. RI bukanlah RUU, Republik Undur-Undur.

Kembali ke garam. Ketika hari ini kita berbicara Garnas, Garam Nasional, untuk ke sekian kalinya kita mengkritisi aib abadi Negeri ini. Kesenjangan nyata antara potensi dan realitas importasi tentu menjadi konsentrasi sentral pelomek Garnas. Mulai dari urusan prasarana dan sarana, teknologi produksi, sampai urusan tataniaga, ternyata Garnas memang adalah anak tiri pembangunan nasional. Marjinalisasi dan amputasi Garnas sangat mudah sekali ditengarai dengan segala indikasi.

Pada tingkat prasarana, benar sekali bahwa 96.000 kilometer panjang pantai RI adalah sumberdaya. Akan tetapi aksessibilitasnya bagi petani ternyata terbatas dan terbatas pulalah kapasitas produksi, kuantitas maupun kualitas. Hal ini terjadi karena, infrastruktur tidak pernah dibenahi untuk bisa memanfaatkan air laut sebagai bahan baku tidak cukup memadai. Faktanya, nyaris segala infrastruktur pengambilan air adalah bangunan air yang kedaluwarsa dan harus diupayakan sendiri oleh petani garam. Itupun baru aksessibilitas air permukaan. Sementara pergaraman negara lain sudah mengakses air dengan kandungan yang sangat baik bagi garamisasi.

Untuk sarana produksi, persoalannya nyaris sama. Petani garam, yang mayoritasnya rekan-rekan Madura dan Nahdliyin, nyaris tidak tersentuh kemudahan sarana produksi, seperti teknologi, penyuluhan, permodalan murah, dan segala sarana produksi sistim Garnas. Sarana-prasarana ini adalah dua hal yang secara teknis sangat berpengaruh terhadap produktifitas Garnas. Apa pula tujuan pembiaran ini kalau tidak untuk menghidup-hidupkan keterbatasan produksi dalam negeri serta kemudian dijadikannya sebagai pembenar untuk importasi bagi para kroni importasi.

Pada tingkat teknologis, muncul kelakar sinis. Air kencing juga menjadi garam di bawah terik matahari. Inilah simplifikasi teknologis yang tidak canggih amat. Persoalannya, pengembangan teknologi pergaraman untuk meningkatkan produktifitas, bukanlah kapasitas petani garam. Pendampingan memadai sudah seharusnya dilakukan oleh Negara untuk bisa meningkatkan daya saing teknologis Garnas Rakyat, termasuk bagaimana meningkatkan kualitas Garnas konsumsi menjadi Garnas industri. Itu jikalau negara tidak menganaktirikan rakyat tani Garnas. Ketika kisruh memuncak, Negara baru tergopoh-gopoh berlagak peduli.

Berdasarkan kajian dinamikanya, bisa disimpulkan bahwa semangat swasembada telah digerogoti dan dicederai sendiri. Tak bisa dibantah bahwa kegagalan produksi memang diurip-urip, dipelihara. Itulah proses degaramisasi sampai dekedelaisasi, untuk melanggengkan importasinya yang penuh rejeki. Tidak bisa dibantah bahwa keseragaman sistemik yang telah terjadi menggambarkan betapa keputusan dan kebijakan telah terdistorsi dan menempatkan Negara dalam ketiak importir, kalau tidak boleh disebutkan bahwa keputusan dan kebijakan itu memang konspiratif.

Sungguh sulit diharapkan akan terjadinya pemulihan kepercayaan publik kepada KIB, ketika mencla-mencle. Kemarin hal yang sama terjadi dalam urusan kedele. Hari ini daging sapi. Esok pagi akan kembali lagi menimpa perberasan nasional, dan esok lusa gula rafinasi membunuh rakyat tani. Sementara, kisruh Garnas tetap abadi. Semuanya dengan prosesi politik yang sama, keterjebakan KIB dalam ketiak politik pemilik uang. Hasilnya, keswasembadaan pangan strategis ini pasti gagal maning dan gagal maning di tahun 2014.

Tersanderanya Pemerintah seperti ini pasti bukan kehendak publik rakyat jelata, pemilik mayoritas contrengan dalam Pemilu dan Pilpres 2014 mendatang... insya Allah...  

* Ketua PBNU, guru besar Pertanian UGM

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40911-lang,id-c,kolom-t,Degaramisasi+sampai+Dekedelaisasi++Negara+dalam+Ketiak+Importir-.phpx 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar