Rabu, 06 Mei 2015

Pemerintah Buka Opsi Mengimpor Beras

Rabu, 6 Mei 2015

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menghitung hasil panen pertama serta kedua hingga beberapa bulan mendatang. Ketika hitungan itu sudah selesai, pemerintah akan memutuskan untuk impor atau tidak.

”Pedagang memang melihat kita tidak akan impor. Kalau nanti hitung-hitungan sudah selesai, baru kita akan tentukan impor atau tidak. Begitu stok Perum Bulog tidak terpenuhi (maka impor akan dilakukan),” kata Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan pemimpin redaksi dan editor ekonomi sejumlah media dalam jamuan makan malam di Istana Negara, Selasa (5/5).

Presiden mengatakan, impor akan dilakukan oleh pemerintah melalui skema antarpemerintah (G to G) karena Indonesia memiliki perjanjian dengan negara produsen beras sejak beberapa tahun lalu. Ia yakin kelangkaan beras tak akan terjadi saat menunggu perhitungan yang dilakukan pemerintah itu.

”Impor bisa dilakukan dalam dua pekan,” kata Joko Widodo ketika ditanya kemungkinan beras langka saat Lebaran.

Sebelumnya Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, Perum Bulog memerlukan stok beras yang besar agar mampu melakukan stabilisasi harga untuk meredam gejolak harga beras saat musim paceklik tiba.

Untuk mendapatkan stok beras yang cukup, Bulog harus bisa membeli gabah atau beras setidaknya 4 juta ton setara beras tahun ini.

Jika volume pembelian beras kurang dari 4 juta ton, apalagi kurangnya banyak, kemampuan Bulog melakukan stabilisasi harga beras diragukan.

Presiden bahkan menargetkan Bulog membeli gabah 4,5 juta ton setara beras tahun ini. Target Presiden untuk pengadaan beras Bulog naik 1,8 juta ton, dibandingkan dengan target awal pengadaan gabah atau beras internal Bulog 2,7 juta ton setara beras.

Jika stok beras Bulog tipis sementara beras ada di pedagang dan masuk musim paceklik, harga beras rentan ditentukan pedagang dan Bulog tidak bisa berbuat banyak.

Dengan stok beras Bulog yang tipis dan tak ada kemampuan melakukan stabilisasi harga beras, rentan memicu persoalan sosial dan politik. Agar itu tidak terjadi, pilihan menambah stok beras Bulog merupakan keharusan.

Mentan mengatakan, dirinya berkali-kali mengingatkan Bulog jika sampai target pengadaan beras tidak terpenuhi, beras impor akan masuk.

Tentu itu tidak diinginkan. Karena itu, Bulog harus semaksimal mungkin melakukan pengadaan gabah/beras. Berbagai strategi harus dilakukan.

Dari aspek produksi, Mentan optimistis produksi beras 2015 naik signifikan. Data moderat kenaikan luas areal panen padi Oktober 2014-Maret 2015 sebanyak 700.000 hektar. Berdasarkan data PT Pupuk Indonesia, ada tambahan permintaan pupuk 500.000 ton.

”Ini indikasi kuat produksi beras naik. Belum lagi adanya dukungan 50.000 personel Babinsa yang menggerakkan petani,” katanya.

Pada 2015, Bulog memang perlu membeli gabah/beras produksi dalam negeri lebih banyak. Kebutuhan beras untuk disalurkan kepada warga penerima raskin sekitar 3,2 juta ton.

Di sisi lain, agar Bulog mempunyai kekuatan untuk melakukan stabilisasi harga, setidaknya sisa beras di gudang Bulog pada akhir tahun cukup besar. Ini mengingat, biasanya pedagang melakukan spekulasi harga pada kisaran Oktober, November, Desember, Januari, dan Februari.

Dengan stok akhir tahun beras di gudang Bulog yang mencukupi, para spekulan akan berpikir ulang untuk mencoba melakukan spekulasi dengan menaikkan harga beras.

Efek psikologi yang diharapkan muncul dari spekulasi, juga tidak akan begitu kuat memengaruhi pasar jika sisa stok beras Bulog di akhir tahun cukup besar.

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah mewajibkan Bulog punya stok akhir tahun beras 2 juta ton. Minimal 1,5 juta ton. Dengan stok beras yang cukup, maka aman bagi Bulog melakukan intervensi harga, seperti dengan melakukan operasi pasar atau tidak takut kehabisan beras.

Lampu kuning

Berdasarkan laporan dari sejumlah daerah, sistem usaha tani mulai dari lahan, buruh tani, benih, kredit pertanian, pupuk, mekanisasi pertanian, penggilingan padi, hingga koperasi unit desa, bermasalah. Kondisi ini yang diduga menjadi salah satu penyebab produksi beras tidak meningkat. ”Sawah sudah banyak yang menjadi perumahan dan toko. Lihat saja sekitar tempat ini,” kata Kusnadi, petani Desa Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menunjukkan daerah sekitar yang dipenuhi perumahan, hotel, pabrik, dan toko.

Dedy, pengelola penggilingan padi PD Teguh Karya di Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, juga mengakui jika lahan di Karawang makin sempit karena banyak lahan yang beralih fungsi. Ia mengaku sulit mendapat beras di tempat itu karena berebut dengan pedagang lainnya.

Sementara itu, terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana pertanian, petani mengaku sampai sekarang sulit untuk mendapatkan produk subsidi. Untuk benih dan pupuk, setiap musim, mereka mengaku mendapat harga di atas harga eceran tertinggi. (MAS/EGI/GER/MAR/PPG)

http://print.kompas.com/baca/KOMPAS_ART0000000000000000013726405.aspx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar