Jumat, 06 Maret 2015

Saatnya Mengubah Mindset Bulog

Kamis, 5 Maret 2015

Sebenarnya siklus musim tanam di Indonesia sudah bisa memprediksi kapan lonjakan harga beras terjadi. Biasanya awal tahun merupakan musim paceklik karena, belum ada lahan sawah yang dipanen. Lantaran itu memang mulai Januari hingg Maret  harga komoditas pangan strategis ini mengalami lonjakan. Fenomena ini  seharusnya bisa diantisipasi pemerintah dalam hal ini  Perum Bulog. Namun yang  terjadi justru sebaliknya, lonjakan harga beras pada awal 2015 ini merupakan harga tertinggi sepanjang jaman.

Perbincangan kami dengan sejumlah pakar pangan dan perberasan menyiratkan kekecewaan terhadap buruknya kinerja di instansi pengelola pertanian dan perberasan di negeri ini.

“Kenaikan harga untuk tahun 2015 ini tertinggi sepanjang jaman. Selama saya jadi petani padi baru sekarang ini ada harga gabah GKP tembus di atas Rp 5.000/ kg bahkan sudah mencapai Rp 5.400 GKP dan Rp 5.800 untuk GKG dan Beras medium sudah lebih dari Rp 10.000,”  kata Ketua Umum KTNA  Winarno Tohir.

Lonjakan harga ini memang ada sisi positif dan negatif. Bagi petani padi, menurut Winarno,  sangat positif dan menambah semangat berproduksi. Petani akan menjaga tanaman padinya dari kekeringan, kebanjiran dan serangan hama penyakit di masa perubahan iklim global. Bahkan di beberapa daerah produksi turun karena serangan jamur dan virus yang sulit diantisipasi petani. Jadi, dengan harga yang sangat bagus akan menambah semangat mereka menjaga dan melindungi tanaman padinya,

“Pemerintah agar membantu dengan Asuransi Pertanian, sarana produksi benih, pupuk dan pestisida yang asli serta permodalan yg mudah didapat agar petani bisa menerapkan teknologi on farm,” ujar Winarno.

Sebaliknya, dari sisi konsumen, kenaikan harga beras merupakan negatif. Sebab konsumen pasti akan merasakan keberatan. Harga komoditas lain bisa ikut terkerek dan inflasi bakal tinggi jika harga beras mahal. Disitulah sebenarnya tugas Perum Bulog untuk mengendalikan harga beras di tingkat konsumen dan petani (produsen). Caranya disaat harga beras tinggi (musim paceklik), Bulog harus melakukan operasi pasar beras. Sebaliknya, di saat harga murah (panen raya) Bulog harus membeli padi dari petani.

Menurutnya, di bulan Januari dan Februari 2015 jumlah supply dan demand tidak seimbang karena jumlah panen di bulan Januari di bawah 1 juta dan Februari di bawah 2 juta ha. Padahal kebutuhan untuk makan bangsa indonesia seluruhnya sebanyak 2,5 juta ton per bulannya, sehingga  diperlukan luas panen yang mencukupi (asumsi produksi 5 ton GKG rata-rata nasional maka harus ada panen 2 juta ha setiap bulannya). Pada bulan Maret dan April akan terjadi panen raya yang luasnya di atas 2 juta ha, maka harga akan otomatis menurun yang perlu juga diantisipasi oleh Bulog

Mafia Beras

Agusdin Pulungan
Agusdin Pulungan

Sementara itu, Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia (Wamti)  Agusdin Pulungan, menilai  adanya mafia yang bermain dalam lonjakan harga beras sangat terasa. Fenomena ini bukan sekali ini saja. Ditemukannya timbunan beras oleh Menteri Perdagangan  Rahmat Gobel, itu indikasi adanya yang bermain. Beras menjadi komoditas ekonomi dan politik yang sangat penting.

“Bulog harusnya bisa mengantispasi ini, sayangnya Bulog sendiri menjadi bagian dari masalah beras,” tuding Agusdin.

Bulog, ungkap Agusdin, bersama sejumlah mitra yang disebut jaringan semut justru telah menjadi kartel/mafia beras. Ketika Perum  Bulog dipimpin oleh Soetarto Alimuso,  banyak harapan positif bertumpu bahwa ia akan mampu membenahi kemelut perberasan. Namun ternyata jauh panggang daripada api, “Saya yang pertama-tama menaruh harapan, karena Sutarto dari Kementan. Dia mengerti tentang pertanian/padi, ternyata meleset,” ungkap Agusdin.

Dari penelusuran Wamti, jelas Agusdin, selama operasi pasar beras yang dilakukan Bulog hanya dinikmati oleh pedagang beras besar saja. Dari pedagang besar itu djual ke pedagang-pedagang kecil dengan selisih harga lebih mahal sebesar Rp300 per kg. Kartel beras ada di Pasar Induk Beras Cipinang.

“Karena itu Bulog jangan lagi ke mitra yang notabene adalah pedagang beras besar, tapi ke koperasi atau usaha pedesaan (uped). Di daerah sudah ada kelompok-kelompok tani yang bisa diberdayakan untuk uped,” imbuh Agusdin.

Sikap lebih kugas disampaikan oleh Ketua Protanikita

Bonang. Menurutnya, agar bisa memisahkan mana masalah Bulog yang lama dengan Direksi Bulog yang baru harua ditarik satu garis. Yakni tidak hanya serah terima jabatan dan perhitungan akuntansi semata. Tapi juga dibuat berita acara aset, termasuk cadangan beras dan kualitasnya.

“Tugaskan auditor independen untuk mengaudit kepengurusan Bulog lama. Apa kualitas berasnya sesuai perintah Inpres No.3/2012. Tidak fair juga kalo direksi Bulog yang baru ikut bertanggungjawab,” tukasnya.

Lucu juga, ungkap Bonang, saat pemerintah melakukan operasi pasar dengan beras Bulog tidak direspon masyarakat. Karena ternyata berasnya berkualitas jelek. Agar dibilang operasi pasarnya sukses dimintalah pedagang membelinya, mereka oplos berasnya dan dijual dengan harga premium. Tetap saja mafia yang untung.

http://majalahpeluang.com/saatnya-mengubah-mindset-bulog/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar