Jumat, 27 Februari 2015

Bulog Sidioarjo Gelar OP dengan Beras Berwarna Kekuningan

Jumat, 27 Februari 2015


[SIDOARJO] Meroketnya harga beras di seluruh kota di Jatim, khusus untuk wilayah Kabupaten Sidoarjo diantisipasi Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan menggelar operasi pasar (OP) beras di Pasar Larangan, Kamis (26/2). Kendati kualitas beras yang dipergunakan OP diakui kurang bagus, namun dalam waktu tidak berapa lama, beras habis diserbu warga, utamanya para pemilik toko pracangan dan pemilik warung atau kedai nasi.


Mereka rela antre dan berdesak-desakan di belakang bak truk pengangkut beras OP yang digelar Bulog setempat dengan harga Rp 7.300/kg.


Usai membeli beras OP Bulog, banyak konsumen yang kecewa karena warna berasnya kekuning-kuningan. Sebagaimana diungkapkan Wartini (50) pemilik toko pracangan dan Ismaroh (44) pemilik warung di Pasar Larangan, keduanya kebetulan masing-masing memborong lima paket beras OP atau 25 kg beras dari Bulog. Karena khawatir beras yang telanjur dibelinya semakin cepat rusak, mereka justru menjualnya kembali ke warga yang tidak kebagian beras dengan harga Rp 8.000/kg.


Banyak pihak menyatakan, bahwa OP beras Bulog Sidoarjo yang menggelontorkan sekitar 30 kwintal hari itu dapat dikatakan sebagai tidak tepat sasaran. Sebab, konsumennya bukan masyarakat kurang mampu tetapi justru rata-rata para pedagang. "Yang memprihatinkan lagi, bisa-bisanya satu orang membeli lima paket sekaligus, sehingga pembagian beras OP tidak merata," ujar Harsono (55), salah seorang warga yang terus mengamati aksi OP beras Bulog tersebut sejak awal hingga usai dalam kurun waktu kurang dari satu setengah jam.


Nasi Gaplek
Sementara itu sebagian besar penduduk kurang mampu yang tinggal di wilayah Desa Kebonagung, Desa Brangkal, dan Desa Keduk, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jatim, dilaporkan sudah sepekan terakhir harus mengkonsumsi tiwul yang berasal dari gaplek atau singkong yang dijemur hingga kering dan kemudian ditumbuk, sebagai pengganti nasi. Mereka terpaksa makan nasi tiwul karena tidak mampu menjangkau harga beras yang mahal.


"Harga beras sekarang di tempat kami Rp 13.000/kg. Lha mana mungkin kami yang hanya bisa bekerja sebagai buruh dengan penghasilan tidak menentu ini bisa membeli beras? Bisa makan tiwul saja kami sudah bersyukur," ujar Radikah (60) warga
Dusun Keduk, Desa Kebonagung, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jumat (27/2) pagi. Dia memilih memanfaatkan ketela dari ladang untuk dijadikan gaplek, sebelum akhirnya dimasak menjadi nasi tiwul.


Hal yang sama juga dilakukan hampir seluruh warga di tiga desa yakni, Desa Brangkal, Keduk dan Kebonagung yang beralih mengkonsumsi nasi tiwul. Rata-rata bahan baku singkong berasal dari tanaman yang ada di sekitar hutan terdekat. "Kalau punya ladang, ya biasanya mengambil singkong di ladang. Uang yang seharusnya untuk membeli beras, bisa kita alihkan untuk membeli lauk. Kalau sayurnya, ya ramban (mencari) di pagar kebun," aku Mutmainah (64) tetangga Radikah.


Proses pembuatan nasi tiwul, menurut warga relatif cukup mudah. Sesudah gaplek ditumbuk terlebih dahulu hingga menjadi tepung, baru ditanak hingga menjadi ’nasi’ tiwul. Lauknya seadanya, terutama ikan gerih atau ikan asin. Ketua Rukun Tetangga (RT)-09 Desa Keduk, Paijan mengakui, apabila masyarakatnya mengganti makanan pokok mereka dari nasi beras menjadi nasi tiwul dan jagung.


"Mahalnya harga beras saat ini sangat mempengaruhi kondisi warga kami. Karena banyak masyarakat yang tidak mampu menjangkau harga beras, akhirnya terpaksa mencari ketela di hutan, untuk diolah menjadi nasi tiwul. Kami sangat berharap agar pemerintah segera menggelontorkan pembagian raskin dan atau menurunkan harga beras ke tingkat wajar, agar dapat terjangkau warga miskin di daerahnya," ujar Paijan yang tinggal di lereng Gunung Wilis itu. [ARS/N-6]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar