Kasus dugaan korupsi dalam
Pembayaran Biaya Tunjangan Kesehatan anggota DPRD Kabupaten Sumenep yang
berdasarkan pada surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor :
R-2061/40-43/06/2013, tertanggal 17 Juni 2013, yang diterima pada tanggal 26
Juni 2013, yang isinya adalah : Dugaan korupsi pengadaan beras untuk Gudang
Beras Bulog (GBB) Sumenep Tahun 2008 oleh Satuan Tugas Pengadaan Gabah Dalam
Negeri Perum Bulog Sub Divre XII Madura dan kasus dugaan korupsi penyaluran
raskin untuk 7 kepulauan dalam wilayah Kabupaten Sumenep, serta dugaan korupsi
pembayaran tunjangan kesehatan untuk anggota DPRD Kabupaten Sumenep dijadikan
sebagai bahan koordinasi dan supervisi oleh KPK. Sedangkan kasus dugaan korupsi lainnya yang
dilaporkan Saudara berdasarkan temuan pemeriksaan BPK tahun anggaran 2004-2009,
berdasarkan telaahan KPK belum dapat ditindaklanjuti karena tidak memuat
fakta/informasi yang dapat dijadikan bukti permulaan kasus tindak pidana
korupsi, sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasar pada isi
surat KPK tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa KPK tidak membaca isi
surat
GeBRaK Sumenep Nomor : 005/SK/GeBRaK/IV/2013, tertanggal 30 April 2013,
yang
isinya pada intinya adalah sebagai berikut :Bahwa kami telah meminta
agar KPK mengambil-alih
penanganan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan beras dan distribusi
raskin di
tahun anggaran 2008 sebagaimana tersebut diatas, dengan alasan bahwa
:Penanganan atau proses hukum dugaan korupsi
dalam Pengadaan Beras dan distribusi Raskin Tahun Anggaran 2008 yang
ditangani
oleh Kejaksaan Negeri Sumenep, yang berdasarkan pada surat Kepala
Kejaksaan
Negeri Sumenep Nomor : B 454/O.5.34/GS/09/2012, tertanggal 3 September
2012,
Perihal : Pemberitahuan Informasi Publik terkait penanganan kasus
korupsi yang
ditangani Kejaksaan Negeri Sumenep, dapat diketahui bahwa kasus dugaan
tindak
pidana korupsi dalam Pengadaan Beras untuk Gudang Beras Bulog (GBB)
Sumenep TA.
2008 oleh Satuan Tugas Pengadaan Gabah Dalam Negeri Perum Bulog Sub
Divre XII
Madura dengan tersangka R. Ahmad Ahyani dkk, proses hukumnya telah
ditingkatkan
ke tahap penyidikan mulai tanggal 15 Maret 2010 dengan diterbitkannya
Surat
Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep, Nomor Print :
01/O.5.34/Fd.1/03/2010, yang diperbaharui dengan Surat Perintah
Penyidikan
Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor Print : 03.A/O.5.34/Fd.1/09/2010,
tanggal
20 September 2010, dan diperbaharui lagi dengan Surat Perintah
Penyidikan
Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor Print : 03.B/0.5.34/Fd.1/03/2011,
Atas
Nama Tersangka R. Ahmad Ahyani, dkk. Hal tersebut berdasarkan pada isi
surat
Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor : B 454/O.5.34/GS/09/2012,
tertanggal 3
September 2012, Perihal : Pemberitahuan Informasi Publik terkait
penanganan
kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Negeri Sumenep. Penyidikan kasus
dugaan
korupsi dalam Pengadaan Beras untuk Gudang Beras Bulog (GBB) Sumenep
Tahun 2008
oleh Satuan Tugas Pengadaan Gabah Dalam Negeri Perum Bulog Sub Divre XII
Madura, yang penetapan Tersangkanya dalam kasus dugaan korupsi dimaksud
pada bulan Maret 2011, berdasarkan terbitnya Surat Perintah Penyidikan
Kepala
Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor Print : 03.B/O.5.34/Fd.1/03/2011, An.
Tersangka
: R. Ahmad Ahyani, dkk yang proses hukumnya berjalan sangat lamban dan
berlarut-larut yang hingga saat ini proses hukumnya masih belum dapat
ditingkatkan
ke tahap penuntutan oleh Kejaksaan Negeri Sumenep. Alasannya sesuai
dengan isi
surat Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep bahwa dalam kasus dugaan korupsi
dimaksud
“masih dilakukan pemeriksaan
saksi-saksi dan pengumpulan alat bukti lainnya”
Dalam
kasus dugaan korupsi dalam pengadaan beras tahun 2008, Kejaksaan Negeri Sumenep
juga masih belum melakukan penahanan terhadap para tersangkanya, yang
seharusnya menurut kami hal tesebut sangat perlu dilakukan untuk menimbulkan
efek jera yang bukan hanya untuk para pelaku, namun juga bagi aparatur
pemerintah lainnya yang diharapkan dapat menimbulkan rasa takut untuk melakukan
korupsi, apalagi dalam kasus ini menyangkut kebutuhan pokok rakyat miskin yang
sepatutnya pula menjadi perhatian serius pemerintah termasuk juga penegak
hukumnya, bukan malah bersikap dan bertindak sebaliknya. Tindakan tegas dalam
menangani kasus korupsi yang telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa sangat
perlu dilakukan demi tercapainya dan terwujudnya harapan Sumenep bisa bersih
dari korupsi raskin yang sering terjadi beserta korupsi lainnya dan bukan hanya
sekedar bersih dari “tong bekas”
Selain
itu, dalam kasus dugaan korupsi dalam pengadaan beras, menurut kami Kejaksaan
Negeri Sumenep juga telah mempunyai alasan hukum yang logis untuk melakukan
penahanan terhadap para tersangka dalam kasus korupsi dalam pengadaan beras ini
karena sesuai dengan isi surat Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep dalam kasus
korupsi dimaksud “masih dilakukan
pemeriksaan saksi-saksi dan pengumpulan alat bukti lainnya” Dan demi kepentingan atau terhindarinya para
tersangka merusak atau menghilangkan barang bukti dalam kepentingan penyidikan
Kejaksaan Negeri Sumenep atau demi mencegah para tersangka yang masih dibiarkan
bebas sehingga dapat pula melakukan tindakan lainnya seperti mempengaruhi
saksi-saksi, menghambat proses penyidikan hingga akibat yang terburuk dengan
tidak ditahannya para tersangka korupsi, yaitu mengulangi perbuatannya atau melarikan
diri.
Di sisi lain, kami juga meragukan alasan dari Kejaksaan Negeri Sumenep yang hingga saat ini masih belum bisa ditingkatkan proses hukumnya ke tahap penuntutan, dengan berdasarkan pada hasil pemantauan kami dari media cetak maupun media online dalam proses hukum kasus dugaan korupsi dalam pengadan beras dan distribusi Raskin tahun 2008 di tujuh kepulauan dalam wilayah kabupaten Sumenep. Dari mulai tahap penyelidikan hingga ke tahap penyidikan Kejaksaan Negeri Sumenep telah memeriksa puluhan saksi-saksi dan kalau memang benar masih dibutuhkan barang bukti atau alat bukti dalam kasus korupsi dimaksud, lalu kenapa Kejaksan Negeri Sumenep begitu percaya diri dan sangat yakin pada para calon koruptor tersebut, tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan kepentingan penyidikannya.
Melegalkan
korupsi
Di beberapa
daerah, kasus korupsi dalam pemberian tunjangan dana purna bhakti dan tunjangan
kesehatan seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang, para koruptornya telah
masuk penjara (lihat juga laporan tahunan
KPK 2012, halaman 86, nomer 122 TPK yang terjadi dalam Asuransi Kesehatan pimpinan dan anggota
DPRD Kabupaten Karanganyar Tahun 2003,
dan kasus tindak pidana korupsi/TPK dalam
penerimaan dana Purna Bhakti anggota DPRD Kabupaten Sikka Tahun Anggaran
1999-2004, nomer 125). Berbeda dengan yang terjadi di kabupaten Sumenep
yang mana dugaan korupsi dalam pemberian dana tunjangan kesehatan dan purna
bhakti “berlindung” pada adanya Perda
Nomor : 03 Tahun 2003 tentang Kedudukan Keuangan DPRD Kabupaten Sumenep Selain itu masih terdapat modus korupsi yang sama yang
juga terjadi di Kabupaten Sumenep seperti dalam kasus korupsi dana bantuan
keuangan kepada instansi vertical (laporan tahunan KPK 2012, halaman 80, nomer
5) dan dugaan TPK dana penunjang kegiatan DPRD Kab. Sikka Tahun 1999-2004 (laporan tahunan KPK, hal. 86, nomer 126).
Walaupun pemberian dana tunjangan purna bhakti dan tunjangan kesehatan yang diberikan
secara tunai kepada 45 anggota DPRD Kabupaten Sumenep periode 1999-2004 dengan
jumlah seluruhnya sebesar Rp. 1.305.000.000,00 (satu miliar tiga ratus lima juta rupiah) di Tahun Anggaran 2004 per Agustus 2004, akan berlindung pada Perda
Nomor 03 Tahun 2003 tentang Kedudukan Keuangan DPRD Kabupaten Sumenep, akan
tetapi Perda dimaksud telah bertentangan dengan norma kepatutan dan keadilan
sebagaimana juga dimaksud dan diatur dalam ketentuan pasal 3 ayat (1) UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 105
Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Dengan
modus berkedok untuk biaya-biaya tunjangan purna bhakti, tunjangan
kesehatan yang dilakukan dan terjadi dari tahun anggaran 2001, serta biaya-biaya
penunjang kegiatan DPRD, mereka melakukan
penggarongan uang rakyat dengan melegalkan korupsi yang dilakukan secara
berjamaah dengan berdasar pada Perda
Nomor 03 Tahun 2003 tentang Kedudukan Keuangan DPRD Kabupaten Sumenep,
yang dibuat pada tanggal 10 April 2003 sebagai upaya untuk melegalkan
korupsi berjamaah DPRD Sumenep.
Meskipun “penjelasan pasal 2 ayat (1) UU RI Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sepanjang
frasa yang berbunyi “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal
ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” telah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
003/PUU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006, akan tetapi putusan Mahkamah
Konstitusi
dimaksud tidak dapat berlaku surut atau hanya dapat berlaku ke depan,
sehingga penjelasannya pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat
diterapkan atas terjadinya tindak pidana korupsi yang tempus delicti-nya
sebelum putusan
Mahkamah Kontitusi Nomor 003/PPU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006
dijatuhkan. Sedangkan
diketahui bahwa dugaan terjadinya tindak pidana korupsi yang telah
dilaporkan
ke KPK terjadi pada Tahun 2001 hingga Tahun 2004
Tanggapan
KPK terhadap laporan dugaan korupsi penggunaan dana APBD Tahun Anggaran 2001
hingga Tahun Anggaran 2009, yang menyatakan bahwa “kasus dugaan korupsi lainnya yang dilaporkan Saudara berdasarkan
temuan pemeriksaan BPK Tahun Anggaran
2004-2009, berdasarkan telaahan KPK belum dapat ditindaklanjuti karena tidak
memuat fakta/informasi yang dapat dijadikan bukti permulaan kasus tindak pidana
korupsi, sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat
1 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” merupakan suatu alasan yang cukup menunjukkan
bahwa KPK tidak bekerja secara professional. Sebab dengan atas dasar hukum apa
KPK dapat menyimpulkan bahwa hasil pemeriksaan BPK dapat dikatakan tidak memuat
fakta/informasi yang dapat dijadikan bukti permulaan kasus tindak pidana
korupsi. Merujuk pula pada ketentuan pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi diatur bahwa “Informasi,
saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, harus
disampaikan secara tertulis dan disertai (a) data mengenai nama dan alamat
Pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat, atau pimpinan Lembaga Swadaya
Masyarakat dengan melampirkan foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas
diri lain (b) keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi
dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan” Selanjutnya pada ketentuan pasal 3 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran
Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juga diatur bahwa “Setiap
informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan
gelar perkara oleh penegak hukum” Terhadap laporan dugaan kasus korupsi yang
telah diterima oleh KPK dan saran, atau pendapat dari masyarakat, apakah KPK
telah melakukan gelar perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran
Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ? Berdasarkan
hasil analisis kami yang diperkuat dengan fakta dan bukti yang kami miliki dapat
disimpulkan bahwa KPK telah bekerja tidak professional serta tidak memperhatikan
ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal
3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK juga
tidak menjalankan Tugas, Wewenang dan Kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 13,
pasal 14 dan pasal 15 UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi secara professional yang hal ini dapat diketahui dalam
pelaksanaan Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPK sebagaimana telah diatur dalam UU
KPK dalam konteks koordinasi dan supervisi yang menjadi kewenangan, tugas dan
kewajiban KPK tidak dijalankan sebagaimana mestinya yang implikasinya membuat
Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPK tersebut menjadi tidak berfungsi secara
efektif dan optimal sebagaimana yang menjadi harapan masyarakat di daerah.
Fakta dan
bukti lain kacaunya kinerja KPK dalam hal Koordinasi dan Supervisinya dengan
instansi penegak hukum lainnya (Polres Sumenep dan Kejaksaan Negeri Sumenep)
dapat diketahui dari surat-surat kami
yang telah disampaikan pada KPK dan tanggapan KPK atas surat kami dimaksud.
Seperti misalnya dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dengan
permintaan informasi mengenai hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan
kegiatan koordinasi dan supervisinya, KPK selalu tidak dapat memberikan
informasi sebagaimana yang diharapkan.
Berdasarkan dari surat-surat yang telah kami sampaikan ke KPK mengenai
permintaan informasi hasil dari kegiatan korsupnya, KPK selalu memberikan
jawaban yang sama yang pada intinya tidak dapat memberikan informasi mengenai
hasil kegiatan korsupnya.
Buruknya
kinerja KPK dalam hal korsup dengan
instansi penegak hukum lainnya juga sangat tampak terlihat dalam surat KPK yang
terakhir yang kami terima dengan surat Nomor : R-2061/40-43/06/2013, tertanggal
17 Juni 2013, yang menyampaikan bahwa untuk “…………
dugaan korupsi pembayaran tunjangan kesehatan untuk anggota DPRD Kabupaten
Sumenep dijadikan sebagai bahan koordinasi dan supervisi oleh KPK” Dalam kasus korupsi dalam pembayaran tunjangan
kesehatan untuk anggota DPRD sebagaimana yang dimaksud dalam surat KPk,
berdasarkan hasil analisis kami dan juga berdasarkan hasil temuan BPK tergolong
dalam kasus dugaan korupsi dengan modus yang sama seperti yang terjadi dalam
pembayaran/pemberian uang purna bhakti anggota DPRD Kabupaten Sumenep,
pembayaran biaya pengembangan sumber daya manusia anggota DPRD Kabupaten
Sumenep, dan pembayaran/pemberian biaya penunjang fraksi anggota DPRD yang
pelaksanaannya berlindung pada Perda Kabupaten Sumenep Nomor 03 Tahun 2003
tentang Kedudukan Keuangan DPRD Kabupaten Sumenep agar dapat menggarong uang
rakyat secara berjamaah. Perampokan uang rakyat yang dilakukan secara berjamaah
tersebut juga bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan asas-asas umum pengelelolaan keuangan daerah sebagaimana
dimaksud dan diatur dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah yang mengatur bahwa
“pengelolaan keuangan daerah dilakukan
secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien,
efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan
kepatutan”
Masalah
lainnya adalah terkait dengan isi surat kami Nomor : 044/SK/GeBRaK/XI/2012,
tertanggal 29 November 2012, mengenai permintaan informasi yang juga disertai
saran dan pendapat kami mengenai proses hukum kasus dugaan korupsi yang masing-masing adalah : (1) penyidikan
kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan rehabilitasi bangunan
gedung SDN Paberasan II Sumenep Tahun Anggaran 2005 yang tangani oleh Polres
Sumenep (2) penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pelaksanaan proyek Pengadaan
Alat Mesin Tangan/hand traktor di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten
Sumenep TA. 2004 yang ditangani oleh Polres Sumenep (3) penyidikan kasus dugaan
korupsi dalam Pengadaan Beras dan Distribusi Raskin di tujuh kepulauan Tahun
2008 yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Sumenep (4) penyidikan kasus dugaan
tindak pidana korupsi dalam pengadaan kapal laut Dharma Bahari Sumekar I dan II
yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Surabaya. Surat Nomor : 044/SK/GeBRaK/XI/2012,
tertanggal 29 November 2012 dimaksud, telah diterima oleh KPK pada tanggal 07
Desember 2012, berdasarkan hasil pelacakan kiriman Pos dengan No. Kiriman :
13056263458, namun hingga kurang lebih 4
(empat) bulan lamanya surat tersebut tidak mendapatkan tanggapan dan perhatian
dari KPK sebagaimana mestinya. Dengan surat Nomor : 005/SK/GeBRaK/IV/2013,
tertanggal 30 April 2013, kami kembali mengirimkan surat ke KPK yang diterima
oleh KPK pada tanggal 14 Mei 2013, berdasarkan hasil pelacakan kiriman via Pos
dengan nomor kiriman : 12850906722. Surat dimaksud berisi permintaan informasi,
saran dan pendapat terkait dengan surat
sebelumnya yang tidak mendapatkan
tanggapan KPK. Dalam surat tersebut juga telah dilampirkan Surat Kepala
Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor : R.25/O.5.34/Fd.1/V/2012, tertanggal 11 Mei
2012, perihal Pengaduan Masyarakat dan Surat Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep
Nomor : B 454/O.5.34/GS/09/2012, tertanggal 3 September 2012, perihal :
Pemberitahuan Informasi Publik terkait penanganan kasus korupsi yang ditangani
Kejaksaan Negeri Sumenep. Dalam surat
tersebut yang merupakan pemenuhan dari hasil kesepakatan dalam sengketa
informasi public mengenai permintaan informasi kasus dugaan korupsi yang
ditangani oleh Kejaksaan Negeri Sumenep yang dalam surat tersebut terkait
dengan kasus dugaan korupsi penggunaan dana APBD Kabupaten Sumenep Tahun
Anggaran 2004-2005 untuk Pembayaran Biaya Tunjangan Kesehatan kepada anggota
DPRD Sumenep telah secara jelas disebutkan bahwa “Kejaksaan Negeri Sumenep hanya menangani kasus korupsi pembayaran biaya
tunjangan kesehatan kepada anggota DPRD Kab. Sumenep untuk tahun anggaran
2004-2005” dan telah masuk dalam
tahap penyidikan sesuai dengan diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan Kepala
Kejaksaan Negeri Sumenep, tanggal 10 Mei 2010 Nomor Print :
06/O.5.34/Fd.1/05/2010, yang kemudian diperbaharui lagi dengan Surat Perintah
Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor Print :
06/O.5.34/Fd.1/09/2010, tanggal 21 September 2010. Dalam surat kami Nomor :
005/SK/GeBRaK/IV/2013, tertanggal 30 April 2013, seperti tersebut diatas, telah
pula kami informasikan kepada KPK bahwa untuk penyidikan kasus dugaan
korupsi Pembayaran Tunjangan Kesehatan untuk
anggota DPRD Kabupaten Sumenep dimaksud telah dihentikan penyidikannya (SP3)
oleh Kejaksaan Negeri Sumenep. Atas dasar hal tersebut sebagaimana disampaikan dalam surat kami yang
meminta KPK agar segera melakukan penanganan terhadap kasus dugaan korupsi yang telah dilaporkan ke KPK. Sejumlah kasus
dugaan korupsi yang telah jelas-jelas secara nyata telah ada kerugian keuangan
negaranya sesuai dengan temuan BPK tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa penanganan, karena tindakan penegak hukum yang demikian sama
juga dengan melakukan pembiaran atau melakukan korupsi pasif atau mungkin telah
dapat dikategorikan turut melakukan korupsi aktif ?
Berdasarkan
pula pada Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Perwakilan Prov. Jatim Nomor :
46/R/XVIII.Jatim/06/2010, tanggal 17 Juni 2010,
yang juga memuat Laporan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK pada tahun
anggaran sebelumnya terdapat sejumlah temuan pemeriksaan yang belum ditindak
lanjuti yang terjadi mulai tahun anggaran 2004 sampai dengan tahun
anggaran 2008, dengan jumlah 26 rekomendasi BPK yang belum
ditindaklanjuti, dan sebanyak 52 rekomendasi BPK yang pelaksanaan
tindaklanjutnya belum sesuai rekomendasi BPK. Pada tahun 2010 masih terdapat 22
rekomendasi BPK yang belum ditindaklanjuti dan 62 rekomendasi BPK yang
dalam pelaksanaannya belum sesuai
rekomendasi BPK. Hal seperti ini sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai
maladmintrasi, sebab berdasarkan ketentuan dalam UU No. 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia, pada pasal 1 butir 3 UU RI No. 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman RI ditegaskan bahwa “Maladministrasi
adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampuai wewenang, menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan
public yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang
menimbulkan kerugian materiil dan/atau imateriil bagi masyarakat dan orang
perseorangan”
Diposkan oleh Moh Sidiq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar