Rabu, 10 Juli 2013

Korupsi yang sesuai prosedur ?

9 Juli 2013

Kasus dugaan korupsi dalam Pembayaran Biaya Tunjangan Kesehatan anggota DPRD Kabupaten Sumenep yang berdasarkan pada surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor : R-2061/40-43/06/2013, tertanggal 17 Juni 2013, yang diterima pada tanggal 26 Juni 2013, yang isinya adalah : Dugaan korupsi pengadaan beras untuk Gudang Beras Bulog (GBB) Sumenep Tahun 2008 oleh Satuan Tugas Pengadaan Gabah Dalam Negeri Perum Bulog Sub Divre XII Madura dan kasus dugaan korupsi penyaluran raskin untuk 7 kepulauan dalam wilayah Kabupaten Sumenep, serta dugaan korupsi pembayaran tunjangan kesehatan untuk anggota DPRD Kabupaten Sumenep dijadikan sebagai bahan koordinasi dan supervisi oleh KPK. Sedangkan kasus dugaan korupsi lainnya yang dilaporkan Saudara berdasarkan temuan pemeriksaan BPK tahun anggaran 2004-2009, berdasarkan telaahan KPK belum dapat ditindaklanjuti karena tidak memuat fakta/informasi yang dapat dijadikan bukti permulaan kasus tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasar pada isi surat KPK tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa KPK tidak membaca isi surat GeBRaK Sumenep Nomor : 005/SK/GeBRaK/IV/2013, tertanggal 30 April 2013, yang isinya pada intinya adalah sebagai berikut :Bahwa kami telah meminta agar KPK mengambil-alih penanganan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan beras dan distribusi raskin di tahun anggaran 2008 sebagaimana tersebut diatas, dengan alasan bahwa :Penanganan atau proses hukum dugaan korupsi dalam Pengadaan Beras dan distribusi Raskin Tahun Anggaran 2008 yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Sumenep, yang berdasarkan pada surat Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor : B 454/O.5.34/GS/09/2012, tertanggal 3 September 2012, Perihal : Pemberitahuan Informasi Publik terkait penanganan kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Negeri Sumenep, dapat diketahui bahwa kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam Pengadaan Beras untuk Gudang Beras Bulog (GBB) Sumenep TA. 2008 oleh Satuan Tugas Pengadaan Gabah Dalam Negeri Perum Bulog Sub Divre XII Madura dengan tersangka R. Ahmad Ahyani dkk, proses hukumnya telah ditingkatkan ke tahap penyidikan mulai tanggal 15 Maret 2010 dengan diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep, Nomor Print : 01/O.5.34/Fd.1/03/2010, yang diperbaharui dengan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor Print : 03.A/O.5.34/Fd.1/09/2010, tanggal 20 September 2010, dan diperbaharui lagi dengan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor Print : 03.B/0.5.34/Fd.1/03/2011, Atas Nama Tersangka R. Ahmad Ahyani, dkk. Hal tersebut berdasarkan pada isi surat Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor : B 454/O.5.34/GS/09/2012, tertanggal 3 September 2012, Perihal : Pemberitahuan Informasi Publik terkait penanganan kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Negeri Sumenep. Penyidikan kasus dugaan korupsi dalam Pengadaan Beras untuk Gudang Beras Bulog (GBB) Sumenep Tahun 2008 oleh Satuan Tugas Pengadaan Gabah Dalam Negeri Perum Bulog Sub Divre XII Madura, yang penetapan Tersangkanya dalam kasus dugaan korupsi dimaksud pada bulan Maret 2011, berdasarkan terbitnya Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor Print : 03.B/O.5.34/Fd.1/03/2011, An. Tersangka : R. Ahmad Ahyani, dkk yang proses hukumnya berjalan sangat lamban dan berlarut-larut yang hingga saat ini proses hukumnya masih belum dapat ditingkatkan ke tahap penuntutan oleh Kejaksaan Negeri Sumenep. Alasannya sesuai dengan isi surat Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep bahwa dalam kasus dugaan korupsi dimaksud “masih dilakukan pemeriksaan saksi-saksi dan pengumpulan alat bukti lainnya”
Dalam kasus dugaan korupsi dalam pengadaan beras tahun 2008, Kejaksaan Negeri Sumenep juga masih belum melakukan penahanan terhadap para tersangkanya, yang seharusnya menurut kami hal tesebut sangat perlu dilakukan untuk menimbulkan efek jera yang bukan hanya untuk para pelaku, namun juga bagi aparatur pemerintah lainnya yang diharapkan dapat menimbulkan rasa takut untuk melakukan korupsi, apalagi dalam kasus ini menyangkut kebutuhan pokok rakyat miskin yang sepatutnya pula menjadi perhatian serius pemerintah termasuk juga penegak hukumnya, bukan malah bersikap dan bertindak sebaliknya. Tindakan tegas dalam menangani kasus korupsi yang telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa sangat perlu dilakukan demi tercapainya dan terwujudnya harapan Sumenep bisa bersih dari korupsi raskin yang sering terjadi beserta korupsi lainnya dan bukan hanya sekedar bersih dari “tong  bekas”  
Selain itu, dalam kasus dugaan korupsi dalam pengadaan beras, menurut kami Kejaksaan Negeri Sumenep juga telah mempunyai alasan hukum yang logis untuk melakukan penahanan terhadap para tersangka dalam kasus korupsi dalam pengadaan beras ini karena sesuai dengan isi surat Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep dalam kasus korupsi dimaksud “masih dilakukan pemeriksaan saksi-saksi dan pengumpulan alat bukti lainnya”  Dan demi kepentingan atau terhindarinya para tersangka merusak atau menghilangkan barang bukti dalam kepentingan penyidikan Kejaksaan Negeri Sumenep atau demi mencegah para tersangka yang masih dibiarkan bebas sehingga dapat pula melakukan tindakan lainnya seperti mempengaruhi saksi-saksi, menghambat proses penyidikan hingga akibat yang terburuk dengan tidak ditahannya para tersangka korupsi, yaitu mengulangi perbuatannya atau melarikan diri.

Di sisi lain, kami juga meragukan alasan dari Kejaksaan Negeri Sumenep yang hingga saat ini masih belum bisa ditingkatkan proses hukumnya ke tahap penuntutan, dengan berdasarkan pada hasil pemantauan kami dari media cetak maupun media online dalam proses hukum kasus dugaan korupsi dalam pengadan beras dan distribusi Raskin tahun 2008 di tujuh kepulauan dalam wilayah kabupaten Sumenep. Dari mulai tahap penyelidikan hingga ke tahap penyidikan Kejaksaan Negeri Sumenep telah memeriksa puluhan saksi-saksi dan kalau memang benar masih dibutuhkan barang bukti atau alat bukti dalam kasus korupsi dimaksud, lalu kenapa Kejaksan Negeri Sumenep begitu percaya diri dan sangat yakin pada para calon koruptor tersebut, tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan kepentingan penyidikannya.
Melegalkan korupsi
Di beberapa daerah, kasus korupsi dalam pemberian tunjangan dana purna bhakti dan tunjangan kesehatan seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang, para koruptornya telah masuk penjara (lihat juga laporan tahunan KPK 2012, halaman 86, nomer 122 TPK yang terjadi  dalam Asuransi Kesehatan pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Karanganyar  Tahun 2003, dan kasus tindak pidana korupsi/TPK dalam penerimaan dana Purna Bhakti anggota DPRD Kabupaten Sikka Tahun Anggaran 1999-2004, nomer 125). Berbeda dengan yang terjadi di kabupaten Sumenep yang mana dugaan korupsi dalam pemberian dana tunjangan kesehatan dan purna bhakti “berlindung” pada adanya Perda Nomor : 03 Tahun 2003 tentang Kedudukan Keuangan DPRD Kabupaten Sumenep Selain itu masih terdapat modus korupsi yang sama yang juga terjadi di Kabupaten Sumenep seperti dalam kasus korupsi dana bantuan keuangan kepada instansi vertical  (laporan tahunan KPK 2012, halaman 80, nomer 5) dan dugaan TPK dana penunjang kegiatan DPRD Kab. Sikka Tahun 1999-2004 (laporan tahunan KPK, hal. 86, nomer 126).
Walaupun pemberian dana tunjangan purna bhakti dan tunjangan kesehatan yang diberikan secara tunai kepada 45 anggota DPRD Kabupaten Sumenep periode 1999-2004 dengan jumlah seluruhnya sebesar Rp. 1.305.000.000,00 (satu miliar tiga ratus lima juta rupiah)  di Tahun Anggaran 2004 per Agustus 2004, akan berlindung pada Perda Nomor 03 Tahun 2003 tentang Kedudukan Keuangan DPRD Kabupaten Sumenep, akan tetapi Perda dimaksud telah bertentangan dengan norma kepatutan dan keadilan sebagaimana juga dimaksud dan diatur dalam ketentuan pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Dengan modus berkedok untuk biaya-biaya tunjangan purna bhakti, tunjangan kesehatan yang dilakukan dan terjadi dari tahun anggaran 2001, serta biaya-biaya penunjang kegiatan DPRD, mereka melakukan  penggarongan uang rakyat dengan melegalkan korupsi  yang dilakukan secara berjamaah dengan berdasar pada Perda Nomor 03 Tahun 2003 tentang Kedudukan Keuangan DPRD Kabupaten Sumenep, yang dibuat pada tanggal 10 April 2003 sebagai upaya untuk melegalkan korupsi berjamaah DPRD Sumenep.
Meskipun “penjelasan pasal 2 ayat (1) UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sepanjang frasa yang berbunyi “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006, akan tetapi putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud tidak dapat berlaku surut atau hanya dapat berlaku ke depan, sehingga penjelasannya pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat diterapkan atas terjadinya tindak pidana korupsi yang tempus delicti-nya sebelum putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 003/PPU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006 dijatuhkan. Sedangkan diketahui bahwa dugaan terjadinya tindak pidana korupsi yang telah dilaporkan ke KPK terjadi pada Tahun 2001 hingga Tahun 2004
Tanggapan KPK  terhadap laporan dugaan korupsi  penggunaan dana APBD Tahun Anggaran 2001 hingga Tahun Anggaran 2009, yang menyatakan bahwa “kasus dugaan korupsi lainnya yang dilaporkan Saudara berdasarkan temuan pemeriksaan BPK  Tahun Anggaran 2004-2009, berdasarkan telaahan KPK belum dapat ditindaklanjuti karena tidak memuat fakta/informasi yang dapat dijadikan bukti permulaan kasus tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat  1 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”  merupakan suatu alasan yang cukup menunjukkan bahwa KPK tidak bekerja secara professional. Sebab dengan atas dasar hukum apa KPK dapat menyimpulkan bahwa hasil pemeriksaan BPK dapat dikatakan tidak memuat fakta/informasi yang dapat dijadikan bukti permulaan kasus tindak pidana korupsi. Merujuk pula pada ketentuan pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa “Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai (a) data mengenai nama dan alamat Pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat, atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan melampirkan foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain (b) keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan”   Selanjutnya pada ketentuan pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga diatur bahwa “Setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum”  Terhadap laporan dugaan kasus korupsi yang telah diterima oleh KPK dan saran, atau pendapat dari masyarakat, apakah KPK telah melakukan gelar perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?  Berdasarkan hasil analisis kami yang diperkuat dengan fakta dan bukti yang kami miliki dapat disimpulkan bahwa KPK telah bekerja tidak professional serta tidak memperhatikan ketentuan  sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK juga tidak menjalankan Tugas, Wewenang dan Kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 13, pasal 14 dan pasal 15 UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara professional yang hal ini dapat diketahui dalam pelaksanaan Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPK sebagaimana telah diatur dalam UU KPK dalam konteks koordinasi dan supervisi yang menjadi kewenangan, tugas dan kewajiban KPK tidak dijalankan sebagaimana mestinya yang implikasinya membuat Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPK tersebut menjadi tidak berfungsi secara efektif dan optimal sebagaimana yang menjadi harapan masyarakat di daerah.    
Fakta dan bukti lain kacaunya kinerja KPK dalam hal Koordinasi dan Supervisinya dengan instansi penegak hukum lainnya (Polres Sumenep dan Kejaksaan Negeri Sumenep) dapat diketahui dari  surat-surat kami yang telah disampaikan pada KPK dan tanggapan KPK atas surat kami dimaksud. Seperti misalnya dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dengan permintaan informasi mengenai hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisinya, KPK selalu tidak dapat memberikan informasi sebagaimana yang diharapkan.  Berdasarkan dari surat-surat yang telah kami sampaikan ke KPK mengenai permintaan informasi hasil dari kegiatan korsupnya, KPK selalu memberikan jawaban yang sama yang pada intinya tidak dapat memberikan informasi mengenai hasil kegiatan korsupnya.
Buruknya kinerja KPK dalam hal  korsup dengan instansi penegak hukum lainnya juga sangat tampak terlihat dalam surat KPK yang terakhir yang kami terima dengan surat Nomor : R-2061/40-43/06/2013, tertanggal 17 Juni 2013, yang menyampaikan bahwa untuk “………… dugaan korupsi pembayaran tunjangan kesehatan untuk anggota DPRD Kabupaten Sumenep dijadikan sebagai bahan koordinasi dan supervisi oleh KPK”  Dalam kasus korupsi dalam pembayaran tunjangan kesehatan untuk anggota DPRD sebagaimana yang dimaksud dalam surat KPk, berdasarkan hasil analisis kami dan juga berdasarkan hasil temuan BPK tergolong dalam kasus dugaan korupsi dengan modus  yang sama seperti yang terjadi dalam pembayaran/pemberian uang purna bhakti anggota DPRD Kabupaten Sumenep, pembayaran biaya pengembangan sumber daya manusia anggota DPRD Kabupaten Sumenep, dan pembayaran/pemberian biaya penunjang fraksi anggota DPRD yang pelaksanaannya berlindung pada Perda Kabupaten Sumenep Nomor 03 Tahun 2003 tentang Kedudukan Keuangan DPRD Kabupaten Sumenep agar dapat menggarong uang rakyat secara berjamaah. Perampokan uang rakyat yang dilakukan secara berjamaah tersebut juga bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan asas-asas umum pengelelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud dan diatur dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah yang mengatur bahwa “pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan”
 
Masalah lainnya adalah terkait dengan isi surat kami Nomor : 044/SK/GeBRaK/XI/2012, tertanggal 29 November 2012, mengenai permintaan informasi yang juga disertai saran dan pendapat kami mengenai proses hukum kasus dugaan korupsi  yang masing-masing adalah : (1) penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan rehabilitasi bangunan gedung SDN Paberasan II Sumenep Tahun Anggaran 2005 yang tangani oleh Polres Sumenep (2) penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pelaksanaan proyek Pengadaan Alat Mesin Tangan/hand traktor di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumenep TA. 2004 yang ditangani oleh Polres Sumenep (3) penyidikan kasus dugaan korupsi dalam Pengadaan Beras dan Distribusi Raskin di tujuh kepulauan Tahun 2008 yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Sumenep (4) penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan kapal laut Dharma Bahari Sumekar I dan II yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Surabaya.  Surat Nomor : 044/SK/GeBRaK/XI/2012, tertanggal 29 November 2012 dimaksud, telah diterima oleh KPK pada tanggal 07 Desember 2012, berdasarkan hasil pelacakan kiriman Pos dengan No. Kiriman : 13056263458, namun hingga  kurang lebih 4 (empat) bulan lamanya surat tersebut tidak mendapatkan tanggapan dan perhatian dari KPK sebagaimana mestinya. Dengan surat Nomor : 005/SK/GeBRaK/IV/2013, tertanggal 30 April 2013, kami kembali mengirimkan surat ke KPK yang diterima oleh KPK pada tanggal 14 Mei 2013, berdasarkan hasil pelacakan kiriman via Pos dengan nomor kiriman : 12850906722. Surat dimaksud berisi permintaan informasi, saran dan pendapat  terkait dengan surat sebelumnya  yang tidak mendapatkan tanggapan KPK. Dalam surat tersebut juga telah dilampirkan Surat Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor : R.25/O.5.34/Fd.1/V/2012, tertanggal 11 Mei 2012, perihal Pengaduan Masyarakat dan Surat Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor : B 454/O.5.34/GS/09/2012, tertanggal 3 September 2012, perihal : Pemberitahuan Informasi Publik terkait penanganan kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Negeri Sumenep.  Dalam surat tersebut yang merupakan pemenuhan dari hasil kesepakatan dalam sengketa informasi public mengenai permintaan informasi kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Sumenep yang dalam surat tersebut terkait dengan kasus dugaan korupsi penggunaan dana APBD Kabupaten Sumenep Tahun Anggaran 2004-2005 untuk Pembayaran Biaya Tunjangan Kesehatan kepada anggota DPRD Sumenep telah secara jelas disebutkan bahwa “Kejaksaan Negeri Sumenep hanya menangani kasus korupsi pembayaran biaya tunjangan kesehatan kepada anggota DPRD Kab. Sumenep untuk tahun anggaran 2004-2005”  dan telah masuk dalam tahap penyidikan sesuai dengan diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep, tanggal 10 Mei 2010 Nomor Print : 06/O.5.34/Fd.1/05/2010, yang kemudian diperbaharui lagi dengan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor Print : 06/O.5.34/Fd.1/09/2010, tanggal 21 September 2010. Dalam surat kami Nomor : 005/SK/GeBRaK/IV/2013, tertanggal 30 April 2013, seperti tersebut diatas, telah pula kami informasikan kepada KPK bahwa untuk penyidikan kasus dugaan korupsi  Pembayaran Tunjangan Kesehatan untuk anggota DPRD Kabupaten Sumenep dimaksud telah dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Kejaksaan Negeri Sumenep. Atas dasar hal tersebut  sebagaimana disampaikan dalam surat kami yang meminta KPK agar segera melakukan penanganan terhadap kasus dugaan korupsi  yang telah dilaporkan ke KPK. Sejumlah kasus dugaan korupsi yang telah jelas-jelas secara nyata telah ada kerugian keuangan negaranya sesuai dengan temuan BPK tidak bisa dibiarkan begitu saja  tanpa penanganan,  karena tindakan penegak hukum yang demikian sama juga dengan melakukan pembiaran atau melakukan korupsi pasif atau mungkin telah dapat dikategorikan turut melakukan korupsi aktif ?
Berdasarkan pula pada Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Perwakilan Prov. Jatim Nomor : 46/R/XVIII.Jatim/06/2010, tanggal 17 Juni 2010,  yang juga memuat Laporan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK pada tahun anggaran sebelumnya terdapat sejumlah temuan pemeriksaan yang belum ditindak lanjuti yang terjadi mulai tahun anggaran 2004 sampai dengan tahun anggaran  2008, dengan jumlah 26 rekomendasi BPK yang belum ditindaklanjuti, dan sebanyak 52 rekomendasi BPK yang pelaksanaan tindaklanjutnya belum sesuai rekomendasi BPK. Pada tahun 2010 masih terdapat 22 rekomendasi BPK yang belum ditindaklanjuti dan 62 rekomendasi BPK yang dalam  pelaksanaannya belum sesuai rekomendasi BPK. Hal seperti ini sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai maladmintrasi, sebab berdasarkan ketentuan dalam UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, pada pasal 1 butir 3 UU RI No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI ditegaskan bahwa “Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampuai wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan public yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau imateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan”
Diposkan oleh
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar