Minggu, 09 Juni 2013

Target Pasar

9 Juni 2013

Barangkali bukan permintaan yang berlebihan bila sejumlah kelompok masyarakat meminta pemerintah tidak melanjutkan keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Sebabnya sangat jelas, partisipasi Indonesia dalam organisasi yang mengatur perdagangan dunia lebih terbuka tanpa hambatan perdagangan khususnya soal tarif itu, ternyata sangat merugikan Indonesia.

Contohnya, liberalisasi perdagangan pangan menyebabkan impor pangan melambung. Tahun lalu, impor produk pangan Indonesia menghabiskan devisa lebih dari 125 triliun rupiah.
Makanya, rezim perdagangan bebas WTO dianggap mengancam hak bangsa dan negara Indonesia untuk menentukan kebijakan pangan dan pertanian untuk kepentingan bangsa.

Pasal-pasal dalam WTO dinilai menggerus kedaulatan pangan karena persaingan perdagangan bebas yang tidak sehat. Perlindungan ke petani justru dihilangkan.

Akan tetapi, negara maju eksportir pangan Indonesia, seperti AS, ternyata memberikan perlindungan berupa subsidi yang besar terhadap petani mereka agar bisa bersaing di pasar global. Lalu, Jepang juga menerapkan bea masuk impor beras yang sangat tinggi demi melindungi petani. Inilah contoh perdagangan bebas yang tidak sehat, tidak seimbang, yang justru dipelopori oleh negara maju, inisiator WTO.

Di bidang pangan yang sangat strategis dan menentukan kedaulatan satu negara, penerapan perdagangan bebas yang "pincang"itu perlahan membunuh sektor pertanian dan petani.
Secara umum, WTO pada akhirnya membuat neraca perdagangan Indonesia yang selama 40 tahun terakhir masih surplus menjadi tekor. Dan, defisit sebesar 1,6 miliar dollar AS itu terjadi sepanjang tahun lalu. Kemudian, berlanjut pada dua bulan pertama 2013, lalu terakhir pada April lalu. Defisit perdagangan bakal berlanjut tahun ini, jika melihat tren ekspor non-migas yang menurun.

Sementara itu, impor semakin tidak terbendung sehingga membuat produk Indonesia menjadi pecundang di negeri sendiri, setelah ekspor kian merosot akibat rendahnya daya saing global produk Indonesia.

Ancaman berlanjutnya defisit memang sangat masuk akal jika melihat agresivitas negara maju dalam menggempur pasar Indonesia. Akibatnya, kini muncul kekhawatiran bahwa Indonesia yang masuk arena pasar tanpa bekal persiapan memadai dari pemerintah, bakal menjadi target pasar produk asing.

Dan, jika hal itu terjadi, pemerintahlah biang kesalahan tersebut. Pemerintah Indonesia yang resmi menjadi anggota WTO melalui ratifikasi UU No 7/ 1994 tentang Ratifikasi Pembentukan WTO, lalai memperkokoh indutsri nasional. Bahkan, terus membanggakan angka pertumbuhan rata-rata 6 persen, meski pertumbuhan itu ditopang oleh konsumsi domestik yang mayoritas diimpor itu.

Dengan penduduk terbesar ke-4 dunia, sebanyak 240 juta jiwa termasuk 20 juta penduduk kaya yang terkonsentrasi di Jakarta dan sekitarnya, Indonesia merupakan pasar menggiurkan bagi produk asing. Namun, Indonesia belum siap memberi perlindungan nontarif terhadap pasar domestik.

Ahli perdagangan internasional dari Institut Pertanian Bogor, Rina Oktaviani, menjelaskan sebanyak 54 juta penduduk kaya ada di Indonesia dan 60 persennya ada di sekitar Jakarta.

Untuk mendapatkan konsumen sebanyak 20 juta, negara lain harus memasarkan produk mereka ke seluruh benua Australia. "Itu pun belum tentu mereka kaya semua. Di Indonesia, 20 juta penduduk kaya ada di Jakarta dan sekitarnya. Jelas ini menarik," kata Rina. Oleh karena itu, semua negara berkepentingan untuk memasukkan produk mereka ke Indonesia.

Produsen otomotif global membidik Indonesia sebagai target pasar melihat catatan penjualan mobil yang mencapai 1,1 juta unit ditambah omzet sepeda motor 8 juta unit pada 2012. Dalam upaya saling meningkatkan kerja sama, China tampaknya lebih agresif merangsek pasar Indonesia. Bukan hanya pemerintah pusatnya, pemerintah provinsi di China pun menjadikan Indonesia sebagai target pasar.

Indonesia juga menjadi target pasar yang potensial bagi pengusaha produk gaya hidup asal Hong Kong. Begitu pula, Amerika Serikat berniat menjadikan Indonesia sebagai pasar utama bagi produk pangan dan pertanian Negara Paman Sam tersebut.

Dalam beberapa waktu ke depan, potensi bisnis dan pasar di Indonesia dinilai potensial dan sangat strategis untuk dijajaki. Laporan The Boston Consulting Group (BCG) tentang pertumbuhan Middle Class and Affluent Consumers (MACs) yang baru saja dirilis mengonfirmasi hal itu.

Dengan demografis penduduknya yang atraktif dan iklim investasi yang baik, populasi dari masyarakat kelas menengah (MACs) yang pada saat ini berada di angka 74 Juta, diperkirakan dapat meningkat hingga dua kali lipat pada tahun 2020 menjadi 141 Juta. Perlu diketahui, target pasar terbesar Indonesia saat ini berada pada kelas menengah yang pertumbuhannya dinilai sangat pesat belakangan ini.

Jika negara eksportir begitu sibuk bersiap-siap menyerang pasar Indonesia, sebaliknya pemerintah hingga kini dinilai belum berbuat apa pun secara signifikan untuk menghindarkan negara ini dijadikan target pasar. Entah apa lagi yang akan menjadi korban kebijakan fatal pemerintah ini.
******

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/121271

Tidak ada komentar:

Posting Komentar