Kamis, 13 Juni 2013

Peran Luthfi Strategis Loloskan Kuota

13 Juni 2013

KASUS IMPOR SAPI

JAKARTA (Suara Karya): Peran mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) sangat strategis dalam kasus dugaan suap permohonan kuota impor daging sapi.
Hal tersebut terungkap saat jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut hukuman empat tahun dan enam bulan terhadap dua direksi PT Indoguna Utama, Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (12/6).
JPU KPK menyatakan, pemberian uang Rp 1,3 miliar dari Juard dan Arya Abdi melalui perantara Ahmad Fathanah memang ditujukan untuk mengurus izin penambahan kuota impor itu. PT Indoguna sangat ingin menambah kuota impor tersebut.
"Ada peran strategis dari saksi Luthfi Hasan Ishaaq, sebagai anggota Komisi I DPR dan Presiden PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dalam memengaruhi pengurusan penambahan kuota impor daging sapi, meskipun uang Rp 1,3 miliar itu diberikan kepada saksi Ahmad Fathanah sebagai perantara," kata Jaksa Mochammad Rum ketika membacakan nota tuntutan tersebut di hadapan majelis hakim yang diketuai Purwono Edi Santosa.
Menurut Jaksa Rum, cukup beralasan motivasi pemberian uang Rp 1,3 miliar kepada Luthfi Hasan Ishaaq, karena dia punya peran strategis sebagai anggota Komisi I DPR dan Presiden PKS demi dikabulkannya permohonan pengajuan penambahan kuota impor daging sapi dari PT Indoguna Utama.
"Memang, terdakwa (Juard dan Arya) tidak langsung memberikan uang ke saksi Luthfi Hasan Ishaaq karena melalui perantara Ahmad Fathanah, tetapi niat pemberian uang bertujuan demi meloloskan permohonan kuota impor daging sapi," kata Rum.
Dalam nota tuntutannya, Mochammad Rum menyatakan, baik Juard maupun Arya Abdi telah terbukti secara sah bersama-sama menyuap penyelenggara negara untuk memperoleh tambahan kuota impor daging sapi tersebut.
"Menuntut supaya majelis hakim menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa I Arya Abdi Effendy dan terdakwa II Juard Effendi masing-masing dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan," ujar Rum.
Selain dituntut pidana penjara, kedua direksi PT Indoguna tersebut juga dituntut untuk membayar denda senilai Rp 200 juta yang bisa diganti dengan hukuman kurungan selama empat bulan.
"Keduanya terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo 55 ke-1 KUHPidana," kata JPU KPK.
Dalam menjatuhkan tuntutan, JPU KPK mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Untuk hal yang memberatkan, kedua terdakwa tidak mendukung pemerintah yang tengah giat-giatnya memberantas korupsi, kedua terdakwa tidak mengakui perbuatannya, dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan selama persidangan.
"Kedua terdakwa belum pernah dihukum, kedua terdakwa masih punya tanggungan keluarga, dan kedua terdakwa bersikap sopan selama persidangan," kata JPU KPK saat menguraikan hal-hal yang meringankan diajukannya tuntutan tersebut.
Menanggapi tuntutan jaksa, kedua terdakwa sepakat mengajukan nota pembelaan. Majelis hakim Purwono Edi Santoso memutuskan untuk menunda persidangan dan dilanjutkan pada Rabu, 19 Juni 2013, dengan agenda mendengarkan nota pembelaan.
Sebelumnya, Direktur Operasional PT Indoguna Utama Arya Abdi Effendy dan Direktur Sumber Daya Manusia dan Urusan Umum (HRD dan General Affair) PT IU H Juard Effendi didakwa oleh JPU KPK dengan tiga pasal tentang suap. Keduanya dianggap memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, yaitu LHI, selaku anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Uang yang dijanjikan diberikan adalah Rp 40 miliar, namun baru diserahkan kepada LHI melalui Ahmad Fathanah senilai Rp 1,3 miliar.
Atas perbuatan mereka, Arya dan Juard didakwa tiga pasal suap, yakni Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman hukumannya pun mencapai 20 tahun penjara. (Nefan Kristiono)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=328480 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar