9 Juni 2013
Indonesia memiliki potensi sapi potong yang cukup besar. Data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) hasil Sensus Pertanian tahun 2011
menyebutkan bahwa populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor. Hasil
sensus tersebut dinilai belum ada kejelasan populasi berdasarkan
kelompok umur dan jenis kelamin ternak. Informasi populasi ternak
berdasarkan umur dan jenis kelamin penting untuk diketahui karena dapat
menentukan perkembangan populasi ternak di masa depan.
Data
terbaru hasil Sensus Pertanian 2013 (SP-2013) secara resmi belum
diumumkan. Namun, saat ini sudah beredar berita yang menyebutkan
populasi sapi potong hanya 12- 12,5 juta ekor. Penurunan populasi itu
ditengarai akibat pemotongan sapi secara besar-besaran sebagai dampak
harga daging sapi yang bertahan relatif tinggi . Sementara itu proyeksi
kebutuhan daging sapi tahun 2013 dari Kementerian Pertanian adalah
sebesar 549,7 ribu ton. Dari jumlah itu, 474,4 ribu ton mampu dipenuhi
dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu
ton (14,6%) harus diimpor. Adapun rincian impor tersebut terdiri dari 32
ribu ton dalam bentuk daging sapi beku dan 267 ribu ekor sapi bakalan
yang setara dengan 48 ribu ton daging sapi.
Data yang disampaikan
Kementerian Pertanian tersebut menggambarkan bahwa potensi pemenuhan
penyediaan daging sapi dari dalam negeri cukup besar meskipun belum
mampu mencukupi seluruhnya. Fenomena tingginya harga daging sapi di
Pulau Jawa, khususnya Jabodetabek dalam beberapa bulan terakhir ini,
menunjukkan adanya indikasi ketimpangan pada sistem pasokan daging
sapi di Indonesia.
Sebaran populasi ternak sapi dan sebaran
konsumsi daging sapi menurut data BPS menurut propinsi tidak merata. Di
Indonesia terdapat perbedaan tingkat konsumsi daging oleh masyarakat
antara daerah satu dengan lainnya. Masyarakat di kawasan Indonesia
Barat (Sumatera dan Jawa) memiliki tingkat konsumsi daging sapi tinggi,
sementara itu populasi ternak sapi menyebar di seluruh wilayah
Indonesia dan dalam jumlah cukup besar berada di kawasan Indonesia
Timur, seperti di Sulawesi Selatan, NTB, NTT, dan Jawa Timur, yang
justru tingkat konsumsinya rendah.
Sebagai contoh, Provinsi NTT
menempati urutan empat populasi sapi potong terbesar di Indonesia.
Perkembangan populasi ternak di NTT diprediksi akan terus meningkat
setiap tahun, dengan penambahan populasi terbanyak terdapat pada jenis
ternak sapi. Pada tahun 2012, jumlah populasi ternak sapi sebanyak
814.450 ekor, sedangkan pada Januari 2013 meningkat menjadi 817.708
ekor. Angka itu diprediksi akan terus meningkat seiring dengan sejumlah
langkah konkret di lapangan dalam pengembangan peternakan di NTT. Di
sisi lain kebutuhan pasokan daging sapi untuk keperluan konsumsi
masyarakat di NTT relatif rendah, karena jumlah penduduknya memang jauh
lebih sedikit dibandingkan pulau Jawa. Kelebihan potensi populasi sapi
potong yang cukup besar tersebut sulit untuk disalurkan ke pulau Jawa,
yang masih membutuhkan tambahan pasokan cukup besar, akibat kendala
logistik yang berpengaruh pada harga jual yang tinggi saat tiba di
tangan konsumen. Secara ekonomis, akan lebih murah mengimpor daging sapi
atau bakalan sapi dari Australia dibandingkan mendatangkannya dari NTT.
Biaya logistik yang tinggi menyebabkan daya saing produk Indonesia,
termasuk daging sapi, menjadi lebih rendah dibandingkan dengan produk
sejenis yang dihasilkan negara-negara pesaing.
Pasokan daging
sapi dari daerah produsen menuju daerah konsumen menjadi tersendat
sebagai akibat dari kendala logistik, khususnya sistem transportasi
angkutan ternak yang masih belum memadai. Seperti sampai saat ini,
pengangkutan ternak dari NTT masih menggunakan truk atau kapal barang
biasa yang berbarengan dengan penumpang. Kondisi ini sangat berbeda
dengan Australia, negara pemasok utama sapi hidup ke Indonesia, yang
menyediakan angkutan khusus untuk ternak.
Pembenahan Sistem Logistik Nasional
Memperhatikan
kondisi tersebut, tampaknya agar permasalahan daging sapi dapat segera
dipecahkan maka salah satu upaya yang perlu dan mendesak dilakukan
adalah pembenahan terhadap sistem logistik nasional. Upaya ini
diharapkan akan berdampak langsung terhadap perbaikan distribusi daging
sapi nasional, sehingga penyaluran komoditas daging sapi antar daerah di
Indonesia dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Sistem
logistik nasional Indonesia saat ini relatif belum efisien sehingga
menyebabkan biaya logistik tinggi. Kondisi ini berdampak negatif pada
komoditas perdagangan, baik yang distribusikan di dalam negeri maupun
dari atau ke luar negeri melalui ekspor – impor. Komoditas daging sapi
tidak luput dari masalah ini sehingga salah satu faktor penyebab
tingginya harga daging sapi akhir – akhir ini ditengarai juga akibat
dari biaya logistik yang tinggi. Biaya logistik di Indonesia mencapai
24,64% dari PDB Indonesia pada tahun 2011. Padahal biaya logistik di
Amerika Serikat hanya sebesar 9,9%, Jepang sebesar 10,6%, dan Korea
Selatan sebanyak 16,3%. Bahkan, menurut hasil survei Logistics Performance Index
(LPI) oleh Bank Dunia tahun 2012, Indonesia menempati peringkat 59,
atau berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Saat
ini, biaya angkutan antar pulau seringkali jauh di atas biaya angkutan
impor dari negara lain. Misalnya, ongkos pengiriman satu kontainer
ukuran 40 feet dari Padang, Sumatera Barat ke Jakarta mencapai 600
dollar AS. Padahal, ongkos kirim kontainer berukuran sama dari Jakarta
ke Singapura, yang jaraknya lebih jauh, hanya sebesar 185 dollar AS.
Biaya
logistik yang tinggi juga terjadi di wilayah Indonesia Timur. Salah
satu penyebabnya adalah tidak adanya jaminan muatan balik dari wilayah
timur bagi angkutan kargo (backhaul). Ini mengakibatkan ongkos
angkut dari dan ke wilayah timur Indonesia menjadi lebih tinggi
dibandingkan dari dan ke wilayah barat Indonesia. Kondisi ini
mengakibatkan terjadinya disparitas harga yang tinggi antara wilayah
barat dan timur. Padahal, terkait masalah pasokan daging sapi, wilayah
timur Indonesia memiliki populasi serta potensi sapi potong yang cukup
besar dan prospektif.
Berkenaan dengan permasalahan tersebut,
pemerintah dengan para pemangku kepentingan tengah berupaya untuk
mengatasi permasalahan distribusi dan logistik daging sapi untuk
menurunkan harga dan mendorong peningkatan konsumsi daging sapi.
Pemerintah terus berperan aktif dalam mengembangkan sistem logistik
nasional. Upaya ini bertujuan untuk memperlancar konektivitas antar
daerah dan antar simpul – simpul logistik yang dilakukan melalui
revitalisasi pasar tradisional, pembangunan pusat distribusi regional,
serta pembangunan jaringan logistik antar simpul – simpul logistik di
setiap koridor ekonomi, sebagaimana dipetakan dalam Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sampai
saat ini, Kementerian Perdagangan melalui Tugas Pembantuan telah
merevitalisasi 461 unit pasar tradisional dan lima Pusat Distribusi
Nasional/Provinsi dengan dana lebih dari Rp 2 triliun. Program lain yang
dilakukan yaitu secara aktif mendorong pembentukan dan pengembangan
Kawasan Ekonomi Khusus, optimalisasi Cikarang Dry Port, serta mendorong penetapan pelabuhan hub internasional di Kuala Tanjung untuk kawasan barat dan Bitung untuk kawasan timur Indonesia.
Upaya tersebut merupakan perwujudan nyata dari Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2012
tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Peraturan ini
secara jelas merumuskan Visi Logistik Indonesia 2025 yaitu:
“Terwujudnya Sistem Logistik yang terintegrasi secara lokal, terhubung
secara global untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesejahteraan
rakyat (locally integrated, globally connected for national competitiveness and social welfare)”.
Terintegrasi secara lokal (locally integrated),
diartikan bahwa pada tahun 2025 seluruh aktivitas logistik, termasuk
sektor daging sapi, di Indonesia mulai dari tingkat pedesaan,
perkotaan,sampai dengan antar wilayah dan antar pulau beroperasi secara
efektif dan efisien, dan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi secara
nasional dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Khusus
untuk komoditas daging, dengan visi terintegrasi secara lokal ini
diharapkan akan mendorong terwujudnya ketahanan dan kedaulatan komoditas
daging sapi nasional yang ditandai dengan tercapainya swasembada daging
sapi.
Sedangkan, terhubung secara global (globally connected)
diartikan bahwa pada tahun 2025, Sistem Logistik Nasional akan
terhubung dengan sistem logistik regional (ASEAN) dan global melalui
Pelabuhan Hub Internasional. Dalam hal ini termasuk fasilitasi
kepabeanan dan fasilitasi perdagangan, jaringan informasi, serta
jaringan keuangan sehingga pelaku dan penyedia jasa logistik nasional,
termasuk komoditas daging sapi, dapat bersaing di pasar global.
Integrasi secara lokal dan keterhubungan secara global dilakukan melalui
integrasi dan efisiensi jaringan logistik yang terdiri atas jaringan
distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan
keuangan yang didukung oleh pelaku dan penyedia jasa logistik. Jaringan
sistem logistik domestik dan keterhubungannya dengan jaringan logistik
global secara baik akan menjadi kunci sukses ketersediaan pasokan
berbagai komoditas, termasuk daging sapi, baik dari aspek kuantitas,
kualitas, maupun harga. Kondisi ini sangat diperlukan mengingat
persaingan tidak hanya antar produk, antar perusahaan, namun juga antar
jaringan logistik dan rantai pasok bahkan antar negara.
Pengembangan
sistem logistik nasional, khususnya di sektor daging sapi, bukanlah
perkara mudah seperti membalik telapak tangan. Diperlukan dukungan peran
aktif berbagai sektor terkait untuk mewujudkannya. Pelibatan Perum
BULOG dalam impor daging sapi merupakan salah satu upaya yang ditempuh
untuk memperbaiki distribusi dan mendorong peningkatan konsumsi daging
sapi di seluruh tanah air. Penugasan ini berimplikasi pada penataan
infrastruktur logistic, termasuk di dalamnya sarana transportasi hingga
sarana penyimpan daging beku (cold storage) yang dikelola oleh
BULOG. Untuk mengurangi lamanya waktu tempuh pengangkutan sapi hidup
maupun daging beku dari wilayah pemasok (Sulawesi Selatan, Jateng,
Jatim, NTT, NTB) perlu adanya kerjasama aktif Kementerian Perhubungan,
Kementerian Pekerjaan Umum, PT PELNI dan Pemerintah Daerah dalam
melakukan pembenahan sarana transportasi laut untuk angkutan ternak,
perbaikan jalan darat untuk kelancaran truk, dan penyederhanaan sistem
administrasi terkait retribusi. Sementara itu, untuk menjamin
tersedianya pasokan dari dalam negeri diperlukan sinergi yang solid
antara Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, Pemerintah
Daerah¸Perguruan Tinggi dan pihak Swasta. Banyak pekerjaan rumah yang
mesti diselesaikan di berbagai bidang secara bertahap namun serentak dan
sinergis dalam jangka panjang yang secara menyeluruh melibatkan peran
aktif Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan lainnya.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran, optimisme, kerja sama, dan kerja
keras dari semua pemangku kepentingan guna menciptakan sinergi untuk
mencapainya.
Oleh : Dr. Harianto, MS., SKP Bidang Pangan dan Energi
http://www.setkab.go.id/artikel-8975-pembenahan-pasokan-daging-sapi-melalui-sistem-logistik-nasional.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar