Rabu, 05 Juni 2013

Krisis Pangan Berlanjut

4 Juni 2013

Kelaparan dan kurang gizi lebih sebagai kepentingan politik ketimbang masalah produksi di tingkat on farm. Kedua tragedi itu bukan semata-mata karena defi sit pangan, melainkan kesalahan kebijakan pangan. Tragedi kelaparan bukan takdir yang tak dapat dielakkan.

Krisis pangan terus mengintai republik ini. Tragedi kelaparan yang menewaskan 95 penduduk Distrik Kwor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, beberapa waktu lalu, sungguh memprihatinkan. Negeri ini pernah disebut-sebut sebagai lumbung pangan dunia, tapi kini sebagian warganya meninggal karena kelaparan.

Yang lebih menyedihkan, sekitar lima juta anak tidak bisa tidur nyenyak setiap malam karena kelaparan dan mengalami kurang gizi. Kejadian memilukan ini menunjukkan penderitaan rakyat kecil tidak berkurang setelah 15 tahun reformasi. Penduduk Indonesia yang masih hidup dengan pendapatan di bawah 2 dollar AS per hari mendekati angka 100 juta jiwa.

Di tengah tragedi kelaparan dan kurang gizi, sejumlah korporasi yang menguasai 90 persen perdagangan gandum dunia membukukan kenaikan laba di atas 60 persen. Berbagai supermarket yang dikendalikan dari negara asalnya, Amerika Serikat dan Eropa Barat, menuai keuntungan yang signifikan. Tatkala jutaan penduduk Indonesia merintih kelaparan, sejumlah korporasi raksasa mendapat keuntungan dari perdagangan makanan dan minuman.

Sekitar 200 tahun silam, Thomas Malthus meramal akan terjadi pertumbuhan penduduk seperti deret ukur, sementara produksi dan ketersediaan pangan seperti deret hitung. Dampaknya, wabah kelaparan dan gizi buruk tak terelakkan. Beruntung, berbagai inovasi pertanian untuk memproduksi pangan berhasil meruntuhkan prediksi itu. Lantas, ramalan Malthus pun tidak terbukti!

Seharusnya semua orang dapat tercukupi kebutuhan pangannya sepanjang waktu. Perkembangan ilmu dan teknologi pertanian yang kian pesat menjadikan sektor pertanian mampu meningkatkan produksi pangan. Teknologi pertanian mengatrol produksi pangan, seperti jagung, padi, gandum, dan daging, secara signifikan. Bahkan rekayasa genetik (transgenik) telah menunjukkan kesaktiannya untuk menemukan benih unggul guna meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pangan pun bertambah secara signifikan.

Namun, hingga kini, pangan yang cukup tidak bisa mencapai setiap orang. Tragedi kelaparan dan kurang gizi masih kerap terjadi. Penjajahan dalam bentuk kekerasan fisik sudah ditinggalkan negara maju untuk mengendalikan negara miskin. Namun, penjajahan bentuk lain kini berlangsung secara kasat mata dan masif.

Negara-negara maju mengendalikan pangan dunia lewat penguasaan ilmu dan teknologi. Hal itu menjadi tren baru bagi hubungan antarnegara yang ujung-ujungnya selalu menguntungkan negara-negara maju. Pengenalan monokultur secara besar-besaran di negara-negara berkembang oleh negara maju melalui revolusi hijau dipelopori International Centre for Wheat and Maize Improvement di Meksiko dan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) di Filipina yang dikendalikan Consultative Group on International Agricultural Research yang didirikan Bank Dunia tahun 1970.

Sejak itu, kebergantungan negara berkembang pada bahan kimia dan benih produk negara maju tak terhindarkan lagi (Shiva, V. 1994). Demi kepentingan bisnis segelintir korporasi di bidang bioteknologi, benih hasil rekayasa genetik (GMO) juga dipaksakan ke petani negara-negara berkembang.

Politik

Kelaparan dan kurang gizi lebih sebagai kepentingan politik ketimbang masalah produksi di tingkat on farm. Kedua tragedi itu bukan semata-mata karena defisit pangan, melainkan kesalahan kebijakan pangan. Tragedi kelaparan bukan takdir yang tak dapat dielakkan.

Buku The Poverty and Famines karya Amartya Sen (1981) yang dianggap sebagai pemberi arah dalam memelopori perubahan perspektif ketahanan pangan berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa "ketidakketahanan" pangan dan kelaparan adalah soal produksi dan ketersediaan semata. Lewat penelitian yang dilakukan, Sen mampu menunjukkan bahwa kelaparan adalah ketiadaan akses atas pangan (entitlements failures), bahkan ketika produksi berlimpah. Ibarat "tikus mati di lumbung padi".

Kasus kelaparan yang terulang dan kerap berujung kematian seseorang adalah bukti empiris bahwa pangan nasional masih rapuh. Produksi beras nasional yang meningkat setiap tahun tidak menjamin kemandirian pangan di tingkat keluarga. Masih rendahnya daya beli sebagian besar warga diduga menjadi salah satu penyebabnya. Kenyataan ini amat kontradiktif dengan laju korupsi.

Berpijak pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap orang, tragedi kelaparan adalah bentuk pelanggaran HAM. Sebagai kebutuhan dasar, pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak hidup.

Kegagalan pendekatan ketahanan pangan mengatasi persoalan kelaparan di Tanah Air mendorong sejumlah organisasi petani dan masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional, menawarkan konsep kedaulatan pangan. Sebuah rumusan kebijakan pangan yang mendorong percepatan perwujudan diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal untuk mereduksi kerugian akibat kebijakan pangan neoliberal negara-negara maju.

Dari segi peluang pengembangan diversifikasi, potensi pangan lokal prospektif. Sentuhan tangan dan pikiran para ahli teknologi pangan dapat memperbaiki citra produk pangan lokal guna menarik selera pasar dan konsumen. Masyarakat tidak bisa lagi diajak mengonsumsi pangan lokal sagu, jagung, pisang, ubi jalar, dan singkong dalam bentuk tradisional. Perlu dikembangkan menjadi bentuk produk pangan baru yang bisa dinikmati dengan gaya hidup gaul dan kosmopolitan.

Upaya pengembangan diversifikasi pangan perlu didukung dengan penciptaan iklim yang kondusif lewat political will pemerintah untuk tumbuhnya usaha kecil bidang pangan yang berbasis pada sumber daya lokal. Ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi perdesaan, baik dari sisi on farm (produksi aneka tanaman pangan lokal) maupun off farm (penanganan pascapanen dan pengolahan pangan berbasis sumber daya lokal).

Pengembangan usaha kecil bidang pangan diharapkan dapat meningkatkan peran masyarakat dalam percepatan diversifikasi konsumsi pangan. Upaya ini akan mendukung gerakan makan beragam, bergizi, berimbang, dan aman bagi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam menciptakan menu dan bisnis makanan melalui pengembangan teknologi kuliner berbasis kearifan lokal akan meningkat yang pada gilirannya mendongkrak kesejahteran petani dan pelaku usaha kecil bidang pangan.

Krisis pangan lanjutan patut diwaspadai dengan menekan kebergantungan pada pangan impor. Pemerintah harus mulai mempercepat diversifikasi yang disesuaikan dengan potensi pangan berbasis sumber daya lokal guna penguatan kedaulatan pangan.

Oleh Prof Posman Sibuea
Penulis adalah guru besar tetap di jurusan teknologi hasil pertanian Unika Santo Thomas Medan,
Direktur Center for National Food Security Research
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/120930

Tidak ada komentar:

Posting Komentar