11 Februari 2013
Jakarta, Kompas - Rencana swasembada daging sapi dinilai
amburadul. Penurunan impor yang drastis tidak diikuti dengan pasokan
dari dalam negeri secara memadai. Hasil sensus sapi yang jadi dasar
swasembada tidak meyakinkan semua pihak. Struktur populasi sapi dalam
negeri tidak dipahami.
Situasi ini diduga digunakan sejumlah pihak untuk mengendalikan harga dengan berebut kuota.
Laporan
dari beberapa daerah, Minggu (10/2), menunjukkan, harga daging sapi
masih tinggi. Ibu rumah tangga, pedagang daging, dan pemilik rumah makan
mengeluhkan tingginya harga daging tersebut.
Ny Lis Hadi, warga
Kelurahan Kebonsari, Jember, Jawa Timur, mengaku mengurangi konsumsi
daging sapi. ”Harga daging sangat mahal,” katanya. Harga daging
dilaporkan masih Rp 85.000-Rp 90.000 per kilogram.
Sunarsih,
pemilik warung yang ditemui di Blok S, Pasar Senen, Jakarta Pusat,
mengungkapkan, ia sudah mengurangi porsi penjualan menu makanan rawon
dan soto daging. Hal itu disebabkan Sunarsih kekurangan modal untuk
membeli bahan baku daging sapi.
”Dulu, sewaktu harga daging sapi
masih di bawah Rp 70.000, saya bisa membeli hingga 3 kilogram. Tapi,
sejak harganya meningkat hingga Rp 85.000 per kilogram, saya hanya mampu
membeli 1 kilogram,” ujar Sunarsih.
Cecep Saiful Hamdi (42),
pedagang daging di Pasar Senen, mengatakan, sebelum harga melonjak,
keuntungan bersihnya lebih dari Rp 325.000 per hari, kini merosot sampai
sekitar Rp 200.000.
Mantan Dirjen Peternakan Sofyan Sudrajat
mengatakan, ada yang aneh terkait swasembada daging sapi. Ia sepakat
apabila Indonesia mencapai swasembada sapi, tetapi penurunan impor sapi
bakalan dan daging tidak bisa diturunkan dengan sangat drastis.
”Impor
sapi bakalan tahun 2010 masih 700.000-800.000 ekor dan impor daging
90.000 ton. Tiba-tiba tahun ini impor sapi bakalan sekitar 267.000 ekor
dan 32.000 ton daging. Penurunan ini terlalu drastis,” katanya.
Sofyan melihat penurunan impor sebaiknya dilakukan bertahap dan berhati-hati. Kalau drastis, pasokan ke pasar akan terganggu.
Komisioner
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga telah membuat kesimpulan
yang tidak jauh berbeda dengan pernyataan Sofyan.
Menurut
Komisioner KPPU Munrokhim Misanam, gejolak harga daging yang terjadi
sekarang disebabkan oleh kesalahan kebijakan yang dimulai dari tahap
perencanaan.
”Setidaknya itu kecenderungan pandangan yang ada di
internal KPPU setelah mengadakan pertemuan dengan para pemangku
kepentingan dalam industri daging sapi nasional,” ujarnya. Hal itu
merupakan kesimpulan yang disepakati bersama di KPPU.
Dengan
kesalahan perencanaan sejak awal, tanpa ada kartel daging sekalipun
harga daging sapi pasti naik. Saat ini harga daging ada yang menembus Rp
100.000 per kilogram.
KPPU menyimpulkan bahwa jumlah sapi
nasional untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri cukup, tetapi
gejolak harga daging sapi ini tidak berada dalam wilayah yang
diantisipasi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian.
Begitu sensus sapi nasional mencapai 14,82
juta ekor dan Kementerian Pertanian memutuskan mengurangi impor daging
sapi dan sapi bakalan, sapi lokal mulai diserbu. Tidak hanya diburu
pedagang lokal, tetapi juga pedagang Jakarta yang langsung mencari ke
daerah-daerah.
”Kami setuju swasembada sapi, tapi caranya tidak
seperti ini. Kalaupun populasi sapi cukup, harus dihitung berapa banyak
yang bisa mengalir ke konsumen,” ujarnya. Dampaknya, banyak sapi betina
produktif yang akhirnya dipotong.
Terkait dengan sensus sapi,
Sofyan mengaku ragu-ragu terhadap data Sensus Sapi 2011. ”Sebaiknya
dihitung ulang agar semua pihak yakin terhadap hasil sensus sapi itu,”
katanya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya Ahmad Erani Yustika juga meragukan hasil sensus sapi tersebut.
”Dalam beberapa aspek memang betul sensus perlu dilakukan, tetapi
datanya harus betul-betul valid. Harus ada kejujuran perhitungan jumlah
sesungguhnya. Validasi data juga penting. Kita memang masih primitif
dalam sensus,” katanya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha
Daging dan Feedlot Indonesia Joni Liano mengakui kontribusi pemenuhan
kebutuhan daging sapi yang bersumber dari sapi lokal terus meningkat
setelah pemerintah melakukan sensus sapi.
Akan tetapi, kata Joni,
program swasembada daging sapi yang dibangun pemerintah pusat dan
berbasis pada sensus sapi itu tidak mampu mengoordinasi daerah, terutama
antara daerah sentra produksi dan sentra konsumsi. Akibatnya, tidak ada
keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Belum lagi kenaikan
permintaan daging sapi yang mencapai 11,57 persen per tahun yang tidak
dibarengi peningkatan penyediaan.
Menurut Joni, untuk memenuhi
permintaan daging sapi nasional, dari 14,82 juta ekor populasi sapi
potong, setiap tahun harus tersedia 3,2 juta sapi yang siap dipotong
pada tahun tersebut.
”Persoalannya, dalam memproyeksikan kemampuan
produksi daging sapi lokal, pemerintah tidak melihat struktur populasi
sapi yang ada,” kata Joni. Dari 14,82 juta sapi itu tidak semua sapi
jantan dewasa.
Dari 14,82 juta sapi, sekitar 31,85 persen sapi
jantan dan 68,15 persen sapi betina. Dari 31,85 persen sapi jantan,
sekitar 30,68 persen sapi jantan anak, 38,52 sapi jantan muda, dan 30,80
sapi jantan dewasa. Dengan begitu, populasi sapi jantan dewasa hanya
1,45 juta ekor. ”Ke mana harus mencari 1,75 juta sapi jantan untuk
menutupi kekurangannya?” kata Joni.
Kalau memotong sapi betina,
kata Joni lagi, hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Harga sapi bakalan tinggi
Berbeda
dengan pendapat dari beberapa kalangan itu, Direktur Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro
mengatakan, tingginya harga daging disebabkan harga sapi bakalan impor
tinggi. Saat ini harganya mencapai 3,05 dollar AS per kilogram bobot
hidup.
Dengan harga sapi bakalan impor itu, kata Syukur, minimal
harga ketika sampai di penggemukan sapi sudah Rp 32.000 per kilogram dan
ketika dijual ke rumah potong hewan Rp 34.000 hingga Rp 35.000 per
kilogram. ”Karena itulah harga daging di tingkat lapangan tidak boleh
kurang dari Rp 85.000 sampai Rp 90.000 per kilogram,” ujar Syukur.
Melihat
harga daging sapi eks sapi bakalan impor tinggi, peternak di daerah
ikut menetapkan harga jual sapinya menyamai harga sapi bakalan impor.
Syukur menambahkan, meskipun harga daging sapi cukup tinggi, pemerintah tetap berkomitmen untuk menjamin ketersediaan pasokan.
Syukur
mengatakan, berbagai upaya perbaikan sistem pasokan daging sapi ke
sentra konsumen dari sentra produksi dilakukan untuk memenuhi
keseimbangan permintaan dan penawaran daging sapi. Mengacu data Sensus
Sapi 2014, produksi daging sapi lokal cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Ahmad
Erani Yustika mengatakan, dengan kondisi seperti itu, peluang untuk
melakukan permainan kuota impor dan pengendalian harga bisa dilakukan
oleh pemegang stok. ”Dari kajian saya, khusus untuk produk pertanian,
maka harus ada intervensi pemerintah agar harga tidak dipermainkan
pemegang stok,” katanya.(MAS/K05/K06/K07/MAR/DEN/SIR/ETA)
http://cetak.kompas.com/read/2013/02/11/02515533/swasembada.sapi.amburadul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar