21 Februari 2013
DEDDY CORBUZIER, adalah pesulap paling populer. Tetapi
masih kalah dengan ‘sulapan pasar pangan’ (SPP) yang sudah berjalan
menahun. Bisa dicontohkan untuk beras misalnya, sulapan pasar bisa
dibangun untuk pembenaran impor maupun ekspor. Waktu itu, kalau Anda mau
impor, tersedia cukup data sebagai legitimasi. Pada masa yang
bersamaan, ekspor pun memiliki pembenaran data pasar. Tentu data yang
berbeda.
Khusus beras, makin terang sulapannya, meski tidak
jelas siapanya. Menteri Pertanian menyatakan bahwa 2012 surplus sekitar 2
juta ton. Setidaknya hal tersebut tercantum dalam Road Map Percepatan
Swasembada Beras. Akan tetapi Bulog ngotot harus impor sekitar 1,3 juta
ton, 2012, setelah impor hampir 2 juta ton, 2011. Alasannya: perlu
cadangan! Sungguh merupakan panggung sulapan Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB)-II.
Bulog menyatakan, kalau benar surplus 2 juta ton
setahun pasti hari ini kita melimpah dengan surplus 5 tahun terakhir, 10
juta ton. 'Lha kok' harga naik? Begitu sinisnya Bulog terhadap surplus
produksi Mentan. Bulog pun punya kompanyon. Kementerian Perdagangan RI,
dalam suasana polemik menandatangani MoU dengan Vietnam, Oktober 2012,
untuk dijatah bisa impor beras Vietnam 1 juta ton per tahun, 2013-2017.
Semua SPP masih kalah dibandingkan SPP mutakhir, ketika terkuak betapa
jelasnya prosesi gratifikasi importasi sapi awal 2013. Pejabatpun
berlagak terkejut, sepertinya barang baru. Padahal, gratifikasi adalah
hobi lama,’kongkalikong’ as usual. SPP sudah terlalu lama populer. Aneh
sekali kalau baru sekarang banyak pejabat, menteri sampai menko, bergaya
sepertinya tidak pernah tahu. Teriakannya pun berlagak bersih 'bin
pilon': “saya sungguh tidak tahu mekanisme impor; “ada to kartel
pangan?”; “ternyata benar ya ada mafia pangan” dan “kalau begitu,
investigasi segera kartel pangan!”. Dan masih banyak lagi.
Pilonisasi diri tentu menyakiti hati rakyat. Bagaimana bisa para pejabat
ekonomis bangsa ini tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan? SPP
dipamerkan jelas sekali dalam pasar pangan RI. Itupun dilakukan dengan
modus yang nyaris tidak pernah berbeda. Kebangetan sekali kalau tidak
mengetahui. Berlagak tidak tahu barangkali ya? Nampaknya, sistem
informasi masih kurang canggih.
SPP terjadi super jelas,
'ngegla' sekali, seperi balada mutakhir kedelai dan daging sapi. SPP
dibangun sangat komprehensif dan multilevel, mulai akar rumput sampai
politisi elite dan KIB-II. Bumbunya, bahkan sampai menyentuh urusan
suci: spiritualitas. Pada tingkat akar rumput, keresahan publik konsumen
dalam urusan tahu-tempe dan daging, digoreng terus untuk menuntut harga
murah. Kalau konsumen tahu-tempe Ramadan lalu tidak bisa beli untuk
buka puasa karena mahal, konsumen bakso dijejali dengan mahalnya daging
dan isu bakso campur babi akhir 2012. Dua isu ini dibesar-besarkan untuk
menekan KIB-II.
Pada tingkat pengusaha kecil, pengrajin
tahu-tempe dipermainkan berlebihan dengan kelangkaan kedelai. Keresahan
juga dibangun bagi komunitas pekerja rumah potong hewan karena tidak ada
pekerjaan. Modusnya sama. Kedelai disimpan di gudang, dan sapi-sapi
tetap dikandangkan. Adakah bedanya? Sama sekali tidak. Penimbunan itu
biangnya. Politisnya, mereka digerakkan untuk demo besar-besaran agar
KIB-II segera turun tangan. Apapun pangannya, SPP-nya sama.
Karena multidimensi krisis, bergabunglah aktivis bersyahwat, politisi
bejat, akademisi tukang, spiritualis instan, birokrat karbitan, dan
komprador dermawan, bersepakat kerjasama untuk melakukan pembijakan
seolah bagi konsumen dan rakyat kecil. Birokrat idealis tak berdaya
melawan tekanan SPP dan politik dadakan. Sistematis sulapannya, dan
teramat transparan distribusi keuntungannya. KIB-II 'sami’na wa
atho’na', meloloskan: pembebasan cukai impor kedele dan peningkatan
kuota impor daging sapi. Itulah sebetulnya skenario SPP komprador.
Memang teramat transparan permainannya. Datanya sangat kelihatan.
Inilah yang menjadi kewenangan KPK ke depan: berani tidak babat alas
dengan misi kebangsaan?
Prof Dr M Maksum Machfoedz.
(Penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Pengamat Sosial PSPK-UGM dan Ketua PBNU)
Komentar pembaca :
paimun Kamis, 21 Februari 2013 | 18:24 WIB
Prof.
semoga KPK tidak kehabisan energi untuk memerangi para penimbun pangan ,
termasuk daging sapi .Para penimbun pangan leluasa membangun jaringan
bisnis dengan melakukan gratifikasi.Tukang pemberi gratifikasi akan
melakukan permainan harga dan mengendalikan harga pangan sesuka hatinya
dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat banyak khususnya rakyat
miskin yang menjerit kelaparan.
Ketika petani sedang panen raya
harga beras jatuh. Saat harga beras murah pedagang bermodal besar
memborong beras untuk ditimbun dalam gudang penyimpanan. Pada waktu
musim paceklik tiba para penimbun pangan menjual berasnya dengan harga
yang sangat fantastis tinggi.Kapankah semua anak bangsa ini mau jujur?
Pada hal kejujuran adalah kunci sebuah kemajuan dan perekat yang kuat
bagi persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Keputusan untuk
impor pangan dan daging sapi yang didasarkan pada data hasil rekayasa
akan sangat merugikan rakyat. Jangan salahkan rakyat ketika rakyat tidak
mau peduli lagi dengan beban berat yang ditanggung pemerintah kalau
kebijakan yang ada hanya menguntungkan kelompok tertentu .
Tindakan
pilonisasi dengan maksud membersihkan diri akan terang dibaca rakyat.
Ibarat ia mandi dengan air kencing, yang bukannya badan menjadi bersih
akan tetapi badannya akan semakin kotor. pemerintah memiliki banyak
kementerian/Dinas yang bertugas melayani rakyat. Jika sampai tidak tahu
adanya kartel pangan lantas apa kerja mereka? Jangan sampai benar
kecurigaan orang selama ini akan kerja para birokrat kita hanya berkutat
untuk urusan proyek yang pada akhirnya hanya menghambur-hamburkan uang
dan tidak ada maknanya bagi rakyat. Sudah ganti rezim dan pemerintahan
rakyat tetap saja banyak yang di bawah garis kemiskinan.Pemerintah
jangan menjadi pesulap dan berucap bim sala bim abrakadabra. Petani dan
peternak perlu perlindungan dari pemerintah agar produk hasil pertanian
dan peternakan mendapat harga yang wajar ketika ia menjual hasil
pertanian dan ternaknya. Perlindungan pemerintah dapat berupa subsidi
pupuk , obat-obatan, dan kesanggupan pemerintah membeli hasil pertanian
dan peternakan. Bisa saja pemerintah memberikan kredit murah ketika
harga pangan sedang anjlok. Cara demikian menjadikan petani/peternak
menunda menjual hasil produksi peternakan /pertaniannya sampai harga
pangan menjadi wajar. Kadang posisi petani terjepit untuk membiayai
sekolah anak-anaknya sehingga pada bula-bulan tertentu terpaksa menjual
hasil pertanian/ternaknya untuk biaya pendidikan anak-anaknya.
Seharusnya semua kebijakan pemerintah pro rakyat banyak, bukan hanya
berpihak pada kelompok orang apalagi kroninya. Sekalipun mungkin ia
menjadi pejabat akibat diusung oleh partai, namun setelah menjabat di
jajaran pemerintah sudah menjadi seorang negarawan dan milik seluruh
rakyat. Menimbun barang dengan maksud mendapatkan keuntungan yang besar
tetapi menyengsarakan rakyat dilarang keras oleh agama. Mari kita saling
peduli dan empati antar sesama anak bangsa. Kita pererat lagi tali
silaturahim agar sebagai bangsa tidak mudah dipecah belah dan diadu
domba dengan isu kemiskinan dan ketidakadilan khususnya urusan pangan.
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1773/sulapan-pasar-pangan.kr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar