Jumat, 22 Februari 2013

Sulapan Pasar Pangan

21 Februari 2013

DEDDY CORBUZIER, adalah pesulap paling populer. Tetapi masih kalah dengan ‘sulapan pasar pangan’ (SPP) yang sudah berjalan menahun. Bisa dicontohkan untuk beras misalnya, sulapan pasar bisa dibangun untuk pembenaran impor maupun ekspor. Waktu itu, kalau Anda mau impor, tersedia cukup data sebagai legitimasi. Pada masa yang bersamaan, ekspor pun memiliki pembenaran data pasar. Tentu data yang berbeda.

Khusus beras, makin terang sulapannya, meski tidak jelas siapanya. Menteri Pertanian menyatakan bahwa 2012 surplus sekitar 2 juta ton. Setidaknya hal tersebut tercantum dalam Road Map Percepatan Swasembada Beras. Akan tetapi Bulog ngotot harus impor sekitar 1,3 juta ton, 2012, setelah impor hampir 2 juta ton, 2011. Alasannya: perlu cadangan! Sungguh merupakan panggung sulapan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II.

Bulog menyatakan, kalau benar surplus 2 juta ton setahun pasti hari ini kita melimpah dengan surplus 5 tahun terakhir, 10 juta ton. 'Lha kok' harga naik? Begitu sinisnya Bulog terhadap surplus produksi Mentan. Bulog pun punya kompanyon. Kementerian Perdagangan RI, dalam suasana polemik menandatangani MoU dengan Vietnam, Oktober 2012, untuk dijatah bisa impor beras Vietnam 1 juta ton per tahun, 2013-2017.

Semua SPP masih kalah dibandingkan SPP mutakhir, ketika terkuak betapa jelasnya prosesi gratifikasi importasi sapi awal 2013. Pejabatpun berlagak terkejut, sepertinya barang baru. Padahal, gratifikasi adalah hobi lama,’kongkalikong’ as usual. SPP sudah terlalu lama populer. Aneh sekali kalau baru sekarang banyak pejabat, menteri sampai menko, bergaya sepertinya tidak pernah tahu. Teriakannya pun berlagak bersih 'bin pilon': “saya sungguh tidak tahu mekanisme impor; “ada to kartel pangan?”; “ternyata benar ya ada mafia pangan” dan “kalau begitu, investigasi segera kartel pangan!”. Dan masih banyak lagi.

Pilonisasi diri tentu menyakiti hati rakyat. Bagaimana bisa para pejabat ekonomis bangsa ini tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan? SPP dipamerkan jelas sekali dalam pasar pangan RI. Itupun dilakukan dengan modus yang nyaris tidak pernah berbeda. Kebangetan sekali kalau tidak mengetahui. Berlagak tidak tahu barangkali ya? Nampaknya, sistem informasi masih kurang canggih.

SPP terjadi super jelas, 'ngegla' sekali, seperi balada mutakhir kedelai dan daging sapi. SPP dibangun sangat komprehensif dan multilevel, mulai akar rumput sampai politisi elite dan KIB-II. Bumbunya, bahkan sampai menyentuh urusan suci: spiritualitas. Pada tingkat akar rumput, keresahan publik konsumen dalam urusan tahu-tempe dan daging, digoreng terus untuk menuntut harga murah. Kalau konsumen tahu-tempe Ramadan lalu tidak bisa beli untuk buka puasa karena mahal, konsumen bakso dijejali dengan mahalnya daging dan isu bakso campur babi akhir 2012. Dua isu ini dibesar-besarkan untuk menekan KIB-II.

Pada tingkat pengusaha kecil, pengrajin tahu-tempe dipermainkan berlebihan dengan kelangkaan kedelai. Keresahan juga dibangun bagi komunitas pekerja rumah potong hewan karena tidak ada pekerjaan. Modusnya sama. Kedelai disimpan di gudang, dan sapi-sapi tetap dikandangkan. Adakah bedanya? Sama sekali tidak. Penimbunan itu biangnya. Politisnya, mereka digerakkan untuk demo besar-besaran agar KIB-II segera turun tangan. Apapun pangannya, SPP-nya sama.

Karena multidimensi krisis, bergabunglah aktivis bersyahwat, politisi bejat, akademisi tukang, spiritualis instan, birokrat karbitan, dan komprador dermawan, bersepakat kerjasama untuk melakukan pembijakan seolah bagi konsumen dan rakyat kecil. Birokrat idealis tak berdaya melawan tekanan SPP dan politik dadakan. Sistematis sulapannya, dan teramat transparan distribusi keuntungannya. KIB-II 'sami’na wa atho’na', meloloskan: pembebasan cukai impor kedele dan peningkatan kuota impor daging sapi. Itulah sebetulnya skenario SPP komprador.

Memang teramat transparan permainannya. Datanya sangat kelihatan. Inilah yang menjadi kewenangan KPK ke depan: berani tidak babat alas dengan misi kebangsaan?


Prof Dr M Maksum Machfoedz.
(Penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Pengamat Sosial PSPK-UGM dan Ketua PBNU)

Komentar pembaca :

 paimun Kamis, 21 Februari 2013 | 18:24 WIB
Prof. semoga KPK tidak kehabisan energi untuk memerangi para penimbun pangan , termasuk daging sapi .Para penimbun pangan leluasa membangun jaringan bisnis dengan melakukan gratifikasi.Tukang pemberi gratifikasi akan melakukan permainan harga dan mengendalikan harga pangan sesuka hatinya dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat banyak khususnya rakyat miskin yang menjerit kelaparan.
Ketika petani sedang panen raya harga beras jatuh. Saat harga beras murah pedagang bermodal besar memborong beras untuk ditimbun dalam gudang penyimpanan. Pada waktu musim paceklik tiba para penimbun pangan menjual berasnya dengan harga yang sangat fantastis tinggi.Kapankah semua anak bangsa ini mau jujur? Pada hal kejujuran adalah kunci sebuah kemajuan dan perekat yang kuat bagi persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Keputusan untuk impor pangan dan daging sapi yang didasarkan pada data hasil rekayasa akan sangat merugikan rakyat. Jangan salahkan rakyat ketika rakyat tidak mau peduli lagi dengan beban berat yang ditanggung pemerintah kalau kebijakan yang ada hanya menguntungkan kelompok tertentu .
Tindakan pilonisasi dengan maksud membersihkan diri akan terang dibaca rakyat. Ibarat ia mandi dengan air kencing, yang bukannya badan menjadi bersih akan tetapi badannya akan semakin kotor. pemerintah memiliki banyak kementerian/Dinas yang bertugas melayani rakyat. Jika sampai tidak tahu adanya kartel pangan lantas apa kerja mereka? Jangan sampai benar kecurigaan orang selama ini akan kerja para birokrat kita hanya berkutat untuk urusan proyek yang pada akhirnya hanya menghambur-hamburkan uang dan tidak ada maknanya bagi rakyat. Sudah ganti rezim dan pemerintahan rakyat tetap saja banyak yang di bawah garis kemiskinan.Pemerintah jangan menjadi pesulap dan berucap bim sala bim abrakadabra. Petani dan peternak perlu perlindungan dari pemerintah agar produk hasil pertanian dan peternakan mendapat harga yang wajar ketika ia menjual hasil pertanian dan ternaknya. Perlindungan pemerintah dapat berupa subsidi pupuk , obat-obatan, dan kesanggupan pemerintah membeli hasil pertanian dan peternakan. Bisa saja pemerintah memberikan kredit murah ketika harga pangan sedang anjlok. Cara demikian menjadikan petani/peternak menunda menjual hasil produksi peternakan /pertaniannya sampai harga pangan menjadi wajar. Kadang posisi petani terjepit untuk membiayai sekolah anak-anaknya sehingga pada bula-bulan tertentu terpaksa menjual hasil pertanian/ternaknya untuk biaya pendidikan anak-anaknya.
Seharusnya semua kebijakan pemerintah pro rakyat banyak, bukan hanya berpihak pada kelompok orang apalagi kroninya. Sekalipun mungkin ia menjadi pejabat akibat diusung oleh partai, namun setelah menjabat di jajaran pemerintah sudah menjadi seorang negarawan dan milik seluruh rakyat. Menimbun barang dengan maksud mendapatkan keuntungan yang besar tetapi menyengsarakan rakyat dilarang keras oleh agama. Mari kita saling peduli dan empati antar sesama anak bangsa. Kita pererat lagi tali silaturahim agar sebagai bangsa tidak mudah dipecah belah dan diadu domba dengan isu kemiskinan dan ketidakadilan khususnya urusan pangan.

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1773/sulapan-pasar-pangan.kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar