1 Februari 2013
JAKARTA - Setelah berhasil mengungkap kasus suap dalam impor daging
sapi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan juga mampu
membongkar potensi korupsi pada impor komoditas pangan lain yang
bernilai lebih besar dan memiliki arti lebih strategis, yakni impor
gandum. Potensi korupsi pada impor gandum maupun impor pangan secara
keseluruhan akan mengancam upaya kemandirian pangan, dan pada akhirnya
mengancam kedaulatan negara.
Padahal, setiap tahun, devisa telah
dihambur-hamburkan untuk impor namun negara tidak memperoleh pendapatan
dari bea masuk. Selain itu, rakyat dibuat bergantung pada produk impor,
tetapi peluang berusaha petani malah ditutup.
Aktivis Koalisi
Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Yusuf Maguantara, mengatakan
perlakuan khusus terhadap importir gandum yang monopolistik, berupa
pembebasan bea masuk impor gandum, harus dihapuskan. Selain menimbulkan
ketidakadilan, kebijakan itu berpotensi merugikan negara karena
hilangnya kesempatan memperoleh pendapatan pajak.
"Impor gandum
sangat besar. Dalam 10 tahun terakhir, volumenya meningkat dari 4 juta
menjadi 10 juta ton. Namun, pemerintah membebaskan bea masuk impor
gandum untuk satu perusahaan saja. Padahal, APBN tengah kesulitan
menambah pendapatan," kata Yusuf di Jakarta, Kamis (31/1).
Ia
menambahkan, akhir tahun lalu, pemerintah mengenakan bea masuk tindakan
pengamanan sementara (BMTPS) 5-20 persen untuk impor terigu asal Turki.
"Jika pemerintah konsekuen, semestinya impor gandum juga kena bea masuk
setidaknya 15 persen. Apabila nilai impor gandum sebesar 3 miliar dollar
AS maka pendapatan yang hilang dari 15 persen itu 450 juta dollar AS
atau sekitar 4,27 triliun rupiah per tahun. Inilah potensi pendapatan
negara yang hilang. Kenapa hingga kini KPK tidak pernah memeriksa
kemungkinan korupsi di sini? Bahkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) malah membela importir monopolistis," tambah Yusuf.
Oleh
karena itu, ia menyayangkan bahwa sumber korupsi terbesar impor pangan
pada komoditas gandum dibiarkan saja. "Malah, pemerintah membela
mati-matian pengenaan bea masuk nol persen untuk importir monopolistis
yang puluhan tahun menguasai pasar impor gandum nasional."
Menurut
Yusuf, perlakuan khusus terhadap importir besar yang memonopoli pasar
gandum impor itu jelas-jelas merugikan rakyat karena mereka tidak bisa
menikmati gandum murah karena monopoli bisa mengontrol harga jual.
"Kalau
hasil monopoli membuat harga gandum domestik lebih mahal, lantas di
mana manfaatnya giling gandum di situ?" Yusuf mengatakan pasar impor
gandum nasional yang diskriminatif, monopolistik, dan tidak kondusif
bagi petani dan pertanian lokal tidak mungkin dibiarkan tanpa ada
peluang korupsi antaroknum yang terlibat. Hal senada pernah disampaikan
Rektor UGM, Pratikno.
Menurut dia, sangat tidak masuk akal untuk
masyarakat Indonesia yang memiliki kekayaan melimpah, namun mayoritas
petani masih mengalami masalah pangan. "Ini menjadi ironis. Di tengah
negara lain gencar menyediakan stok pangan, Indonesia masih saja
berkutat dengan impor pangan," kata dia.
Pratikno menduga
korupsi dalam sektor pangan justru terjadi di tingkat kebijakan. Dengan
demikian, kondisi menjadi lebih parah sebab korupsi tersebut telah
terjadi sebelum mengorupsi anggaran dan lain-lain.
Rusak Tatanan
Pengamat
politik dari Unair Surabaya, Airlangga Pribadi, mengatakan perlu
kemauan politik pemerintah untuk mendorong penegak hukum seperti KPK dan
kejaksaan menyelidiki dugaan KKN pada praktik monopoli impor gandum
yang bebas bea masuk. "Kerugian yang begitu besar akibat pembebasan bea
impor gandum ini bisa merusak tata perekonomian kita," katanya.
Pengamat
hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, Sarwirini, berpendapat
pembebasan bea masuk impor bagi importir monopolistik harus ditinjau
ulang. "Yang terjadi sekarang adalah diskriminasi. Gandum bukan makanan
pokok bangsa kita," jelas dia. Anggota DPR, Honing Sanny, pun mengatakan
KPK harus mengungkap dugaan korupsi impor gandum itu. "KPK bisa masuk.
Hampir semua bahan pokok kita ini mengandalkan impor, baik karena
kebutuhan maupun by design," ungkap Honing.
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/111600
Tidak ada komentar:
Posting Komentar