Sabtu, 09 Februari 2013

Kebergantungan pada Impor Picu Kartel

9 Februari 2013

Kebijakan Pangan | Larangan Impor Tak Cukup Mendorong Peningkatan Produksi Dalam Negeri

JAKARTA - Kebergantungan Indonesia atas impor sejumlah komoditas pangan akan terus memicu terbentuknya kartel perdagangan pangan. Pasalnya, hanya pengusaha tertentu yang memiliki modal dan penguasaan jaringan yang akan menguasai jatah impor itu.

"Selama kita masih bergantung ke impor pangan, apalagi impor ditetapkan kuotanya, maka akan membentuk kartel-kartel dagang, terutama pengusaha yang memiliki modal besar, menguasai distribusi dari hulu sampai ke hilir," kata pemilik Hadji Kalla Grup, Jusuf Kalla, seusai acara Pesta Wirausaha 2013 di Jakarta, Jumat (8/2)

Ia menilai pemerintah terlalu cepat memangkas kuota impor daging. Akibatnya, importir berusaha melakukan segala cara untuk mendapatkan jatah yang lebih tinggi karena memang konsumen di dalam negeri membutuhkan daging itu.

Seharusnya, kata Jusuf Kalla, pemerintah meningkatkan kapasitas produksi terlebih dahulu sebelum memangkas kuota secara drastis. Yang terjadi saat ini, kata dia, ketidaksiapan dari sisi suplai daging di dalam negeri, akibatnya harga menjadi naik.

Menurut Jusuf Kalla, dengan model transportasi dan distribusi yang terbuka, tidak ada alasan sentra produksi sapi tidak mengirim pasokan ke sentra pemasaran.

"Distribusi dan pemasaran itu eranya sudah terbuka, jadi intinya kalau produktivitas pangan di dalam negeri bisa ditingkatkan maka dengan sendirinya kartel akan hilang," ungkapnya.

Mantan Wakil Presiden RI itu menyebutkan kalaupun masih ada kartel di saat produktivitas pangan dalam negeri sudah tinggi maka itu kartel yang sifatnya tidak resmi yaitu mengatur kesepakatan harga dan jumlah pasokan di antara pengusaha. "Jadi, selama suplai pasokan pangan masih kurang maka akan terus ada kartel kartel dagang," katanya.

Direktur Indef, Enny Sri Hartati, mengatakan munculnya kartel di pasar karena adanya penguasaan di pasar dan masyarakat tidak bisa mengakses pangan tersebut.

"Pasar dikuasai karena tidak ada persaingan yang terbuka. Artinya pasar tidak sehat, jadi harga di pasar itu mencerminkan harga yang tidak sehat seperti komoditas daging saat ini yang harganya fluktuatif," paparnya.

Kondisi serupa, kata Enny, juga terjadi pada komoditas kedelai. Walaupun masyarakat bisa mengakses kedelai dengan harga murah dari impor akan tetapi dari sisi ketersediaan dan pemasoknya dilakukan oleh pengusaha yang membentuk kartel.

"Jadi memang dalam komoditas pangan dua aspek yaitu pemenuhan atau ketersediaan dan ketahanan pangan yang belum terjadi. Akibatnya harga pangan masih dikendalikan oleh pelaku kartel yang memiliki jaringan kuat dari hulu sampai hilir," paparnya.

Sebelumnya, pemerintah diminta sejumlah kalangan mendesak agar pemerintah segera menindak tegas para pelaku praktik kartel sejumlah komoditas pangan. Para pelaku kartel itu diduga telah memainkan atau menaikkan harga pangan hingga berkali-kali lipat dan merugikan konsumen dan petani.

Menanggapi hal itu, pemerintah akan menindak tegas pelaku praktik kartel yang mempermainkan harga komoditas pangan termasuk daging sebab praktik kartel terbukti menyengsarakan rakyat.

Belum Cukup
Secara terpisah, pakar pertanian, HS Dillon, mengatakan kebijakan larangan impor sejumlah produk pangan, seperti hortikultura, tidak cukup untuk mendorong produksi dalam negeri. Harus ada langkah ke depan yakni kebijakan yang utuh mengenai pengembangan dan pertanahan pertanian yang pro-petani.

Dillon menilai kebijakan impor yang diberlakukan sebagai ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani. Padahal, Indonesia bisa menghasilkan semua produk buah dan sayur di dalam negeri. "Kita punya daerah yang berpotensi untuk bisa menghasilkan produk buah dan sayur terus menerus sepanjang tahun," kata dia.

Pemerintah, menurut dia, perlu memberikan insentif yang sesuai dengan kebutuhan petani. Dillon juga mengatakan jika pemerintah bisa memberikan struktur insentif yang baik, petani tentu bisa mengasilkan apa pun dari lahan yang mereka garap.

Insentif yang memadai berupa pemberian bibit yang berkualitas, pengadaan infrastruktur yang baik guna mendukung distribusi, hingga pembebasan pungutan liar dinilai bisa mendukung produktivitas petani lokal. "Buah mungkin memang bukan (kebutuhan) yang utama di Indonesia, tetapi jika bisa menghasilkan sendiri untuk apa ada impor," katanya. aan/E-3

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/112197

Tidak ada komentar:

Posting Komentar