2 Februari 2013
Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan terduga kasus penyuapan
untuk penambahan kuota impor daging sapi. Kasus ini makin menambah
bukti bahwa berbagai impor pangan tidak lepas dari kepentingan pihak
tertentu. Beberapa tahun lalu, manipulasi impor beras dan gula
memperlihatkan bahwa kejahatan dalam impor itu nyata.
Untuk kasus
impor daging, setidaknya Kompas pada tahun 2005 telah mengingatkan semua
pihak agar tidak bermain-main dengan impor daging dan produk
turunannya. Saat itu masalah terbesar adalah impor akan dilakukan dari
negara yang tidak bebas penyakit.
Polemik negara bebas dan zona
bebas pun menguat meski Indonesia sebenarnya sejak semula memegang teguh
impor daging hanya dilakukan dari negara yang bebas penyakit. Lobi-lobi
dari beberapa kalangan nyaris memperbolehkan impor dari zona bebas.
Maksudnya, semisal di sebuah negara yang tidak bebas ada dua provinsi
yang bebas penyakit maka impor daging bisa dilakukan dari dua provinsi
itu.
Hanya karena tekanan dari beberapa kalangan rencana ini
batal. Apakah hal itu terus menyurutkan mereka yang tetap ingin mendapat
untung besar dengan mengorbankan status bebas penyakit kuku dan mulut
serta sapi gila yang dipegang Indonesia? Rupanya tidak! Mereka terus
bergerak dan melobi hingga menyentuh penyusunan aturan importasi itu.
Ini
baru satu komoditas! Komoditas lain pun kerap dipermainkan. Paling
sering komoditas beras. Dari mulai pemalsuan data muatan kapal hingga
pemalsuan jumlah kapal yang masuk. Pemalsuan data muatan semisal, total
muatan 70.000 ton beras, tetapi yang dilaporkan ke kantor Bea dan Cukai
hanya 700 ton. Akibatnya, negara dirugikan miliaran rupiah dari bea
masuk.
Kasus pemalsuan jumlah kapal juga beberapa kali terjadi.
Dalam laporan yang masuk jumlah kapal beras hanya lima, tetapi
kenyataannya kapal beras yang masuk ke Indonesia ada tujuh kapal. Dua
kapal lainnya biasanya masuk bebas ke pelabuhan-pelabuhan di luar Jawa.
Apakah
pemerintah tetap berdiam diri? Apalagi belakangan impor beras dan gula
juga terus naik. Belum lagi harga kedelai yang melonjak juga mendorong
impor kedelai dalam jumlah besar. Sepertinya pemerintah tetap berdiam
diri atau tidak akan banyak perubahan dalam kebijakan impor pangan.
Impor
pangan masih akan besar dan kesempatan para pemburu rente juga makin
besar. Apalagi dengan alasan untuk menjaga stabilitas politik di tahun
politik menjelang Pemilu 2014, maka impor pangan akan tetap
tinggi—dengan alasan agar tidak terjadi gejolak harga di masyarakat,
maka pangan harus tersedia. Impor menjadi pilihan dibandingkan
memenuhinya dari dalam negeri. Alasannya waktu tidak mencukupi! Aneh
sekali.
Impor pangan di tahun politik sudah lama dikritik.
Setidaknya sejarawan Prof Onghokham pernah menemukan bukti aktivitas
impor, termasuk impor pangan, menjelang Pemilu 1955 atau pemilu pertama
Indonesia sangat besar. Volume impor juga naik pada saat menjelang
pemilu.
Impor pangan di Indonesia menjadi sebuah ironi. Pada saat
pemerintah harus melindungi petani, tetapi kenyataannya impor pangan
malah makin besar. Akan tetapi, kalau sudah bicara kepentingan, maka
segala cara dilakukan. Impor pun merajalela. Kita hanya bisa menunggu
KPK akan menangkapi mereka yang selalu merekayasa impor pangan.
http://cetak.kompas.com/read/2013/02/02/02453847/ironi.impor.pangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar