Kamis, 14 Februari 2013

Impor Pangan dan Rente

14 Februari 2013

Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap tersangka suap impor daging sapi, ternyata aroma korupsi pangan juga meruap dari tempat lain.
Kejaksaan Agung juga telah menetapkan tiga tersangka korupsi pengadaan benih di Kementerian Pertanian. Salah satu tersangka adalah Direktur Utama PT Sang Hyang Sri, badan usaha milik negara dalam pengadaan benih. KPK dan Kejaksaan Agung tidak menutup kemungkinan adanya tersangka baru dan boleh jadi melibatkan instansi lain.
Terungkapnya dugaan korupsi dalam pengadaan pangan menimbulkan pertanyaan seberapa dalam kerugian yang ditimbulkannya terhadap ketahanan pangan kita, di luar nilai rupiah yang dapat dihitung langsung.
Kerugian terberat adalah hilangnya kepercayaan kepada pemerintah. Dalam hal daging sapi, pemerintah menargetkan swasembada pada tahun 2014 tanpa penjelasan mengapa tahun tersebut dan mengapa pilihannya daging sapi, bukan terpenuhinya sumber protein hewani.
Tahun 2011, sensus Badan Pusat Statistik menyebutkan, terdapat 14,8 juta ekor sapi dan kerbau. Di atas kertas, jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Meski demikian, sejak Lebaran tahun lalu, praktis harga daging tidak kembali seperti sebelumnya. Timbul pertanyaan, apakah jumlah sapi dan kerbau kita memang mencukupi dan apakah harga yang tinggi itu riil atau karena faktor lain.
Sejarah Indonesia memperlihatkan, hubungan yang dekat antara penguasa dan pebisnis berisiko menimbulkan ekonomi rente yang menyebabkan biaya tinggi dan inefisiensi ekonomi. Hal tersebut menguntungkan sekelompok orang, tetapi sebagian besar petani, peternak, dan nelayan tidak mendapat rangsangan berproduksi.
Pemerintah tidak tampak memiliki kebijakan yang jelas dan tegas dalam memenuhi kebutuhan pangan. Sementara Undang-Undang Pangan (UU Nomor 18 Tahun 2012, menggantikan UU Nomor 7 Tahun 1996) mengamanatkan negara memenuhi kebutuhan pangannya secara berdaulat dan mandiri, impor bahan pangan terus meningkat.
Impor produk hortikultura meningkat sekitar dua setengah kali antara tahun 2007 dan 2011 menjadi 1,7 miliar dollar AS atau hampir Rp 17 triliun. Impor pangan lain juga tinggi, seperti kedelai, jagung, gula, ikan, dan beras yang angka konsumsinya juga tak jelas. Kebijakan impor berubah dengan mudah tanpa kajian menyeluruh, seperti dalam kebijakan penghapusan bea masuk impor kedelai.
Keterkaitan pengusaha dengan penguasa dapat merugikan ketika tidak melahirkan pengusaha nasional yang tangguh, tetapi pemburu rente. Pembiaran atas perilaku memburu rente tersebut mendorong perilaku konsumtif serta menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan.
Belajar dari pengalaman tersebut, penguasa harus berani membuat aturan yang transparan dan tegas serta melaksanakannya. Kebijakan itu memberi insentif kepada mereka yang bekerja jujur, bukan justru mendorong orang berbuat tidak jujur.

http://cetak.kompas.com/read/2013/02/14/02444219/tajuk.rencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar