7 Februari 2013
Jakarta – Wakil Ketua Umum Kamar Dagan dan Industri (Kadin) Bidang
Pemberdayaan Daerah dan Bulog Natsir Mansur mengatakan bahwa sekitar 6
komoditas pangan Indonesia dikuasai oleh kartel dengan nilai kelola
mencapai Rp11,34 triliun.
“Ada 6 komoditas yaitu daging sapi,
daging ayam, gula, kedelai, jagung dan beras. Semua komoditas tersebut
dikuasai oleh kartel dengan potensi nilai transaksi Rp11,34 triliun,”
ungkap Natsir dalam Diskusi Kartel Pangan Indonesia di Jakarta, Kamis
(7/2).
Menurut Natsir dengan adanya kartel yang terjadi dalam
bahan pangan menjadi penyebab utama bahan makanan pokok menjadi
melonjak. Hal itu lantaran masih adanya aksi komplotan pengusaha yang
mengatur pasokan ke pasar.
“Masih ada komoditas yang dipermainkan.
Sehingga tidak seimbang antara supply dan demand. Parahnya lagi adalah
hampir setiap tahun kita selalu impor sehingga ini menjadi celah para
pengusaha melakukan kartel,” katanya.
Sementara itu, Anggota LP3E
Kadin Ina Primiana menjelaskan bahwa total impor pangan Indonesia saat
ini mencapai Rp90 triliun sehingga para importir mendapatkan keuntungan
dari total impor mencapai 15-30%. Ia juga mengatakan ketidaktegasan
pemerintah dalam mengatur rantai distribusi bahan pangan dari hulu ke
hilir menjadi biang keladi utama. Pasokan tidak pernah bisa terpantau.
Ditambah lagi, kementerian teknis lamban menghitung kebutuhan konsumsi
pangan semisal kebutuhan daging sapi dalam setahun.
Selama
pemerintah tidak mengubah sistem kebijakan pertanian, termasuk tidak
lagi menyerahkan pengaturan kuota pada satu kementerian, lanjut Ina,
maka pengusaha dipercaya akan tetap berkelompok alias membentuk kartel.
Ina juga mengatakan dalam mengatasi permasalahan kartel adalah dengan
mengembalikan peran Bulog untuk mengatur stabilisasi harga komoditas
pangan.
“Selain itu, pemerintah perlu membuat regulasi yang
membatasi jumlah importir produk pangan utama yang hanya terkonsentrasi
pada beberapa pengusaha. Oleh karena itu gunakan mekanisme tender
terbuka , transparan dengan kuota karena ini juga tertera dalam UU14
tahun 2008 tentang keterbukaan informasi,” jelasnya.
Ia juga
mendesak pemerintah segera menindak perusahaan-perusahaan yang diduga
melakukan kartel terhadap sejumlah komoditas pangan. “Sudah tercatat
jelas juga perusahaan-perusahaan yang melakukan kartel. Tetapi belum ada
tindak lanjutnya,” katanya.
Menurut dia, keberadaan kartel pangan
juga dapat tercium dengan mudah dari harga beberapa komoditas pangan
impor yang jauh lebih tinggi daripada harga di negara asalnya. “Tidak
sulit, kita bisa melihat harga di negara lain berapa? Kita cari tahu
kenapa kok di sini lebih mahal,” ujarnya.
Karena itu, dia meminta
semua pihak lebih memperhatikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
dalam rangka memberantas kartel pangan. “KPPU harus lebih didengar.
Tidak dibiarkan seperti yang terjadi akhir-akhir ini,” tutur Ina.
Indikasi Kartel
Di
tempat yang sama, Komisioner KPPU Munrokhim Misanam mengakui hingga
saat ini pihaknya telah mencium gelagat adanya kartel khususnya untuk
komoditas gula. “Kami telah melihat adanya kartel di komoditas gula.
Dari 9 perusahaan yang menguasai impor gula, kami menduga ada sekitar 6
perusahaan saja yang menguasai itu semua,” katanya.
Untuk itu,
kata dia, pihaknya telah menyiapkan beberapa langkah dalam rangka
memberantas praktek-praktek kartel yang tidak sehat bagi dunia usaha.
Pertama, KPPU mendorong dilakukannya tender yang terbuka dan transparan
untuk pengadaan impor berbagai bahan pangan seperti daging sapi, gula,
dan sebagainya. “Dalam hal ini, gula misalnya, daging misalnya, jelas
ini harus open bidding pengadaan impor itu sehingga kawan-kawan dari
Kadin ini bisa ikut semua, tidak tertutup,” ungkap dia.
Dengan
keterbukaan dan transparansi tender, dia yakin persaingan usaha bisa
berlangsung secara adil. “Kalau perspektifnya KPPU ya kita ingin
melindungi agar persaingan bisa masuk. Itu hanya bisa dilakukan dengan
open bidding,” sambungnya. Kedua, Munrokhim menilai perlunya pengawasan
ekstra terhadap berbagai komoditas yang berpotensi dikuasai oleh
segelintir pengusaha. “Pengawasan lah,” kata dia.
Bila ada
perusahaan yang melakukan kartel meski telah diperingatkan, pihaknya
berjanji akan menindak tegas. “Kalau masih bandel, kita lakukan
tindakan. Tapi kita pendekatannya adalah pengawasan untuk pencegahan,”
jelas Munrokhim.
Terakhir, Komisioner KPPU ini menekankan
pentingnya pencegahan terjadinya kartel dengan melihat gejala-gejala
yang terjadi di dunia usaha. Apabila mulai terlihat tanda-tanda
munculnya kartel, KPPU harus segera bertindak. “KPPU sekarang
pencegahan, melakukan kajian itu kemudian kalau terjadi indikasi ke arah
sana kita ingatkan,” tutupnya.
UU 5/1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat melarang kartel. Dalam Pasal
11 disebutkan, antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk
memengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang
atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat.
Pengusaha Bersekongkol
Menurut
anggota Komisi IV DPR Siswono Yudo Husodo, kartel yang merupakan
persekongkolan segelintir perusahaan sudah terjadi secara meluas di
sektor pangan di dalam negeri. Praktik kartel, antara lain terjadi pada
industri benih di dalam negeri yang diduga dilakukan World Economic
Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA).
Kongsi itu beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional, seperti
Dupont, Monsanto, Syngenta, dan Cargill. “Mereka mengincar pasar benih
di Indonesia,” ujarnya.
Kartel, kata Siswono, diduga juga terjadi
pada industri pangan. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan
domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakusisi Danone
(Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai
Heinz (Amerika). “Kartel pun diduga terjadi pada impor pangan. Misalnya
impor daging mayoritas dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan
bawang merah dari Filipina,” paparnya.
Siswono mengungkapkan untuk
mencegah kartel pangan, pemerintah harus menggenjot produksi pangan, di
antaranya melalui peningkatan kepemilikan lahan garapan petani agar
industri pertanian nasional berdaya saing tinggi. “Untuk menghadapi
serbuan kartel, Indonesia harus meningkatkan kualitas agar daya saingnya
meningkat. Kalau kualitas jelek, impor akan melonjak,” katanya.
(Bari)
http://www.neraca.co.id/2013/02/07/enam-komoditas-pangan-dikuasai-kartel/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar