5 Februari 2013
Impor daging bukanlah tugas Kementerian Pertanian (Kemtan). Bukan pula
tugas Kementerian Perdagangan (Kemdag), Kementerian Perindustrian
(Kemperin), apalagi sampai level tinggi Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian. Tugas kementerian atau tugas pemerintah adalah mengangkat
kesejahteraan rakyat lewat peningkatkan produksi dan pemberdayaan
rakyat.
Lonjakan harga daging dan kemiskinan peternak selama ini disebabkan
oleh derasnya impor daging yang kerannya dibuka lebar-lebar oleh para
menteri. Ketika kasus impor daging mencuat ke permukaan, para menteri
justru saling lempar tanggung jawab. Padahal, sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa oknum pejabat di sejumlah kementerian mempertahankan impor
pangan karena tingginya keuntungan pribadi.
Rakyat dan industri pengolahan sudah lama menjerit, karena harga daging
dan pangan lain terus melambung akibat dipermainkan kartel importir.
Swasembada cuma slogan. Target swasembada pangan pun terus dimundurkan,
entah sampai kapan.
Kesabaran rakyat kini pupus. Penangkapan mantan Presiden Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq pekan lalu oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), karena dugaan suap impor daging sapi, kian
menyingkap semua hanky panky impor daging yang merugikan rakyat. KPK
telah menyita uang yang diduga suap sebanyak Rp 1 miliar dari importir
terbesar PT Indoguna Utama dari uang yang dijanjikan Rp 40 miliar.
Bak kebakaran jenggot, pejabat kementerian yang terlibat pun saling
menuduh dan melempar tanggung jawab. Wakil menteri perdagangan
mengatakan, kunci rekomendasi impor ada di Kemtan. Padahal, pada
Desember 2012, menteri perdagangan mengusulkan kuota impor daging sapi
tahun 2013 ditambah, yakni dari penetapan Kemtan sebesar 80.000 ton
menjadi 100.000 ton. Alasannya, pasokan di dalam negeri belum mencukupi
dan nantinya dikonsolidasikan ke Kemtan dan Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian.
Dirjen peternakan dan kesehatan hewan Kemtan berkata lain. Dia
menegaskan bahwa rekomendasi kuota impor dilakukan setelah ada
persetujuan dari Kemperin. Menteri pertanian juga menegaskan, mekanisme
impor daging dilakukan dengan transparan dan sulit bagi importir
mendapatkan “celah”, karena semua ditentukan dalam rapat di Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian. Seketika, menko perekonomian pun
membantah ikut dalam penentuan kuota daging impor setiap tahun.
Rakyat sebenarnya sudah lama menuntut, tak hanya dihilangkannya
kongkalikong rekomendasi dan perizinan impor yang menyengsarakan. Lebih
dari itu, rakyat menuntut produksi daging ditingkatkan dan mencukupi
kebutuhan nasional alias swasembada, sehingga harga menjadi wajar,
peternakan berkembang, dan industri pengolahan pun maju.
Ketika harga daging sapi melambung ke Rp 100.000 per kg, banyak
pedagang bakso harus berhenti berjualan. Bank Dunia mencatat, harga
daging di Indonesia tertinggi di dunia, padahal di negara tetangga,
seperti Malaysia dan Singapura, hanya berkisar Rp 45.000-50.000 per kg.
Asosiasi Pedagang Mi dan Bakso (Apmiso) mengungkapkan jumlah pedagang
bakso di Jabodetabek berkurang hingga 50 persen dari sekitar 50.000
pedagang. Omzet mereka anjlok karena tingginya harga daging sapi yang
diikuti merebaknya isu campuran daging babi hutan.
Untuk menghentikan kesengsaraan rakyat, keempat kementerian ekonomi itu
harus ditugaskan menghancurkan kartel importir daging dan pangan yang
lain. Kementerian yang anggarannya didanai pajak rakyat tak layak terus
mengurus izin impor yang terbukti puluhan tahun hanya menjadi sarang
koruptor dan memiskinkan rakyat.
Kemtan, Kemperin, Kemdag, maupun Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian harus berhenti mengurus dan mengeluarkan izin impor daging
sapi. Tugasnya diganti segera dengan instruksi presiden (inpres), untuk
merestrukturisasi dan memajukan industri peternakan sapi dari hulu
hingga hilir. Targetnya jelas, produksi dan kualitas daging sapi naik,
mencukupi kebutuhan dalam negeri, dan harganya lebih murah dari daging
impor.
Untuk swasembada daging ini, pemerintah harus memulai dengan membangun
industri pembibitan sapi. Pemerintah harus melakukan program inseminasi
buatan agar sapi betina yang sehat bisa bunting, termasuk dengan
mencukupi anggaran pada balai inseminasi yang kini sangat minim.
Pemerintah harus memberi insentif agar petani/peternak mau menggeluti
usaha pembibitan sapi. Misalnya, peternak diberi Kredit Usaha Pembibitan
Sapi (KUPS) dengan bunga 5 persen per tahun, sekaligus ditetapkan
target produksi dan diaudit agar tidak dimanipulasi.
Selain meningkatkan populasi ternak sapi, mutu genetiknya dapat
diperbaiki. Melalui inseminasi buatan, bibit unggul sapi potong bisa
disebarkan dengan mudah, cepat, dan murah, sekaligus meningkatkan
pendapatan peternak. Dengan demikian, makin banyak orang tertarik untuk
beternak.
Tahun 2009 Kemtan menghitung, dengan tersedianya dana subsidi bunga
KUPS sebesar Rp 145 miliar setahun, bibit sapi di Tanah Air akan
meningkat 200.000 ekor pada tahun berikutnya.
Pada 2009, ekspor sapi potong sekitar 500.000 ekor atau senilai Rp 4,8
triliun sampai Rp 5 triliun. Sementara itu, tahun ini, total konsumsi
daging sapi di Indonesia sebanyak 549.670 ton. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 75.260 ton setara daging dipenuhi dari impor, yakni berupa
226.501 sapi bakalan dan daging beku 30.110 ton. Artinya, program
pembibitan sapi dengan kebutuhan dana insentif tak seberapa itu
sebenarnya cukup untuk menghentikan impor sapi.
Ini juga mesti dilengkapi dengan upaya mengurai kesulitan
pendistribusian daging, karena terpusatnya sumber sapi di Jawa Timur dan
wilayah Indonesia bagian timur. Pemerintah harus pula memberi insentif
untuk mendorong investasi rantai pengolahan daging beku, sehingga mudah
diatur pasokan, kualitas, dan waktu pengiriman yang tepat sampai ke
restoran dan hotel-hotel di berbagai kota.
Tugas menteri adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks
pangan, para menteri yang berwenang di bawah koordinasi menko
perekonomian harus menghentikan segera izin impor daging. Indonesia
mampu berswasembada daging jika oknum pemerintah dan anggota dewan tidak
menjadi pemburu rente.
http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/2140-setop-impor-daging.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar