7 Februari 2013
dugaan suap impor daging sapi dan penetapan Presiden PKS sebagai
tersangka mempertegas sinyalemen maraknya ekonomi rente dalam impor
daging selama ini.
Ekonomi rente ini setidaknya disebabkan tiga
hal. Pertama, impor daging merupakan bisnis gurih. Harga daging sapi di
pasar dunia 4-5 dollar AS per kg, bergantung kualitas. Tahun lalu,
rata-rata harganya 4,49 dollar AS per kg. Ditambah biaya angkut,
asuransi, dan bongkar-muat, harga di pelabuhan Indonesia 5,6 dollar AS
per kg (Rp 53.000 per kg dengan asumsi kurs Rp 9.500 per dollar AS).
Harga daging eceran di pasar saat ini sekitar Rp 90.000 per
kg. Ada selisih Rp 37.000 per kg (69,8 persen). Meskipun harus
dikurangi biaya distribusi, cold storage, dan yang lain, margin
keuntungan masih amat besar. Tidak banyak bisnis yang menjanjikan
seperti ini.
Untung besar inilah yang membuat banyak pihak
mengiler berbisnis impor daging. Jika semula hanya 30-an unit, kini
perusahaan pengimpor daging mencapai 67 unit. Mereka mem- perebutkan
kuota impor tahunan yang ditetapkan pemerintah. Untuk meraih kuota
impor, pelbagai cara mereka lakukan, mulai dari legal hingga ilegal
seperti membuat perusahaan boneka, menyuap, memanfaatkan pengaruh pihak
lain, dan berbagai laku aji mumpung lain. Dalam kasus terakhir, PT
Indoguna Utama selaku importir diduga ”membeli” pengaruh Presiden PKS
itu untuk mendapat kuota lebih.
Tahun ini, kuota impor daging yang
ditetapkan pemerintah 80.000 ton. Kuota itu terbagi atas daging beku
32.000 ton dan sisanya sapi bakalan. Dari kuota impor daging beku 32.000
ton, PT Indoguna mendapatkan jatah impor terbesar, yakni 3.447 ton
(10,8 persen). Dengan harga daging di eceran Rp 90.000 per kg dan margin
keuntungan 40 persen, PT Indoguna bisa mengantongi keuntungan Rp 124,1
miliar. Jika benar Luthfi dijanjikan suap Rp 40 miliar, jumlah tersebut
hanya sepertiga keuntungan alias kecil.
Kedua, rezim perizinan
yang tertutup. Penentuan jumlah kuota impor tahunan dibahas di
Kementerian Perekonomian dengan melibatkan kementerian teknis,
yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian
Perdagangan. Untuk dapat jatah kuota impor, perusahaan harus memenuhi
enam kriteria, yakni cold storage memenuhi syarat teknis, kinerja dan
realisasi impor sebelumnya, berpengalaman dalam impor, menyerap
sapi/daging lokal, punya alat angkut khusus daging, dan punya industri
pengolahan daging. Lubang muncul saat pembagian kuota impor per
perusahaan. Siapa penentunya? Ketiga kementerian saling berbantah.
Sampai kini data ini tak terbuka.
Keterbukaan informasi dalam
pengadaan barang/jasa amanat UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Dengan informasi yang terbuka, perusahaan bisa
bersaing adil dan sehat. Peluang dan potensi korupsi bisa dicegah.
Publik bisa ikut mengawasi. Impor daging bukan rahasia negara, seperti
dikecualikan dalam UU No 14 Tahun 2008. Karena itu, tak ada alasan
pembenar merahasiakan perusahaan yang kebagian kuota. Justru
ketertutupan kian meyakinkan dugaan moral hazard.
Ketiga,
pemangkasan kuota impor. Sebagai bagian dari komitmen mencapai
swasembada daging 2014, kuota impor daging dikendalikan. Secara
bertahap, kuota impor daging dipangkas, semula 35 persen dari kebutuhan
domestik 2011 menjadi 15,5 persen 2012. Tahun ini, kuota impor tinggal
13,4 persen dari kebutuhan domestik. Pemotongan kuota impor sama artinya
memangkas kue ekonomi importir dan pebisnis daging. Untuk memperebutkan
kue yang kian kecil, mereka melakukan segala hal, termasuk cara-cara
kotor. Apakah pemangkasan ini by design agar kuota bisa
diperjual-belikan?
Dibuat transparan
Apa
pun penjelasannya, ekonomi rente hanya mendatangkan derita rakyat.
Salah satu derita rakyat yang selama berbulan-bulan belum terselesaikan
adalah tingginya harga daging. Menurut Bank Dunia, harga daging di
Indonesia tertinggi di dunia (9,76 dollar AS per kg), jauh di atas India
(7,4 dollar AS per kg), Malaysia (4,3 dollar AS per kg), Thailand (4,2
dollar AS per kg), dan Jepang (3,9 dollar AS per kg). Akibatnya, bukan
hanya konsumen yang menjerit, tetapi para tukang bakso pun tergoda
mengoplos daging sapi dengan daging babi dan celeng yang jauh lebih
murah. Ironisnya, harga daging yang tinggi di tingkat konsumen itu tidak
dinikmati produsen. Buktinya, harga daging sapi hidup di peternak tetap
rendah.
Untuk mengurai ekonomi rente, pemerintah harus transparan
dalam pemberian kuota. Salah satunya, menggelar tender. Untuk ikut
tender, importir terdaftar yang dapat izin dari Kementerian Perdagangan
harus lolos enam kriteria yang ditetapkan. Pemenang tender dipilih dari
perusahaan yang mengambil margin laba terendah. Cara ini sekaligus bisa
jadi instrumen pemerintah mengendalikan harga di pasar. Tidak kalah
penting, pengawasan impor untuk menghindari jual-beli kuota. Kementerian
teknis harus menanggalkan egosektoral. Untuk menghindari celah korupsi,
penyidik KPK bisa dihadirkan di semua tahap, sebelum, saat, dan sesudah
tender. Dengan cara ini, kita mempunyai peluang memangkas ekonomi
rente.
Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
http://cetak.kompas.com/read/2013/02/07/02074159/ekonomi.rente.impor.daging
Tidak ada komentar:
Posting Komentar