6 Februari 2013
Strategi Pembangunan| Petani Lebih Layak Dibantu Ketimbang Importir Gandum
JAKARTA – Pemerintah semestinya membuat kebijakan industri, dimulai dari
industri dasar yang bisa mengintegrasikan dan menyinergikan seluruh
potensi alam serta sumber daya manusia Indonesia.
Dengan cara
seperti itu Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalan kemampuan
teknologi industri dengan negara lain. Saat ini, dalam hal pengembangan
industri, Indonesia tertinggal sekitar 20 tahun dengan rata-rata global
dan 50 tahun di belakang China.
Ketertinggalan itu pula yang
mematikan daya saing industri nasional sehingga defisit neraca
perdagangan yang pada 2012 mencapai 1,63 miliar dollar AS bakal
memburuk.
Selain itu, upaya pemerintah membangun industri yang
kompetitif harus dilaksanakan secara masif didukung oleh semua komponen
bangsa. Kebijakan yang bernuansa ketidakadilan dan hanya memburu rente,
seperti "jual-beli" jatah impor pangan dan melanggengkan monopoli impor
gandum, harus segera dihilangkan. Pasalnya, kebijakan itu bakal
mematikan petani serta pertanian nasional dan sebaliknya hanya
menguntungkan impotir.
Pengamat kebijakan publik dari Institute
for Global Justice (IGJ), Salamudin Daeng, mengemukakan hal itu di
Jakarta, Selasa (5/2). Menurut dia, pemerintah harus mengembangkan
program hilirisasi industri sebagai basis membangun industri dasar dan
barang modal.
Daeng pun mengingatkan kegagalan pemerintah
membangun industri dasar, baik industri pangan, besi baja, energi,
maupun industri keuangan disebabkan politik ekonomi pemerintah yang
kurang berorientasi pada kepentingan rakyat. "Kalau pangan tertata
dengan baik, energi tertata, industrinya terbangun, saya kira ekonomi
bisa berkembang," jelas dia.
Ia mencontohkan perusahaan tambang
internasional, Freeport, sudah puluhan tahun mengeruk kekayaan alam
Papua, namun tidak beriktikad membangun industri pengolahan dan
pemurnian atau smelter di dalam negeri.
"Ini artinya pemerintah
tidak mau membuat regulasi yang akan mendorong Indonesia sebagai negara
industri. Kita juga cuma bisa bangga mengekspor bahan mentah, tapi
terkaget-kaget ketika harga komoditas turun. Selama ini, nilai ekspor
tertolong oleh kenaikan harga, bukan kenaikan produktivitas," papar
Daeng.
Ketertinggalan mengembangkan industri juga menyebabkan
Indonesia kehilangan orang pintar karena mereka lebih suka bekerja di
luar negeri. Padahal, apabila pemerintah mampu mengintegrasikan semua
sumber daya Indonesia, harapan menjadi negara industri maju bisa
terwujud.
Bahaya Monopoli
Direktur Indef, Enny Sri Hartati,
menambahkan pemerintah juga mesti fokus pada pengembangan industri
pertanian guna menekan kebergantungan pada impor pangan dan mewujudkan
kemandirian pangan.
Saat ini, pertanian Indonesia menghadapi
persoalan pelik minimnya infrastruktur yang minim, kebijakan yang tidak
adil bagi petani, persoalan tata niaga, persoalan lahan, dan kurangnya
produktivitas petani karena harga jual yang rendah.
Menurut Enny,
jumlah petani di Indonesia cenderung berkurang karena insentif
pemerintah bagi petani sangat minim, misalnya harga jual produk
pertanian lokal yang rendah sehingga nilai tukar petani (NTP) merosot
dan akhirnya kolaps. "Kebijakan pangan pemerintah terlalu bergantung
pada impor sehingga menekan petani lokal," jelas dia.
Contoh lain
yang mencederai keadilan petani lokal adalah pengenaan bea masuk nol
persen untuk gandum impor sehingga melanggengkan monopoli konglomerat
importir gandum selama 30 tahun. Padahal, monopoli, selain mendukung
pengerukan untung di atas normal, juga mamatikan pertanian nasional.
Semestinya
pemerintah mendukung petani lokal dengan subsidi harga gabah yang
memadai atau membantu ongkos penggilingan gabah petani ketimbang
melindungi pengusaha penggilingan gandum yang tidak diproduksi
Indonesia. "Bagaimana petani mau menanam sorgum sebagai alternatif
gandum jika importir dibela dengan bea masuk impor nol persen," tegas
Enny.
Ia memaparkan di AS, pemerintahnya sangat ketat
melaksanakan UU Antimonopli dan Kartel karena mereka paham betul bahwa
pemberian monopoli kepada swasta berdampak merugikan rakyat banyak.
"Kebijakan yang pro-segelintir pemilik modal besar ini bisa
menghancurkan bangsa ini." YK/SB/gus/fia/lex/WP
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/112018/hl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar