7 Februari 2013
Tiga tahun lalu, nasi sisa yang dikeringkan, atau nasi aking,
mengoyak perhatian. Adalah Turina (45), warga Kecamatan Krangkeng,
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dan keluarganya yang terpaksa memakan
nasi aking karena tak mampu membeli beras.
Nasi
aking menjadi simbol kemiskinan yang membelit warga. Di halaman ini,
Turina mengisahkan, sisa nasi, yang dimakannya sebagai nasi aking itu,
diperoleh dari tetangganya atau sisa kondangan (Kompas, 10/2/2010).
Wajah
kemiskinan itu seperti terulang pada Taripah (58), warga Desa
Pagejugan, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Selasa
(5/2), ia menyendok sedikit demi sedikit nasi aking yang ditanaknya ke
piring. Nasi aking itu, dengan lauk sepotong tahu, menjadi santapan
makan siang Taripah bersama ayahnya, Darsa (95), dan anaknya, Supin
(23).
Bukan kali ini saja
Menyantap
nasi aking bukan kali ini saja dilakukan Taripah dan keluarganya. Sejak
lima bulan lalu, ia sering memakan nasi aking karena tak mampu membeli
beras. Harga beras yang mencapai Rp 8.500 per kilogram tak terjangkau
oleh Taripah, yang bekerja sebagai buruh serabutan.
Dia memilih
menjadikan nasi aking sebagai pengganjal perut karena harganya cuma Rp
2.000 per kilogram. Bahkan, nasi aking yang dimakannya pun acap kali
diperoleh dari tetangganya yang iba.
Taripah tinggal dengan anak
keenamnya, Supin, yang juga menjadi buruh serabutan. Ia bercerai dengan
suaminya, Mursa (85), yang tinggal di Kecamatan Bulakamba, Brebes, sejak
setengah tahun lalu.
Lima anak Taripah yang lain sudah
berkeluarga, dan rata-rata hanya sebagai buruh serabutan. Mereka hampir
semuanya tidak lulus sekolah dasar. Keenam anak Taripah itu adalah buah
perkawinannya dengan suami pertamanya, Kasturi, yang meninggal 23 tahun
lalu.
Menurut Taripah, ia mendapatkan uang apabila ada orang yang
mempekerjakannya sebagai buruh. ”Biasanya menjadi buruh pembersih bawang
merah. Upahnya Rp 20.000 per hari,” katanya.
Dalam sepekan,
terkadang dia hanya bekerja satu hari sehingga uang Rp 20.000 harus
cukup untuk memenuhi kebutuhan makan selama sepekan. Supin pun tak
banyak membantu sebab ia juga jarang mendapatkan pekerjaan. Dia lebih
banyak di rumah atau sesekali mencari kepiting di sungai.
Taripah
memang memperoleh jatah beras untuk keluarga miskin (raskin) dari
pemerintah. Namun, dengan alasan pemerataan, raskin tak diperoleh sesuai
ketentuan, 15 kilogram, tetapi hanya 5 kilogram. Ia harus berbagi
dengan warga miskin lainnya.
Raskin sebanyak 5 kilogram itu
diperolehnya dengan harga Rp 10.000. Akibatnya, dia kian kesulitan
memenuhi kebutuhan pangan sehingga sering memilih mengonsumsi nasi
aking, yang diperoleh dengan harga murah. Sebelum dimasak, nasi aking—
di Brebes lebih sering dipakai untuk pakan itik—dicuci terlebih dahulu.
Setelah itu, nasi direndam sekitar 15 menit, sebelum kemudian ditanak.
Nasi
aking dimakan dengan lauk seadanya, seperti kerupuk, terung, tahu, atau
bawang merah. Di rumah Taripah tampak beberapa sayuran yang mulai
mengering, seperti pepaya muda dan terung, di atas tampah. Itulah
cadangan lauk untuk menemani nasi aking. Bersama ayah dan anaknya, dalam
sehari Taripah bisa menghabiskan 1 kilogram nasi aking untuk tiga kali
makan.
Kemiskinan makin mendera setelah rumah yang ditempatinya
terbakar pada pertengahan Agustus lalu. Saat ini, Taripah mulai
memperbaiki rumahnya meski masih belum layak pakai. Sebagian sisi rumah
yang berlantaikan tanah itu masih ditutup dengan kain terpal, yang tidak
selalu mampu menahan curahan air hujan.
Tak ada barang berharga
di dalam rumah itu, kecuali sebuah dipan kayu, tungku untuk memasak dari
batu bata, dan beberapa panci aluminium. Pecahan genteng dan potongan
bambu berserakan di pojok ruangan rumahnya. ”Pembangunan rumah ini pun
atas bantuan warga,” kata Warid (60), Ketua RT 004 RW 004 Desa
Pagejugan, tempat tinggal Taripah.
Menurut Warid, uang untuk
membangun rumah Taripah diperoleh dari iuran sukarela warga, yang
terkumpul sekitar Rp 1,5 juta. Ia juga berharap pemerintah membantu
mengatasi kemiskinan Taripah.
Suliya (56), adik Taripah,
menambahkan, selama ini kakaknya hidup serba kekurangan. ”Semua dibantu
warga. Batu bata untuk membangun rumahnya dibantu warga. Nasi aking yang
dimakannya juga sebagian dari warga sini,” ujarnya.
Kemiskinan
mendera karena mereka tidak memiliki pekerjaan tetap dan pendidikan yang
memadai. Mereka mengandalkan kemampuan tenaga untuk menjadi buruh
serabutan saja.
Taripah-Taripah yang lain
Bupati
Brebes Idza Priyanti, Selasa sore, mendatangi Taripah di rumahnya. Ia
memberi bantuan berupa bahan pangan. Bupati juga memberikan uang untuk
modal bagi Taripah agar bisa memulai usaha sebagai jaminan kelangsungan
hidupnya.
Pemerintah Kabupaten Brebes, kata Idza, juga akan
mengecek ke beberapa daerah lain untuk mencari kemungkinan ada
Taripah-Taripah lain. Mereka pasti akan dibantu.
Kepala Dinas
Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Brebes Amin Budi
Raharjo mengatakan, bantuan yang diberikan kepada keluarga Taripah,
antara lain tiga dus mi instan, dua dus ikan kalengan, kecap, saus, dan
50 kilogram beras. Untuk perbaikan rumah, Taripah akan dibantu melalui
instansi lain.
Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi
Kabupaten Brebes memiliki anggaran sekitar Rp 1,8 miliar per tahun untuk
mengatasi persoalan sosial, termasuk kemiskinan. Dana itu juga untuk
hibah pada lembaga kemasyarakatan yang mengatasi masalah pengemis,
gelandangan, dan orang telantar.
Kejadian warga memakan nasi aking
bukan kali ini saja terjadi di Brebes. Kasus serupa juga pernah
ditemukan di Desa Prapag Lor, Kecamatan Losari, tahun 2005; di Dukuh
Banjangsari, Desa Randusanga Kulon, Kecamatan Brebes, tahun 2008; serta
di Desa Kaligangsa Kulon, Kecamatan Brebes, pada tahun 2010.
Oleh Siwi Nurbiajanti
http://cetak.kompas.com/read/2013/02/07/01481471/nasi.aking.menyentak.kembali...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar