5 Desember 2013
INDONESIA menjadi negeri agraris yang paradoks. Lahan berlimpah,
penduduk yang hidup dari bertani berjuta-juta, tapi ia tetap tidak mampu
menyediakan makanan pokoknya sendiri. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik, sepanjang 2012, setidaknya Indonesia impor pangan 16 juta ton
atau senilai Rp80,75 triliun. Nilai yang tidak sedikit, membuat mata
membelalak.
Ironisnya, ini yang membuat miris, kecenderungan impor pangan bukan
menurun dari waktu ke waktu. Justru cenderung meningkat. Beberapa
komoditas yang bergerak cukup meningkat masuk ke Indonesia, misalnya,
beras, jagung, teh, kedelai, dan garam.
Lebih ironisnya lagi, singkong dan bawang merah pun masih diimpor.
Seperti diberitakan Lampung Post (4-1-2013), sepanjang Januari—November
2012, Badan Pusat Statistik mencatat akumulasi impor bawang merah
sebesar 95 ribu ton senilai 42 juta dolar AS atau sekitar Rp400 miliar.
Sepanjang periode Januari—Oktober 2012, Indonesia mengimpor singkong
sebanyak 13 ribu ton atau sekitar Rp32 miliar. Pada periode 2000—2011,
rata-rata impor singkong sebesar 146.055 ton per tahun.
Kebijakan impor pangan, apa pun alasannya, jelas memerkosa semangat UU
Pangan yang mendorong terciptanya kedaulatan pangan nasional. Apalagi,
impor singkong yang notabene gampang ditanam dan diproduksi di dalam
negeri adalah kebijakan yang tidak waras. Bukankah Provinsi Lampung
menjadi lumbung singkong yang mampu memenuhi 60% dari kebutuhan
nasional?
Mengapa Pemerintah Pusat tidak mendorong Provinsi Lampung menanam
singkong untuk memenuhi sepenuhnya kebutuhan nasional? Di sinilah letak
persoalannya. Yaitu, pusat tidak cerdas memanfaatkan potensi setiap
provinsi. Atau, jangan-jangan ada urusan rente pejabat di balik
kebijakan impor?
Sadar atau tidak sadar, salah urus negeri agraris ini telah
mengakibatkan sebagian rakyat terjerembap dalam lumpur kemiskinan. Salah
urus negara ini telah memunculkan paradoks Indonesia negara kaya yang
rakyatnya miskin. Mereka ibarat tikus mati di lumbung padi.
Paradoks negeri agraris itu memunculkan gagasan liar, mengapa Indonesia
tidak sekalian mengimpor presiden, menteri, dan kepala daerah? Bila itu
terjadi, paripurnalah disebut negeri importir.
http://lampost.co/berita/negeri-importir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar