5 Januari 2013
Kenaikan Nilai Impor Makanan Indonesia Perlu Diwaspadai.
RMOL.Indonesia belum bisa lepas dari bayang-bayang impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor pangan per November 2012
mencapai 1,8 juta ton atau senilai 921 juta dolar AS.
Ketua Dewan Hortikultura Nasional Benny Kusbini mengatakan,
tingginya impor pangan menunjukkan ketergantungan nasional terhadap luar
negeri di bidang pangan terlalu tinggi.
Menurutnya, turunnya produksi kedelai AS akibat kekeringan tahun
lalu berimbas besar kepada Indonesia. Kondisi ini sungguh memilukan
sekaligus memalukan Indonesia yang selama ini membanggakan diri
sebagai negara bertanah subur dan luas.
“Ini menjadi keprihatinan kita. Indonesia selalu menjadi market luar negeri,” sesal Benny kepada Rakyat Merdeka, Jumat (4/1).
Dia menilai, pemerintah harus meningkatkan upaya mewujudkan
ketahanan pangan berbasis produksi dalam negeri dan tidak lagi
mengandalkan impor serta bergantung kepada produk pangan luar negeri.
Indonesia harus membenahi pembangunan pertanian.
Dikatakan, meningkatnya impor pangan memunculkan tanda tanya di
negeri yang kaya ini. Seolah ada yang dengan sengaja menghambat
Indonesia untuk mandiri dalam urusan pangan.
“Ada intrik-intrik politik dalam penganggaran di DPR. Kepentingan
politik ikut bermain. Ada mafia pangan yang masih jadi raja dalam
menentukan kebijakan pangan kita,” tegasnya.
Ketua Komisi IV DPR Romahurmuziy juga geram dengan permasalahan produksi pangan nasional.
“Bagi Indonesia, pangan harus dipenuhi dalam negeri meski biaya
pengadaannya lebih mahal daripada impor. Sebab, sektor pertanian
menghidupi 33 persen angkatan kerja nasional. Karena itu, kenaikan impor
pangan perlu diwaspadai, jenis, jumlah dan waktu impornya,” katanya.
Dia mengatakan, membangun swasembada pangan memang perlu kerja
keras dan waktu lama. Apalagi Indonesia didukung sumber daya melimpah,
iklim tropis, penduduk agraris dan pasar besar.
Anggota Komisi IV DPR Ma’mur Hasanuddin menambahkan, pemerintah
harus cermat melihat seluruh angka importasi beras terhadap kemampuan
produksi dalam negeri, karena pada dasarnya akan mempengaruhi
struktur stok perberasan nasional.
Menurut Ma’mur, Bulog mengklaim serapannya melampaui target 3,6
juta ton, begitupun dengan Kementerian Pertanian yang menyatakan
surplus beras mencapai 5,73 juta ton, namun mengapa angka impor beras
tetap tinggi.
“Seharusnya kenaikan produksi dan serapan beras berbanding lurus
dengan penurunan secara drastis terhadap importasi beras. Karena itu,
perlu sistem yang terintegrasi antara produksi, distribusi dan
konsumsi beras secara nasional, sehingga seluruh proses dari hulu
sampai hilir dapat dimonitor dengan baik,” ucap Ma’mur.
http://ekbis.rmol.co/read/2013/01/05/92792/Duh,-Ada-Intrik-Politik-Dalam-Penentuan-Kebijakan-Pangan-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar