Senin, 07 Januari 2013

Ketergantungan Impor Pangan Bisa Jadi "Bom Waktu"

6 Januari 2013

PANGAN  merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia cukup; merupakan prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan.
     Kebergantungan Indonesia pada impor pangan merupakan "bom waktu" yang tiba-tiba bisa meledakkan masalah nasional. Hal itu bisa terjadi karena pemerintah bertahun-tahun mengabaikan kemandirian pangan.
     Pasalnya, populasi penduduk dunia diprediksi akan mencapai 8 miliar jiwa pada 2030. Jelas sekali kebutuhan panganpun bakal meningkat pula. Untuk mencukupi kebutuhan akan beras misalnya, hasil panen tahunan harus meningkat dari 50 Kg beras/hektar (Ha) menjadi 71 Kg/Ha pada 2030.
     Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor pangan sepanjang Januari-Juni 2011 mencapai Rp45 triliun. Komoditas pangan yang diimpor mencapai 28 jenis, mulai dari beras, jagung, kedelai, tepung terigu, cengkih, cabai kering, hingga tembakau. Nilai tersebut meningkat dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp39,9 triliun.
     Terkait dengan Rencana Strategis 2010-2014 Kementerian Pertanian dan lebih jauh Rencana Strategis Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tahun 2012 lalu sejumlah kebijakan strategis di sektor pangan dan pertanian dikeluarkan, salah satunya swasembada pangan di 2014.
     Anggota Komisi IV DPR Herman Khaerun menilai, ketahanan pangan akan lebih baik, sejalan dengan program dan alokasi anggaran efektif dan perluasan lahan pertanian.
     Demikian pula dengan fokus Kementerian Pekerjaan Umum untuk segera menyelesaikan pembangunan bendungan, embung, serta perbaikan irigasi yang selama ini rusak, akan mampu meningkatkan produktifitas hasil pertanian, khususnya tanaman pangan.
     "Kalau dilihat dari statistik ada peningkatan produksi untuk seluruh komoditas. Namun, stabilitas harga ini yang masih menjadi persoalan, " kata Herman kepada Pelita di Jakarta, Minggu (6/1).
     Untuk menstabilitaskan harga tersebut, politisi dari Partai Demokrat ini mengaju pada tujuh tahap. Pertama, stok pangan strategis harus memadai, sehingga tidak akan mudah dimainkan para spekulan.
     Kedua, meningkatkan produksi dalam negeri, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Ketiga, Perum Bulog direvitalisasi untuk menangani kembali sembilan bahan pokok.
     Keempat, data dasar produksi harus valid dan ter-update. Kelima, operasi pasar segera ketika ada indikasi kenaikan harga. Keenam, tindak para spekulan dengan merujuk pada UU Pangan.
     Ketujuh, kembangkan keragaman budidaya pangan pokok dan strategis pengganti beras, gandum, dan kedelai, serta menggalakan diversikasi konsumsi.
     "Jika infrastruktur pertanian, bendungan, embung, dan saluran irigasi bisa segera diselesaikan, serta ekstensifikasi lahan pertanian berjalan sesuai Renstra; saya optimis kemandirian pangan bisa tercapai di 2014," tuturnya.
     Kecuali untuk gula, dia  menilai masih butuh waktu. Soalnya,  bukan saja keterbatasan lahan budidaya pertanaman tebu, tetapi dibutuhkan pabrik gula baru dan revitalisasi pabrik gula yang sudah ada.
                                          Teknologi murah
     Dihubungi terpisah, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Yakub mengusulkan kepada pemerintah untuk menyiapkan tiga strategi mencapai ketahanan pangan nasional. Yaitu tanah diberikan pada petani, pemberian bibit unggul dan teknologi, serta industri pengolahan pascapanen.
     "Itu kunci utamanya jika ingin mewujudkan ketahanan pangan. Masalah distribusi, kemasan produk, dan tata niaga diatur setelah hal utama dilakukan," ujarnya.
      Ia menjelaskan, produksi pertanian perlu didukung teknologi yang murah, massal, dan efisien sehingga hasilnya bisa maksimal. Setelah itu, ketika masa pascapanen dibutuhkan industri nasional yang berbasis di kabupaten dan kecamatan agar bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak.
     "Petani menjual bahan mentah, diolah di level kabupaten menjadi pangan olahan. Kunci utama itu merupakan rangkaian strategi yang seharusnya bisa dijalankan di Indonesia," ucap Achmad Yakub.
     Pemerintah juga harus memiliki kebijakan politik anggaran berbasis pertanian dan melindungi produksi pangan dalam negeri. Kebijakan nasional Indonesia selama ini lebih berbasis pada industri dan perkotaan dibandingkan basis pedesaan dan pertanian.
     Menurut Achmad Yakub, jika pemerintah ingin mengembangkan sektor pertanian, maka alokasi anggaran pada sektor tersebut harus diperbesar.
     Besarnya anggaran di sektor industri dan perkotaan, menyebabkan tidak adanya orientasi jelas dalam pembangunan nasional Indonesia. Bahkan, pemerintah menjadi bimbang ketika berhadapan dengan perdagangan bebas dan akhirnya membuka produk pertanian dari luar negeri.
     Akibatnya ketika di forum APEC dan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), Indonesia bimbang sehingga meliberalkan sektor pangan dan pertanian, dan petani tidak bisa bersaing.
     Pemerintah harus melindungi produksi pertaniannya dengan langkah memberikan subsidi ekspor dan dukungan domestik. Pemerintah juga seharusnya bisa memberikan pajak nol persen bagi produk ekspor Indonesia, dan melobi negara penerima untuk memberikan bea masuk rendah.
     Selain itu, kata Yakub, seharusnya pemerintah bisa memberikan perlindungan produk dalam negeri dengan sistem proteksi ketat dan memberikan insentif kepada usaha pertanian.
     Beberapa negara di Eropa, Jepang, dan Korea Selatan  melindungi pertanian dalam negerinya. Karena produk ini jangan diliberalkan.
     Ia menambahkan, pemerintah seharusnya bisa memprioritaskan kemampuan menyediakan pangan bagi rakyat dari sumber dalam negeri. Kkarena hal itu merupakan bagian dari keamanan nasional.
     Pangan merupakan komoditas strategis yang tidak hanya memiliki unsur ekonomis, tapi juga politis. Selain membuat rakyat Indonesia bergantung pada negara lain dalam hal pangan, lanjut dia, impor memiskinkan petani dalam negeri. Karena harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah, antara lain akibat subsidi dari pemerintah negara importir.
     "Padahal, makanan harus ada saat dibutuhkan sehingga ketahanan pangan dan kemandirian pangan jadi nyata. Idealnya, kebutuhan pangan mampu dipenuhi masing-masing daerah. Makanya, kita tidak bisa berkompromi dengan impor pangan. Kini saatnya kita berkomitmen membangun pertanian tanpa bergantung negara lain," tegas Yakub.
     Jika tiga syarat itu bisa dipenuhi pemerintah, optimis program swasembada pangan bisa tercapai. Asalkan program tersebut jangan sebagai slogan politik.
     "Petani kita produktif. Dengan keterbatasan infrastruktur petani bisa produktif, dan di tahun 2014 ada kapasitas petani bisa mempunyai lahan sendiri," imbaunya.
     Infrasturktur yang dimaksud Yakub adalah tersedianya irigasi, bukan jalan tol. Misalnya rumah sakit masuk desa, karena sekitar 70 persen masyarakat tinggal di pedesaan dengan 80 persennya hidup di industri pertanian.

http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2013/01/06/ketergantungan-impor-pangan-bisa-jadi-bom-waktu#.UOqxnqwmGoE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar