6 Januari 2013
PANGAN merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi
hak asasi manusia. Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan
tersedia cukup; merupakan prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan,
kemakmuran, dan kesejahteraan.
Kebergantungan Indonesia pada impor pangan merupakan "bom waktu"
yang tiba-tiba bisa meledakkan masalah nasional. Hal itu bisa terjadi
karena pemerintah bertahun-tahun mengabaikan kemandirian pangan.
Pasalnya, populasi penduduk dunia diprediksi akan mencapai 8
miliar jiwa pada 2030. Jelas sekali kebutuhan panganpun bakal meningkat
pula. Untuk mencukupi kebutuhan akan beras misalnya, hasil panen tahunan
harus meningkat dari 50 Kg beras/hektar (Ha) menjadi 71 Kg/Ha pada
2030.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor pangan sepanjang
Januari-Juni 2011 mencapai Rp45 triliun. Komoditas pangan yang diimpor
mencapai 28 jenis, mulai dari beras, jagung, kedelai, tepung terigu,
cengkih, cabai kering, hingga tembakau. Nilai tersebut meningkat
dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp39,9 triliun.
Terkait dengan Rencana Strategis 2010-2014 Kementerian Pertanian
dan lebih jauh Rencana Strategis Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
tahun 2012 lalu sejumlah kebijakan strategis di sektor pangan dan
pertanian dikeluarkan, salah satunya swasembada pangan di 2014.
Anggota Komisi IV DPR Herman Khaerun menilai, ketahanan pangan
akan lebih baik, sejalan dengan program dan alokasi anggaran efektif dan
perluasan lahan pertanian.
Demikian pula dengan fokus Kementerian Pekerjaan Umum untuk segera
menyelesaikan pembangunan bendungan, embung, serta perbaikan irigasi
yang selama ini rusak, akan mampu meningkatkan produktifitas hasil
pertanian, khususnya tanaman pangan.
"Kalau dilihat dari statistik ada peningkatan produksi untuk
seluruh komoditas. Namun, stabilitas harga ini yang masih menjadi
persoalan, " kata Herman kepada Pelita di Jakarta, Minggu (6/1).
Untuk menstabilitaskan harga tersebut, politisi dari Partai
Demokrat ini mengaju pada tujuh tahap. Pertama, stok pangan strategis
harus memadai, sehingga tidak akan mudah dimainkan para spekulan.
Kedua, meningkatkan produksi dalam negeri, baik melalui
intensifikasi maupun ekstensifikasi. Ketiga, Perum Bulog direvitalisasi
untuk menangani kembali sembilan bahan pokok.
Keempat, data dasar produksi harus valid dan ter-update. Kelima, operasi pasar segera ketika ada indikasi kenaikan harga. Keenam, tindak para spekulan dengan merujuk pada UU Pangan.
Ketujuh, kembangkan keragaman budidaya pangan pokok dan strategis
pengganti beras, gandum, dan kedelai, serta menggalakan diversikasi
konsumsi.
"Jika infrastruktur pertanian, bendungan, embung, dan saluran
irigasi bisa segera diselesaikan, serta ekstensifikasi lahan pertanian
berjalan sesuai Renstra; saya optimis kemandirian pangan bisa tercapai
di 2014," tuturnya.
Kecuali untuk gula, dia menilai masih butuh waktu. Soalnya,
bukan saja keterbatasan lahan budidaya pertanaman tebu, tetapi
dibutuhkan pabrik gula baru dan revitalisasi pabrik gula yang sudah ada.
Teknologi murah
Dihubungi terpisah, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad
Yakub mengusulkan kepada pemerintah untuk menyiapkan tiga strategi
mencapai ketahanan pangan nasional. Yaitu tanah diberikan pada petani,
pemberian bibit unggul dan teknologi, serta industri pengolahan
pascapanen.
"Itu kunci utamanya jika ingin mewujudkan ketahanan pangan.
Masalah distribusi, kemasan produk, dan tata niaga diatur setelah hal
utama dilakukan," ujarnya.
Ia menjelaskan, produksi pertanian perlu didukung teknologi yang
murah, massal, dan efisien sehingga hasilnya bisa maksimal. Setelah itu,
ketika masa pascapanen dibutuhkan industri nasional yang berbasis di
kabupaten dan kecamatan agar bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak.
"Petani menjual bahan mentah, diolah di level kabupaten menjadi
pangan olahan. Kunci utama itu merupakan rangkaian strategi yang
seharusnya bisa dijalankan di Indonesia," ucap Achmad Yakub.
Pemerintah juga harus memiliki kebijakan politik anggaran berbasis
pertanian dan melindungi produksi pangan dalam negeri. Kebijakan
nasional Indonesia selama ini lebih berbasis pada industri dan perkotaan
dibandingkan basis pedesaan dan pertanian.
Menurut Achmad Yakub, jika pemerintah ingin mengembangkan sektor
pertanian, maka alokasi anggaran pada sektor tersebut harus diperbesar.
Besarnya anggaran di sektor industri dan perkotaan, menyebabkan
tidak adanya orientasi jelas dalam pembangunan nasional Indonesia.
Bahkan, pemerintah menjadi bimbang ketika berhadapan dengan perdagangan
bebas dan akhirnya membuka produk pertanian dari luar negeri.
Akibatnya ketika di forum APEC dan WTO (Organisasi Perdagangan
Dunia), Indonesia bimbang sehingga meliberalkan sektor pangan dan
pertanian, dan petani tidak bisa bersaing.
Pemerintah harus melindungi produksi pertaniannya dengan langkah
memberikan subsidi ekspor dan dukungan domestik. Pemerintah juga
seharusnya bisa memberikan pajak nol persen bagi produk ekspor
Indonesia, dan melobi negara penerima untuk memberikan bea masuk rendah.
Selain itu, kata Yakub, seharusnya pemerintah bisa memberikan
perlindungan produk dalam negeri dengan sistem proteksi ketat dan
memberikan insentif kepada usaha pertanian.
Beberapa negara di Eropa, Jepang, dan Korea Selatan melindungi
pertanian dalam negerinya. Karena produk ini jangan diliberalkan.
Ia menambahkan, pemerintah seharusnya bisa memprioritaskan
kemampuan menyediakan pangan bagi rakyat dari sumber dalam negeri.
Kkarena hal itu merupakan bagian dari keamanan nasional.
Pangan merupakan komoditas strategis yang tidak hanya memiliki
unsur ekonomis, tapi juga politis. Selain membuat rakyat Indonesia
bergantung pada negara lain dalam hal pangan, lanjut dia, impor
memiskinkan petani dalam negeri. Karena harus bersaing dengan produk
impor yang lebih murah, antara lain akibat subsidi dari pemerintah
negara importir.
"Padahal, makanan harus ada saat dibutuhkan sehingga ketahanan
pangan dan kemandirian pangan jadi nyata. Idealnya, kebutuhan pangan
mampu dipenuhi masing-masing daerah. Makanya, kita tidak bisa
berkompromi dengan impor pangan. Kini saatnya kita berkomitmen membangun
pertanian tanpa bergantung negara lain," tegas Yakub.
Jika tiga syarat itu bisa dipenuhi pemerintah, optimis program
swasembada pangan bisa tercapai. Asalkan program tersebut jangan sebagai
slogan politik.
"Petani kita produktif. Dengan keterbatasan infrastruktur petani
bisa produktif, dan di tahun 2014 ada kapasitas petani bisa mempunyai
lahan sendiri," imbaunya.
Infrasturktur yang dimaksud Yakub adalah tersedianya irigasi,
bukan jalan tol. Misalnya rumah sakit masuk desa, karena sekitar 70
persen masyarakat tinggal di pedesaan dengan 80 persennya hidup di
industri pertanian.
http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2013/01/06/ketergantungan-impor-pangan-bisa-jadi-bom-waktu#.UOqxnqwmGoE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar