Politik anggaran pada 2013 harus mendukung diversifikasi pangan.
JAKARTA – Cita-cita luhur para
pendiri bangsa dan seluruh rakyat Indonesia sepanjang sejarah negara
agraris ini untuk mencapai kemerdekan terutama di bidang pertanian,
tentunya harus disertai dengan konsistensi kebijakan di sektor
pertanian. Memasuki 2013 ini konsistensi tersebut akan kembali diuji.
Namun, tentunya selalu ada harapan baru bagi pemerintah dan rakyat
Indonesia khususnya para petani untuk mencapai kesejahteraan di
sektor pertanian. Hal itu hanya dapat terwujud jika negara agraris
ini memiliki kedaulatan, sehingga tercapailah kemandirian di sektor
pangan dan pertanian.
Kedaulatan bagi petani harus terwujud
dalam akses dan kontrol atas tanah, air, benih, serta adanya
perlindungan harga produk pertanian bagi para petani kecil terhadap
serbuan pangan impor murah yang menyebabkan anjloknya harga produk
pertanian dalam negeri. Selain itu, politik anggaran pada 2013 harus
mendukung diversifikasi pangan.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan, Riza Damanik kepada SH mengatakan target pemerintah untuk
melakukan diversifikasi produk pangan masih sulit tercapai di 2013.
Hal ini ditandai dengan lemahnya politik anggaran dalam APBN 2013.
Menurutnya, alokasi APBN 2013 untuk
penguatan ketahanan pangan naik sekitar tiga kali lipat, yakni dari
Rp 23,3 triliun pada 2007 menjadi Rp 63,2 triliun di 2013. Alokasi
tersebut masih terbatas untuk peningkatan produktivitas tanaman
pangan terutama padi dan palawija; sedangkan untuk pangan perikanan
masih belum mendapat perhatian.
Padahal, jika saja pemerintah dapat
memperbesar kapasitas pengelolaannya di sektor pangan perikanan,
dengan sendirinya dapat mengurangi ketergantungan pada impor pangan,
baik dari pertanian, peternakan, maupun perikanan itu sendiri.
Upaya ini seharusnya tidak sulit
dilakukan pemerintah sebab UU Pangan terbaru No 18 Tahun 2012 telah
memberi kedudukan yang sama atas kepentingan dan prioritas negara
dalam menjamin peningkatan kapasitas sektor pangan pertanian maupun
perikanan, termasuk bagi pelakunya yaitu petani dan nelayan.
“Untuk itu saatnya Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) memberi dukungan penuh kepada organisasi
nelayan dan petambak agar dapat berperan maksimal mengelola
lumbung-lumbung ikan rakyat. Hal ini dapat dimulai dengan memastikan
akses permodalan, pendidikan dan pelatihan, hingga kesuburan
lingkungan dan perairan dapat terpenuhi,” ujarnya.
Impor Beras
Konsistensi kebijakan pertanian juga
diharapkan di komoditas beras sebagai komoditas pangan politis di
Tanah Air. Ironi sebuah negeri beras. SH mencatat di setiap awal
tahun pemerintah selalu menargetkan tak akan mengambil kebijakan
impor beras.
Setiap tahun pula Kementerian Pertanian menjamin adanya
surplus produksi beras di masyarakat, sehingga impor beras memang
tidak diperlukan. Faktanya, impor beras tetap saja dilakukan demi
menjaga stok beras pemerintah. Perum Bulog setiap tahun menargetkan
harus ada stok cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 2 juta ton.
Dirut Perum Bulog, Sutarto Alimuso,
kepada SH menjelaskan impor atau tidak impor akan ditentukan beberapa
faktor. Pertama, perkembangan harga beras yang erat kaitannya dengan
hubungan antara penawaran (suplai) dan permintaan (demand). Kedua,
ramalan produksi, di mana ramalan bisa saja tinggi tapi fluktuasi
harga pun bisa tinggi.
Ketiga, stok Bulog tergerus atau tidak. Jika
stok Bulog tergerus itu artinya penawaran dan permintaan terganggu,
sehingga diperlukan tambahan stok. “Kalau angka produksi padi tahun
ini rencananya naik 6 persen oke saja, tapi harganya stabil atau
tidak?” ujar Sutarto menjawab pertanyaan SH saat paparan awal tahun
kinerja Perum Bulog, baru-baru ini.
Namun, Sutarto optimistis dengan target
Kementerian Pertanian pada 2013 ini produksi padi meningkat 6 persen,
ditambah dengan CBP 2 juta ton maka tidak akan ada impor beras pada
tahun ini.
“Mudah-mudahan, tidak terjadi banjir
seperti tahun 2007, di mana waktu itu puso di sekitar Bengawan Solo
saja mencapai sekitar 100.000 ha,” kata Sutarto.
Ia menambahkan, jika pada
Januari-Februari terjadi banjir besar biasanya menyebabkan penurunan
produksi, sehingga harga beras di bulan Maret jatuh. Namun, pola
harga setiap tahun yaitu pada Februari-Maret akan turun, meskipun
pada Januari masih tinggi; sedangkan dari Maret-April harga akan
stabil hingga Mei-Juni.
Untuk tahun ini, menurut dia, harga beras
medium akan berada pada Rp 7.500-7.600 per kilogram, yaitu sekitar Rp
1.000 di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras yaitu Rp 6.600
per kilogram.
Terkait realisasi pengadaan gabah/beras
dalam negeri (DN), menurut Sutarto, hingga 31 Desember 2012 lalu
mencapai 3,66 juta ton atau yang tertinggi selama periode 2008-2012.
Untuk 2013 ini, dengan upaya maksimal, termasuk pengadaan dalam
negeri dengan strategi jaringan semut dengan serapan 40 persen,
dibantu dengan HPP yang disesuaikan, maka pengadaan gabah/beras dalam
negeri bisa mencapai 3,6 juta ton.
Impor Kedelai
Sutarto Alimuso memastikan bahwa pada
tahun ini impor kedelai masih akan terjadi, yaitu 70 persen dari
kebutuhan dalam negeri. Bahkan, hingga 2014 mendatang impor kedelai
masih cukup besar.
Padahal, target swasembada pangan,
termasuk di dalamnya komoditas kedelai, ditargetkan tercapai pada
2014. Faktanya, memang pada 2012 yang baru berlalu saja berbagai
target produksi pangan untuk beberapa komoditas bahkan setelah
direvisi pun tidak sanggup terpenuhi di tahun 2012. Seperti produksi
kedelai, target yang dibuat 1,9 juta ton, kemudian direvisi menjadi
1,1 juta ton dalam realisasinya hanya 780.000 ton.
Beberapa produk pangan yang tercapai
target produksinya melalui revisi adalah padi target awalnya 71 juta
ton, direvisi menjadi 67,83 juta ton, realisasinya terjadi surplus
yakni 67,96 juta ton. Demikian juga dengan jagung optimistis
ditargetkan mencapai 24 juta ton, direvisi menjadi 18,86 juta ton,
tercapai surplus dari revisi yakni 18,96 juta ton.
Menurut data BPS pada November 2012,
bahan pangan merupakan salah satu penyebab utama inflasi di
Indonesia, di mana angka inflasi 0,07 persen dipengaruhi terbesar
oleh kelompok makanan, minuman dan rokok.
Tak heran ketika harga
kedelai kembali melonjak tajam di pertengahan tahun ini memukul bukan
saja para perajin tahu dan tempe, namun konsumen pada umumnya.
Pemerintah pun segera menurunkan bea masuk (BM) kedelai menjadi 0
persen.
Langkah penurunan BM diambil karena 70
persen kebutuhan kedelai di Indonesia saat ini didapat dari impor.
Penyelesaian jangka pendek yang tak mampu memecahkan persoalan
panjang, penurunan bea masuk kedelai hingga 0 persen itulah justru
yang menjadi penyebab awal tingginya ketergantungan pada kedelai
impor.
Tahun 1999, pemerintah dengan kebijakan pasar bebasnya mulai
membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk hingga 0 persen
seperti tahun ini. Langkah tersebut menyebabkan pasar nasional
dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani
tertekan, petani banyak yang merugi dan memilih untuk beralih ke
tanaman lain atau terpaksa mencari pekerjaan di sektor lain.
Penghapusan BM kedelai impor
memengaruhi turunnya produksi kedelai dalam negeri, bahkan selama 10
tahun terakhir produksi kedelai nasional tak pernah lebih dari 1 juta
ton.
Sejak 2002 hingga 2011, produksi
kedelai nasional tertinggi hanya 974.512 ton pada 2010, sementara
kebutuhan nasional sudah mencapai 3 juta ton per tahun. Data BPS
menunjukkan impor kedelai pernah “hanya” 541 ton pada 1990. Angka
ini melonjak menjadi 2.088.616 ton dengan nilai Rp 5,9 triliun pada
2011 dan di triwulan I tahun 2012 sebesar 374,870 ton dengan nilai
US$ 202.421.000 atau setara dengan Rp 1,8 triliun.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia
(SPI), Henry Saragih kepada SH mengatakan, langkah strategis yang
perlu segera dilakukan ialah menggenjot peningkatan produksi lokal.
Gairah berproduksi kedelai harus ditingkatkan kembali dengan
memastikan insentif bagi petani yang menanam kedelai. Meningkatkan
luas lahan produksi dan memberikan pelatihan serta dukungan input
bagi para petani kedelai.
“Jika Menteri Pertanian belum lama
ini mengumumkan terdapat 2,1 juta hektare lahan produktif dari 7 juta
lahan telantar yang ada hari ini, mengapa lahan-lahan tersebut tidak
didistribusikan kepada para petani kedelai maupun tanaman pangan
lainnya untuk sungguh-sungguh kembali mencapai swasembada pangan di
Indonesia dan melepaskan ketergantungan dari pangan impor,”
ujarnya.
Impor Singkong dan Gandum
Impor tepung dan pati singkong
mencerminkan inkonsistensi kebijakan dan keberpihakan kepada rakyat
tani. Menurut Henry Saragih, Indonesia sebagai produsen singkong
terbesar di Asia yakni mencapai 28 juta ton melebihi Thailand 26,6
juta ton, namun tetap impor dengan berbagai dalih. Sisi lain dengan
mandeknya industri pedesaan yang terkait singkong atau ubi kayu ini
makin jauh untuk mengurangi importasi gandum dan terigu.
Padahal,
harapannya ubi kayu, sagu dan karbohidrat lainnya mampu mengurangi
ketergantungan 100 persen Indonesia dari produk olahan gandum dan
terigu impor. Itu artinya mandeknya diversifikasi pangan produk
lokal. Demikian juga jauhnya kesejahteraan petani singkong. Sebagai
contoh, singkong di Sukabumi hanya mampu dijual seharga maksimal Rp
600 per kg.
Gandum/terigu sebagai bahan pangan
telah memasuki segala aspek kehidupan setiap lapisan masyarakat di
Indonesia dalam kurang lebih empat dekade terakhir. Ketika program
diversifikasi pangan berbasis produk lokal mandek, pangan berbasis
terigu terus meningkat. Saat ini konsumsi gandum Indonesia per tahun
21 kg per kapita, terbesar kedua setelah beras.
Seluruh kebutuhan
gandum di Indonesia masih 100 persen diimpor, 1.382.187 ton dan
tepung terigu sebanyak 151.514 ton hanya pada triwulan I tahun 2012
saja, tahun 2011 total impor gandum Indonesia mencapai 5.648.065 ton
dengan nilai US$ 2,2 miliar membuat Indonesia menjadi importir gandum
terbesar kedua di dunia setelah Mesir.
Sementara itu, pangsa pasar
tepung terigu mencapai sekitar 4,8 juta ton di mana dari total
tersebut tepung terigu hasil olahan dalam negeri sekitar 86 persen
dan 14 persen sisanya impor langsung.
Banyaknya kebijakan dan program pangan
dan pertanian yang dicanangkan pemerintah seharusnya menjadi tanda
keseriusan pemerintah untuk membenahi sektor ini, termasuk
meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Ini karena di tengah
korporatisasi pertanian dan pangan sangat potensial petani
didiskriminasikan.
Dukungan bagi keluarga-keluarga petani yang telah
menyediakan kebutuhan pangan bagi jutaan penduduk negeri ini selama
puluhan tahun semakin hilang. Saat ini pemerintah justru menyerahkan
kepada korporasi pertanian untuk mengelola sumber agraria, termasuk
kehutanan dan memproduksi pangan bagi negeri ini.
Langkah konstitusional harus ditempuh,
yakni dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang pelaksanaan
Pembaruan Agraria di Indonesia seperti dalam bentuk Peraturan
Pemerintah tentang Reforma Agraria dan lainnya yang berlandaskan pada
UUPA No 5 Tahun 1960 dan UUD 1945.
Memberikan perlindungan dan
memenuhi hak petani atas akses terhadap sumber-sumber agraria, benih,
pupuk, teknologi, modal dan harga produksi pertanian dengan segera
membuat Undang-Undang Hak Asasi Petani, yang saat ini sedang dibahas
di DPR sesuai dengan yang telah diusulkan petani.
Dalam hal tata niaga dan perlindungan
harga, pemerintah Indonesia segera memfungsikan Badan Urusan Logistik
(Bulog) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia. Memastikan
pengendalian tata niaga, distribusi dari hasil produksi pangan petani
Indonesia, khususnya padi, kedelai, jagung, tepung-tepungan dan
minyak goreng.
Pemerintah juga harus menjadi pengendali seluruh impor
pangan yang berasal dari luar negeri. Hal ini berarti meneruskan
kebijakan pembatasan impor produk holtikultura dan daging sapi dengan
sistem kuota atau non-tariff barrier karena efektif menangkal
spekulasi dan menjaga harga layak di tangan petani.
Perlunya menyusun visi pembangunan
pertanian Indonesia dengan menempatkan petani dan pertanian rakyat
sebagai soko guru dari perekonomian di Indonesia, mengurangi peran
perusahaan besar dalam mengurus soal pertanian dan pangan, membangun
industri nasional berbasis pertanian, kelautan, dan keanekaragaman
hayati Indonesia yang sangat kaya ini.
Dengan demikian, memungkinkan
usaha-usaha mandiri, pembukaan lapangan kerja, dan tidak tergantung
pada pangan impor.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar