Selasa, 08 Januari 2013

Menguji Konsistensi Kebijakan di Sektor Pertanian

7 Januari 2013

Politik anggaran pada 2013 harus mendukung diversifikasi pangan.

JAKARTA – Cita-cita luhur para pendiri bangsa dan seluruh rakyat Indonesia sepanjang sejarah negara agraris ini untuk mencapai kemerdekan terutama di bidang pertanian, tentunya harus disertai dengan konsistensi kebijakan di sektor pertanian. Memasuki 2013 ini konsistensi tersebut akan kembali diuji.
Namun, tentunya selalu ada harapan baru bagi pemerintah dan rakyat Indonesia khususnya para petani untuk mencapai kesejahteraan di sektor pertanian. Hal itu hanya dapat terwujud jika negara agraris ini memiliki kedaulatan, sehingga tercapailah kemandirian di sektor pangan dan pertanian.
Kedaulatan bagi petani harus terwujud dalam akses dan kontrol atas tanah, air, benih, serta adanya perlindungan harga produk pertanian bagi para petani kecil terhadap serbuan pangan impor murah yang menyebabkan anjloknya harga produk pertanian dalam negeri. Selain itu, politik anggaran pada 2013 harus mendukung diversifikasi pangan.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Riza Damanik kepada SH mengatakan target pemerintah untuk melakukan diversifikasi produk pangan masih sulit tercapai di 2013. Hal ini ditandai dengan lemahnya politik anggaran dalam APBN 2013.
Menurutnya, alokasi APBN 2013 untuk penguatan ketahanan pangan naik sekitar tiga kali lipat, yakni dari Rp 23,3 triliun pada 2007 menjadi Rp 63,2 triliun di 2013. Alokasi tersebut masih terbatas untuk peningkatan produktivitas tanaman pangan terutama padi dan palawija; sedangkan untuk pangan perikanan masih belum mendapat perhatian.
Padahal, jika saja pemerintah dapat memperbesar kapasitas pengelolaannya di sektor pangan perikanan, dengan sendirinya dapat mengurangi ketergantungan pada impor pangan, baik dari pertanian, peternakan, maupun perikanan itu sendiri.
Upaya ini seharusnya tidak sulit dilakukan pemerintah sebab UU Pangan terbaru No 18 Tahun 2012 telah memberi kedudukan yang sama atas kepentingan dan prioritas negara dalam menjamin peningkatan kapasitas sektor pangan pertanian maupun perikanan, termasuk bagi pelakunya yaitu petani dan nelayan.
“Untuk itu saatnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberi dukungan penuh kepada organisasi nelayan dan petambak agar dapat berperan maksimal mengelola lumbung-lumbung ikan rakyat. Hal ini dapat dimulai dengan memastikan akses permodalan, pendidikan dan pelatihan, hingga kesuburan lingkungan dan perairan dapat terpenuhi,” ujarnya.
Impor Beras
Konsistensi kebijakan pertanian juga diharapkan di komoditas beras sebagai komoditas pangan politis di Tanah Air. Ironi sebuah negeri beras. SH mencatat di setiap awal tahun pemerintah selalu menargetkan tak akan mengambil kebijakan impor beras.
Setiap tahun pula Kementerian Pertanian menjamin adanya surplus produksi beras di masyarakat, sehingga impor beras memang tidak diperlukan. Faktanya, impor beras tetap saja dilakukan demi menjaga stok beras pemerintah. Perum Bulog setiap tahun menargetkan harus ada stok cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 2 juta ton.
Dirut Perum Bulog, Sutarto Alimuso, kepada SH menjelaskan impor atau tidak impor akan ditentukan beberapa faktor. Pertama, perkembangan harga beras yang erat kaitannya dengan hubungan antara penawaran (suplai) dan permintaan (demand). Kedua, ramalan produksi, di mana ramalan bisa saja tinggi tapi fluktuasi harga pun bisa tinggi.
Ketiga, stok Bulog tergerus atau tidak. Jika stok Bulog tergerus itu artinya penawaran dan permintaan terganggu, sehingga diperlukan tambahan stok. “Kalau angka produksi padi tahun ini rencananya naik 6 persen oke saja, tapi harganya stabil atau tidak?” ujar Sutarto menjawab pertanyaan SH saat paparan awal tahun kinerja Perum Bulog, baru-baru ini.
Namun, Sutarto optimistis dengan target Kementerian Pertanian pada 2013 ini produksi padi meningkat 6 persen, ditambah dengan CBP 2 juta ton maka tidak akan ada impor beras pada tahun ini.
“Mudah-mudahan, tidak terjadi banjir seperti tahun 2007, di mana waktu itu puso di sekitar Bengawan Solo saja mencapai sekitar 100.000 ha,” kata Sutarto.
Ia menambahkan, jika pada Januari-Februari terjadi banjir besar biasanya menyebabkan penurunan produksi, sehingga harga beras di bulan Maret jatuh. Namun, pola harga setiap tahun yaitu pada Februari-Maret akan turun, meskipun pada Januari masih tinggi; sedangkan dari Maret-April harga akan stabil hingga Mei-Juni.
Untuk tahun ini, menurut dia, harga beras medium akan berada pada Rp 7.500-7.600 per kilogram, yaitu sekitar Rp 1.000 di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras yaitu Rp 6.600 per kilogram.
Terkait realisasi pengadaan gabah/beras dalam negeri (DN), menurut Sutarto, hingga 31 Desember 2012 lalu mencapai 3,66 juta ton atau yang tertinggi selama periode 2008-2012. Untuk 2013 ini, dengan upaya maksimal, termasuk pengadaan dalam negeri dengan strategi jaringan semut dengan serapan 40 persen, dibantu dengan HPP yang disesuaikan, maka pengadaan gabah/beras dalam negeri bisa mencapai 3,6 juta ton.
Impor Kedelai
Sutarto Alimuso memastikan bahwa pada tahun ini impor kedelai masih akan terjadi, yaitu 70 persen dari kebutuhan dalam negeri. Bahkan, hingga 2014 mendatang impor kedelai masih cukup besar.
Padahal, target swasembada pangan, termasuk di dalamnya komoditas kedelai, ditargetkan tercapai pada 2014. Faktanya, memang pada 2012 yang baru berlalu saja berbagai target produksi pangan untuk beberapa komoditas bahkan setelah direvisi pun tidak sanggup terpenuhi di tahun 2012. Seperti produksi kedelai, target yang dibuat 1,9 juta ton, kemudian direvisi menjadi 1,1 juta ton dalam realisasinya hanya 780.000 ton.
Beberapa produk pangan yang tercapai target produksinya melalui revisi adalah padi target awalnya 71 juta ton, direvisi menjadi 67,83 juta ton, realisasinya terjadi surplus yakni 67,96 juta ton. Demikian juga dengan jagung optimistis ditargetkan mencapai 24 juta ton, direvisi menjadi 18,86 juta ton, tercapai surplus dari revisi yakni 18,96 juta ton.
Menurut data BPS pada November 2012, bahan pangan merupakan salah satu penyebab utama inflasi di Indonesia, di mana angka inflasi 0,07 persen dipengaruhi terbesar oleh kelompok makanan, minuman dan rokok.
Tak heran ketika harga kedelai kembali melonjak tajam di pertengahan tahun ini memukul bukan saja para perajin tahu dan tempe, namun konsumen pada umumnya. Pemerintah pun segera menurunkan bea masuk (BM) kedelai menjadi 0 persen.
Langkah penurunan BM diambil karena 70 persen kebutuhan kedelai di Indonesia saat ini didapat dari impor. Penyelesaian jangka pendek yang tak mampu memecahkan persoalan panjang, penurunan bea masuk kedelai hingga 0 persen itulah justru yang menjadi penyebab awal tingginya ketergantungan pada kedelai impor.
Tahun 1999, pemerintah dengan kebijakan pasar bebasnya mulai membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk hingga 0 persen seperti tahun ini. Langkah tersebut menyebabkan pasar nasional dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani tertekan, petani banyak yang merugi dan memilih untuk beralih ke tanaman lain atau terpaksa mencari pekerjaan di sektor lain.
Penghapusan BM kedelai impor memengaruhi turunnya produksi kedelai dalam negeri, bahkan selama 10 tahun terakhir produksi kedelai nasional tak pernah lebih dari 1 juta ton.
Sejak 2002 hingga 2011, produksi kedelai nasional tertinggi hanya 974.512 ton pada 2010, sementara kebutuhan nasional sudah mencapai 3 juta ton per tahun. Data BPS menunjukkan impor kedelai pernah “hanya” 541 ton pada 1990. Angka ini melonjak menjadi 2.088.616 ton dengan nilai Rp 5,9 triliun pada 2011 dan di triwulan I tahun 2012 sebesar 374,870 ton dengan nilai US$ 202.421.000 atau setara dengan Rp 1,8 triliun.
 
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih kepada SH mengatakan, langkah strategis yang perlu segera dilakukan ialah menggenjot peningkatan produksi lokal. Gairah berproduksi kedelai harus ditingkatkan kembali dengan memastikan insentif bagi petani yang menanam kedelai. Meningkatkan luas lahan produksi dan memberikan pelatihan serta dukungan input bagi para petani kedelai.
“Jika Menteri Pertanian belum lama ini mengumumkan terdapat 2,1 juta hektare lahan produktif dari 7 juta lahan telantar yang ada hari ini, mengapa lahan-lahan tersebut tidak didistribusikan kepada para petani kedelai maupun tanaman pangan lainnya untuk sungguh-sungguh kembali mencapai swasembada pangan di Indonesia dan melepaskan ketergantungan dari pangan impor,” ujarnya.
Impor Singkong dan Gandum
Impor tepung dan pati singkong mencerminkan inkonsistensi kebijakan dan keberpihakan kepada rakyat tani. Menurut Henry Saragih, Indonesia sebagai produsen singkong terbesar di Asia yakni mencapai 28 juta ton melebihi Thailand 26,6 juta ton, namun tetap impor dengan berbagai dalih. Sisi lain dengan mandeknya industri pedesaan yang terkait singkong atau ubi kayu ini makin jauh untuk mengurangi importasi gandum dan terigu.
Padahal, harapannya ubi kayu, sagu dan karbohidrat lainnya mampu mengurangi ketergantungan 100 persen Indonesia dari produk olahan gandum dan terigu impor. Itu artinya mandeknya diversifikasi pangan produk lokal. Demikian juga jauhnya kesejahteraan petani singkong. Sebagai contoh, singkong di Sukabumi hanya mampu dijual seharga maksimal Rp 600 per kg.
Gandum/terigu sebagai bahan pangan telah memasuki segala aspek kehidupan setiap lapisan masyarakat di Indonesia dalam kurang lebih empat dekade terakhir. Ketika program diversifikasi pangan berbasis produk lokal mandek, pangan berbasis terigu terus meningkat. Saat ini konsumsi gandum Indonesia per tahun 21 kg per kapita, terbesar kedua setelah beras.
Seluruh kebutuhan gandum di Indonesia masih 100 persen diimpor, 1.382.187 ton dan tepung terigu sebanyak 151.514 ton hanya pada triwulan I tahun 2012 saja, tahun 2011 total impor gandum Indonesia mencapai 5.648.065 ton dengan nilai US$ 2,2 miliar membuat Indonesia menjadi importir gandum terbesar kedua di dunia setelah Mesir.
Sementara itu, pangsa pasar tepung terigu mencapai sekitar 4,8 juta ton di mana dari total tersebut tepung terigu hasil olahan dalam negeri sekitar 86 persen dan 14 persen sisanya impor langsung.
 Banyaknya kebijakan dan program pangan dan pertanian yang dicanangkan pemerintah seharusnya menjadi tanda keseriusan pemerintah untuk membenahi sektor ini, termasuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Ini karena di tengah korporatisasi pertanian dan pangan sangat potensial petani didiskriminasikan.
Dukungan bagi keluarga-keluarga petani yang telah menyediakan kebutuhan pangan bagi jutaan penduduk negeri ini selama puluhan tahun semakin hilang. Saat ini pemerintah justru menyerahkan kepada korporasi pertanian untuk mengelola sumber agraria, termasuk kehutanan dan memproduksi pangan bagi negeri ini.
Langkah konstitusional harus ditempuh, yakni dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang pelaksanaan Pembaruan Agraria di Indonesia seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria dan lainnya yang berlandaskan pada UUPA No 5 Tahun 1960 dan UUD 1945.
Memberikan perlindungan dan memenuhi hak petani atas akses terhadap sumber-sumber agraria, benih, pupuk, teknologi, modal dan harga produksi pertanian dengan segera membuat Undang-Undang Hak Asasi Petani, yang saat ini sedang dibahas di DPR sesuai dengan yang telah diusulkan petani.
Dalam hal tata niaga dan perlindungan harga, pemerintah Indonesia segera memfungsikan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia. Memastikan pengendalian tata niaga, distribusi dari hasil produksi pangan petani Indonesia, khususnya padi, kedelai, jagung, tepung-tepungan dan minyak goreng.
Pemerintah juga harus menjadi pengendali seluruh impor pangan yang berasal dari luar negeri. Hal ini berarti meneruskan kebijakan pembatasan impor produk holtikultura dan daging sapi dengan sistem kuota atau non-tariff barrier karena efektif menangkal spekulasi dan menjaga harga layak di tangan petani.
Perlunya menyusun visi pembangunan pertanian Indonesia dengan menempatkan petani dan pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian di Indonesia, mengurangi peran perusahaan besar dalam mengurus soal pertanian dan pangan, membangun industri nasional berbasis pertanian, kelautan, dan keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya ini.
Dengan demikian, memungkinkan usaha-usaha mandiri, pembukaan lapangan kerja, dan tidak tergantung pada pangan impor.
Sumber : Sinar Harapan
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar