Jum'at, 26 Oktober 2012
JAKARTA--- Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengatakan bahwa
pemerintah, dalam menindak lanjuti disahkannya Undang-Undang Pangan,
tidak perlu menerbitkan peraturan pembatasan konversi lahan pangan
menjadi non-pangan.
"Sebetulnya sudah ada Undang-Undang Agraria yang menegaskan bahwa tanah
berfungsi sosial, jadi aturan teknis konversi lahan tidak diperlukan,"
kata Wakil Ketua HKTI Rachmat Pambudy saat dihubungi di Jakarta, Kamis
(25/10/2012)
Rachmat menjelaskan, salah satu turunan dari fungsi sosial tanah dalam
Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960 adalah tanah untuk
kepentingan orang banyak, salah satunya adalah pangan.
"Oleh karena itu UU Agraria harus diutamakan jika terjadi konversi lahan
pangan, namun undang-undang tersebut selama ini memang tidak
diimplementasikan oleh pemerintah," kata Rachmat.
Konversi lahan pertanian ditengarai sebagai salah satu sebab tingginya
impor komoditas pangan di Indonesia. Pada 2011 lalu, Indonesia mengimpor
beras sebanyak 2,75 juta ton dengan nilai 1,5 miliar dolar AS.
Sementara di sisi lain, Menteri Pertanian Suswono memperkirakan, 100
ribu hektare pertanian telah dikonversi menjadi kawasan baru setiap
tahunnya. Padahal selain sudah ada UU Agraria, juga terdapat payung
hukum lain untuk mengerem laju konversi lahan pertanian yaitu, UU No 41
tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Menanggapi hal tersebut, Rachmat mengatakan bahwa Undang-Undang Pangan
yang baru disahkan adalah langkah baik bagi DPR dan pemerintah untuk
memikirkan kedaulatan dan ketahanan pangan.
"Namun UU itu harus segera diikuti oleh Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan teknisnya," katanya.
Rachmat juga mengingatkan bahwa yang paling penting dari Undang-Undang
Pangan adalah implementasinya karena tanpa hal tersebut, sebaik apa pun
produk hukumnya tetap tidak akan berguna bagi masyarakat
banyak.(Antara/msb)
http://www.bisnis.com/articles/uu-pangan-aturan-pembatasan-konversi-lahan-tidak-perlu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar