Jumat, 26 Oktober 2012

Pemimpin yang Rela Berkorban

Jumat, 26 Oktober 2012
HARI ini sekitar dua setengah juta umat Islam dari berbagai belahan dunia berhimpun di Padang Arafah, di luar kota Makkah. Mereka melaksanakan wukuf, puncak ibadah haji.

Dengan pakaian ihram di tenda-tenda besar di bawah terik sinar matahari, mereka bertakbir, bertahmid, bertasbih, dan bertalbiyah, menyeru kebesaran asma Allah.

Seusai puncak ibadah haji itu, besok, umat Islam di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha, 10 Zulhijjah 1433 H. Ratusan juta ekor hewan kurban pun disembelih, dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang berhak.

Idul Adha adalah hari ketika manusia dituntut melakukan sebuah pengorbanan besar dalam kehidupan. Ia adalah hari ketika nilai-nilai kepatuhan dan keikhlasan saat menjalankan perintah Allah SWT diperagakan.

Ia adalah hari ketika Nabi Ibrahim AS memberikan teladan. Ia juga menjadi salah satu monumen terbesar umat manusia untuk menandai betapa dalam menjalankan perintah Sang Pencipta, manusia harus ikhlas merelakan apa pun yang paling berharga dalam hidup. Termasuk melepas anak terkasih bila itu memang dikehendaki Sang Khalik.

Itulah semangat pengorbanan yang teramat relevan untuk diterapkan dalam seluruh sendi-sendi kehidupan, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang kini sangat mengalami degradasi.

Mengalami degradasi karena yang jauh lebih menonjol pada hari-hari ini ialah semangat untuk menang sendiri, kaya sendiri, berkuasa sendiri, benar sendiri, kuat sendiri, dan populer sendiri, tanpa mempedulikan kebenaran, keadilan, dan penderitaan rakyat.

Para pemimpin yang diharapkan untuk menjadi teladan dalam berkorban bagi rakyatnya dengan mengedepankan kepentingan publik, telah lama mengalami retardasi moral dan sosial, sehingga mereka justru lebih mengedepankan kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan golongan.

Hari-hari ini, kita menyaksikan, banyak pemimpin yang lebih suka mengorbankan bawahan demi menyelamatkan diri dan kelompok. Kita juga menyaksikan semakin banyak pemimpin yang gagal namun tidak mengakui kegagalan itu dan memilih menimpakan kegagalan itu sebagai kegagalan bawahan.

Tidak pernah ada pemimpin di negeri ini yang mengakui ia gagal. Tidak pernah pula ada pemimpin yang mengakui ia bersalah. Yang ada ialah bawahan yang gagal, bawahan yang bersalah. Karena itu, bawahanlah atau rakyatlah yang lebih banyak dikorbankan oleh pemimpin.

Kita tidak pernah menyaksikan ada pejabat publik di negeri ini yang mengundurkan diri karena merasa gagal. Yang ada ialah para pemimpin dan pejabat yang merasa benar dan ingin terus berkuasa.

Idul Adha dapat menjadi cermin untuk berkaca dan mengukur derajat pengorbanan yang telah kita lakukan. Ia menjadi kesempatan untuk menziarahi altruisme dan memerangi egosentrisme.

Kita merindukan pemimpin yang menjiwai semangat Idul Adha, kita menginginkan pemimpin yang rela berkorban demi rakyatnya.
 
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/10/26/358480/70/13/Pemimpin-yang-Rela-Berkorban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar