Senin, 22 Oktober 2012

Indonesia Lumbung Pangan

Senin, 22 Oktober 2012 
Di tengah hiruk-pikuk berita korupsi dan hari-hari pertama Jokowi-Ahok memimpin Jakarta, DPR RI mengesahkan RUU tentang Pangan menjadi undang- undang. Peristiwa bersejarah ini ditenggelamkan oleh isu korupsi yang dinilai jauh lebih ‘seksi’. Media massa mungkin benar. Korupsi adalah kanker yang menggerogoti kesehatan bangsa dari dalam.

Jika tidak bisa ditekan, negeri ini akan terpuruk di tengah persaingan global yang makin sengit. Tapi, kehadiran UU tentang Pangan yang baru —menggantikan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan— tidak kalah penting. Sebagai negara yang menjunjung tinggi rule of law, kehadiran UU Pangan yang baru memiliki arti penting. UU ini menjadi dasar hukum bagi para penyelenggara Negara untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat akan pangan. Ini menjadi dasar hukum bagi rakyat untuk menuntut para penyelenggara negara menjaga ketahanan pangan dan mendapatkan pangan pada tingkat harga yang wajar.

Pada masa akan datang, food security atau ketahanan pangan menjadi isu paling penting di samping energy security. Penghuni bumi yang sudah mencapai 7 miliar akan terus bertambah. Kebutuhan akan pangan kian besar. Saat ini saja, lebih dari 20% penduduk bumi atau 1,7 miliar penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka bukan saja hidup dengan gizi buruk, melainkan kelaparan setiap hari. Sementara negaranya tidak mampu memberikan subsidi untuk meningkatkan nutrisi rakyatnya.

Ketahanan pangan tidak berarti tak ada impor bahan pangan dan produk pangan. Ketahanan pangan artinya kemampuan sebuah negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya akan pangan, termasuk saat impor pangan dan produk pangan ke Negara itu diembargo oleh negara eksportir. Ketahanan pangan Indonesia saat ini belum cukup kuat. Impor kedelai, gula, gandum, bahkan beras terjadi setiap tahun. Buah impor nyaris menguasai pasar dalam negeri. Jika ada embargo atau ada kelangkaan pangan di pasar global, Indonesia akan sangat terpukul.

Kita bisa memahami bahwa impor pangan tidak bisa dinolkan sama sekali. Dalam era  globalisasi, liberalisasi perdagangan, dan tingginya interdepensi antarnegara, impor akan tetap ada. Rakyat kita —seperti pun rakyat negara lain- perlu merasakan jenis buah-buahan dan sayuran tertentu yang tidak ada di negerinya. Tanpa impor, orang Indonesia yang tidak bisa ke luar negeri tak pernah bisa merasakan nikmatnya apel dan anggur Selandia Baru.

Ada juga jenis pangan kita yang sangat tergantung pada impor, yakni gandum, kedelai, dan gula. Ketergantungan masyarakat Indonesia akan mie sudah sangat tinggi. Sampai hari ini, belum ada bahan pangan yang bisa menggantikan gandum sebagai bahan baku mie dengan tingkat harga yang relatif terjangkau rakyat. Pabrik tahu dan tempe rakyat akan gulung tikar jika keran impor kedelai dihentikan. Ketergantungan orang Indonesia juga sangat tinggi yang hingga kini baru sekitar 60% dipenuhi oleh produksi dalam negeri.

Ketahanan pangan Indonesia diukur saat impor pangan ke negeri kita diembargo. Pada saat seperti itu, mampukah bangsa ini bertahan tanpa gejolak. Ukuran lain adalah saat harga pangan di pasar internasional melonjak tajam akibat lonjakan permintaan dan menurunnya pasokan pangan. Jika pada saat yang sama, produksi dalam negeri menurun, harga pangan akan melesat tak terkendali. Situasi seperti ini takkan bisa dikendalikan pemerintah, sehingga berbagai hal tidak diinginkan bisa terjadi.

Rakyat jelata tidak bisa berkompromi soal perut. Bung Karno jatuh karena meroketnya harga beras. Pak Harto tumbang karena harga beras yang melesat tajam tidak bisa dijangkau kaum jelata. Semua negara besar dan kuat memberikan prioritas tinggi pada pangan. Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa memberikan subsidi besar kepada para petani demi ketahanan pangan.

Revisi UU Pangan saja tidak cukup. Indonesia harus memberikan prioritas tinggi terhadap masalah food security dan memberikan solusi dari berbagai aspek. Untuk kemandirian pangan, pertama, Indonesia harus membereskan masalah lahan. Lahan untuk produksi pangan harus ditambah dan dipastikan tidak ada lagi konversi lahan pertanian untuk kepentingan permukiman, real estate, dan industri. Selain reformasi agraria, pemerintah harus mempercepat pembuatan tata ruang setiap provinsi dan kabupaten. Hanya dengan tata ruang, lahan pertanian dan perkebunan bisa dikendalikan.  Alam yang subur dan lahan yang cukup luas mendukung Indonesia sebagai lumbung pangan dunia, minimal bagi rakyat Indonesia.

Ketiga, gerakan sistematis dan konsisten diversifikasi pangan. Pangan Indonesia tidak hanya beras, melainkan juga jagung, singkong, berbagai jenis ubi-ubian, sagu, sukun, dan banyak lagi. Jika ketergantungan terhadap beras turun 10% saja, Indonesia tidak perlu impor. Konsumsi beras per kapita Indonesia 135 per tahun, dan itu merupakan konsumsi tertinggi di dunia.

Keempat, dominasi gandum dalam pembuatan mie harus dikurangi lewat pengembangan mie dari singkong dan ubi-ubian. Bila upaya ini berhasil, embargo gandum tidak ada masalah. Universitas dan sejumlah lembaga penelitian bisa dilibatkan untuk tujuan ini.

Kelima, kebutuhan akan kedelai dan gula bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri jika ada keseriusan pemerintah. Indonesia masih memiliki cukup lahan untuk mengembangkan kedua produk ini. Kedelai dalam negeri menghasilkan tahu dan tempe yang lebih gurih dibanding kedelai impor.

Ketujuh, perkuat Bulog sebagai Badan Otoritas Pangan (BOP) sebagaimana diamanatkan UU Pangan. BOP bertanggung terhadap penyediaan dan distribusi pangan. Fungsi badan ini sesuai peran Perum Bulog selama ini, yakni sebagai badan penyangga pangan dan stabilisator harga pangan. Presiden sudah memutuskan Bulog bertanggung jawab teradap lima komoditas pangan, yakni beras, gula, jagung, kedelai, dan daging.

Sebelumnya, sejak 1998, Bulog hanya menangani beras dan gula. Agar tidak menjadi sapi perahan dan korban persaingan sejumlah kementerian, Bulog perlu ditempatkan langsung di bawah presiden. Sangat ironis jika Indonesia tidak memiliki ketahanan pangan. Dengan potensi yang dimiliki, Indonesi sesungguhnya mampu menjadi lumbung pangan dunia, tidak sekadar memiliki ketahanan pangan. (*)


http://www.investor.co.id/tajuk/indonesia-lumbung-pangan/47334 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar