Senin, 22 Oktober 2012
JAKARTA (Suara Karya): Undang-Undang (UU) Pangan yang baru disahkan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menjamin terwujudnya pemenuhan hak
atas pangan masyarakat.
Manajer Advokasi Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said
Abdullah di Jakarta, kemarin, mengatakan, secara umum, UU Pangan lebih
banyak mengatur soal industri pangan, terutama pada sisi konsumsi.
Terutama pengaturan akan syarat, tata cara, dan pemasaran produk pangan
yang diatur. Adanya pengaturan ini menunjukkan bahwa pangan masih dipandang sebagai
komoditas dan pasar menjadi media pemenuhannya. Padahal kenyataannya
saat ini justru pasar yang menyebabkan distorsi dalam distribusi serta
terhalanginya pemenuhan hak atas pangan. Menurut dia, UU Pangan memberikan banyak tanggungjawab dan kewajiban
kepada pemerintah selaku pengemban. Namun jika dilihat secara
keseluruhan, tidak ditemukan satu pasal yang memungkinkan masyarakat
atau rakyat meminta pertanggungjawaban jika kewajiban tersebut gagal
dilakukan.Dalam UU Pangan ini tidak diatur soal mekanisme tanggung gugat negara
oleh rakyatnya. Padahal dalam pendekatan hak atas pangan, mekanisme
tanggung gugat menjadi keharusan. Ini sebagai alat untuk mengendalikan
serrta memastikan terpenuhinya hak rakyat atas pangan.Untuk mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan, UU ini
mengamanatkan pembentukan kelembagaan pangan yang menangani bidang
pangan serta berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Lembaga ini bertugas mengurus pangan yang meliputi produksi lokal maupun
impor.Padahal selama ini, lanjutnya, kelembagaan pangan menjadi salah satu
akar persoalan. Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang secara teknis diserahi
mengurus ketahanan pangan tidak cukup punya kuasa politik ketika
berhadapan dengan kementerian terkait. Sementara Dewan Ketahanan Pangan
yang berada pada tataran politis tidak punya visi kuat untuk mendorong
pemangku kepentingan terlibat dalam urusan pangan."Pertanyaannya apakah dengan dibentuk lembaga baru dapat mengatasi
persoalan yang selama ini ada. Atau justru memperberat situasi dan
persoalan kusutnya birokrasi. Harus disadari bahwa persoalan pangan
merupakan lintas sektor. Sebuah kemustahilan jika persoalan pangan dapat
diselesaikan oleh hanya satu sektor atau kementerian saja," kata Sekjen
Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) ini.Lebih jauh dia mengungkapkan, pengalaman selama ini menunjukkan
ketidak-seiramaan antara kementerian-kementerian terkait dalam upaya
mewujudkan ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan. Untuk itu
diperlukan kelembagaan pangan yang bisa mengkoordinasikan, mengatur, dan
mengarahkan lintas kementerian terkait pangan.
"Jika tidak, rasanya persoalan koordinasi dan ego sektoral tetap jadi
bibit penyakit untuk pencapaian cita-cita yang diamanatkan Undang-Undang
Pangan yang baru," tutur Said. (Joko Sriyono)
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=313883
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar