Jumat, 13 Maret 2015

Revolusi Peran Perum Bulog (5)

Jum'at, 13 Maret 2015

Pengantar:
NAIKNYA harga beras di awal 2015 disebut merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah bangsa ini. Diduga salah satu penyebabnya adalah jaringan para mafia beras yang menguasai gudang penyimpanan beras milik Badan Urusan Logistik (Bulog). Tim investigasi Media Indonesia menelusuri carut marut peredaran beras ini dan melaporkannya dalam enam tulisan mulai Senin (9/3)  ini merupakan tulisan kelima.
------------------------

PERAN Perum Bulog dalam stabilisasi harga beras harus ditingkatkan, bukan sekadar menjadikan petani sebagai alat produksi dan mengeksploitasi alam tanpa efek kesejahteraan bagi petani.  Salah satu contohnya adalah harga pembelian pemerintah (HPP) yang tidak pernah berubah sejak 2012. Padahal inflasi dan kenaikan harga-harga komoditas lainnya sudah terjadi berkali-kali sejak 2012.

Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia (Wamti) Agusdin Pulungan setuju dengan tekad pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghentikan impor dalam mencukupi kebutuhan dalam negeri. Namun  harus dibarengi dengan pemberantasan mafia beras yang sungguh-sungguh dari pemerintah.

Sebab, lanjut dia, dalam distribusi beras yang melibatkan Bulog dan intansi terkait  dengan pihak swasta merupakan bagian dari kartel mafia beras. ''Memang bukan Bulog sebagai institusi, tetapi pejabat pemerintah yang memanfaatkan Bulog dan pejabat Bulog yang mengambil kesempatan,'' kata dia.

Dari temuan Wamti,  kartel/mafia beras sudah ada di Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta. Mereka melakukan modus operandi dalam dua kesempatan. Pertama melalui operasi pasar beras. Kedua, melalui impor beras. Kedua modus tersebut melalui satu pintu, yakni Bulog.

Biasanya saat impor beras, jelas dia, jumlah yang tertera dalam manifest impor tidak sesuai dengan barang yang dikirim. Lebih banyak barang yang dikirim, kelebihan itu masuk ke distributor beras melalui Pasar Induk Beras Cipinang. Di sini sudah ada pedagang besar yang menampungnya.

Penyelewengan juga biasa dilakukan saat operasi pasar. Beras operasi pasar dibeli atau diborong oleh pedagang besar.  Beras tersebut disimpan di gudang yang ada di Pasar Induk Beras Cipinang. Di sana beras tersebut dioplos dan dikemas dengan merek baru. ''Ini kasus pidana,penipuan. Gudangnya sangat tertutup karena dibekingi aparat. Dulu yang beking orang Bulog,'' ujar Agusdin.

Mafia beras, jelasnya, mengatur harga beras untuk operasi pasar. Dari Bulog, beras tersebut dibanderol  Rp6.800/kg, dijual ke toko yang ikut dalam operasi pasar Rp7.600/kg. Toko-toko yang tidak mau, tidak akan diberi jatah beras tersebut. ''Mereka juga membuat toko beras fiktif, seolah-olah mereka menyalurkan beras ke sana,'' jelas dia.

Untuk mengatasi masalah ini, sistem yang ada di Bulog harus dibongkar habis. Sehingga, ke depan, Bulog harus memiliki toko beras di tingkat kabupaten bahkan kecamatan. ''Jika memungkinkan, di setiap pasar rakyat ada toko Bulog yang menjual beras. Toko tersebut juga berperan sebagai penyerapan gabah/beras petani di desa-desa.  Lebih baik jika toko tersebut dikelola oleh usaha pedesaan yang dikelola oleh petani/kelompok tani,'' papar dia.

Dengan kebijakan itu, dia meyakini dapat menghasilkan dua manfaat. Pertama, akan menguatkan petani karena kepastian harga produksi tidak turun. Kedua, menguntungkan konsumen karena harganya bisa dikendalikan pemerintah dan tidak melonjak-lonjak. Kebijakan itu,  sudah dilakukan oleh Malaysia, Singapura, Australia dan Amerika Serikat. Terbukti di negara-negara itu  komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak bisa dikendalikan.


http://www.mediaindonesia.com/investigasi/read/9088/Revolusi-Peran-Perum-Bulog-5/2015/03/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar