Senin, 05 Januari 2015

SPEKTRUM: Raskin, Uang, Dan Keamanan Pangan

Senin, 5 Januari 2015

Polemik beras untuk rakyat miskin atau populer dengan raskin itu ‘berakhir’ sudah. Pemerintah memutuskan untuk mengganti dengan uang alias electronic money (e-money).

Namun , kebijakan e-money yang mulai diterapkan awal tahun ini itu diterapkan secara bertahap. Artinya, pemerintah tidak secara drastis mengganti jatah raskin dengan uang. Pro dan kontra sebelumnya mencuat dari wacana penghapusan program raskin.

Pertimbangan pemerintah menghapus raskin karena selama ini dinilai banyak penyimpangan dan tidak tepat sasaran. Bahkan, banyak sekali rumah tangga sasaran penerima menjual raskin karena dianggap tidak layak alias mutunya.

Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan program raskin tidak sesuai dengan 6 T, yaitu tepat sasaran, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat harga, dan tepat administrasi.

Pemerintah juga berdalih pemberian uang memungkinkan sebagian warga miskin untuk merintis usaha kecil-kecilan di desanya, seperti berdagang sembako. Selama ini setiap rumah tangga sasaran (RTS) menerima 15 kg per bulan.

Jika diuangkan, setara dengan Rp65.000.000 per bulan. Itu dengan asumsi harga raskin Rp5.800-Rp6.000 per kg dikurangi uang tebus raskin Rp1.800 per kg.

Sebaliknya, pihak yang kontra mengungkapkan penghapusan raskin akan menggangu ketahanan dan keamanan pangan dan hilangnya jaring pengaman sosial bagi warga miskin.

Selain itu dikhawatirkan akan menyuburkan aksi para spekulan dengan menimbun beras jika Perum Bulog tidak lagi melakukan pengadan beras raskin pada saat musim panen.

Bagi petani juga sangat rentan karena harga gabah di lapangan selama ini ditentukan oleh besar kecilnya penyerapan oleh Bulog.

Raskin yang didesain pada 15 tahun silam untuk mendukung ketersediaan pangan warga miskin pascakrisis 1998.

Jumlah RTS kini mencapai 15,5 juta .

Raskin harus dilihat satu visi dan misi dengan ketahanan pangan. Sebaliknya, ketahanan pangan terkait dengan stabilitas dan aksesibilitas.

Namun, fakta di lapangan banyak sekali penyelewengan dan sejumlah oknum dibui karena terbukti mempermainkan raskin.

Sebaliknya, jika raskin dihapus secara matematis akan mempengaruhi pengadaan beras Bulog. Itu artinya, Bulog kehilangan ‘sebagian besar pekerjaan’, karena pagu raskin pada 2013, misalnya mencapai 2,79 juta ton.

Bulog menyalurkan raskin di 58.336 titik sasaran di seluruh Indonesia.

Hal itu sejalan dengan tugas Bulog untuk menjaga ketersediaan, keterjangkauan beras terkait dengan raskin.

Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar mengantisipasi dampak penghapusan raskin dan mempersiapkan sistem dan kebijakan agar e-money pengganti raskin tidak bocor.

Dipastikan juga e-money benar-benar dimanfaatkan untuk usaha produktif . Pemerintah juga harus punya data base yang kuat berapa banyak sebenarnya RTS yang menjual beras raskin dan berapa banyak yang sesungguhnya mengkonsumsi raskin.

Pemerintah harus memberikan penyuluhan dan pendampingan bagi warga miskin yang ingin memanfaatkan e-money untuk modal usaha.

Jangan sampai uang habis untuk keperluan lain, warga miskin tidak punya beras untuk dimakan. Ini akan menjadi blunder serius.

Sebaliknya, Perum Bulog tidak perlu lagi menyesali hilangnya ‘bisnis’ raskin.

Inilah saatnya Bulog merintis jalan untuk menjadi state trading company global yang mampu bersaing di perdagangan beras internasional. Ini adalah cita-cita lama Bulog yang belum kesampaian.

Apalagi, selama ini toh Bulog membayar kredit komersial dari perbankan untuk pengadaan raskin. Bulog harus memperbanyak pengadaan beras komersial sambil menjalani tahap awal penghapusan raskin.

Begitu raskin dihapus total, gudang-gudang Bulog berbalik menjadi diisi lebih banyak beras komersial untuk diperdagangan di luar negeri dan memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.

http://koran.bisnis.com/read/20150105/270/387772/spektrum-raskin-uang-dan-keamanan-pangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar