Selasa, 16 Desember 2014

Akademisi: e-Money Sulit Gantikan Raskin

Senin, 15 Desember 2014

Jakarta, GATRAnews - Penelisi dari berbagai perguruan tinggi menyebutkan bahwa program beras untuk rakyat miskin (Raskin) bukan hanya menyediakan pangan bagi rakyat miskin, memperbaiki gizi, dan jaring pengaman sosial semata, tapi juga merupakan pasar penyerap hasil produksi gabah petani, sehingga sulit jika digantikan dengan program e-money (uang elektronik).

Para peneliti dari berbagai PT tersebut, antara lain berasal dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sebelas Maret Solo (UNS), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Univesitas Andalas (Unand), dan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bertajuk "Stop Liberalisasi Beras", di Jakarta, Senin (15/12).

Mengawali diskusi gelaran Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) itu, Pakar Pangan IPB, Koekoeh Santoso, mengungkapkan, para peneliti IPB, telah melakukan penelitian tentang pengaruh Raskin terhadap indeks yang diterima dan dibayarkan petani, serta pengaruh beras terhadap inflasi di Jawa Barat.

"Berdasarkan hasil estimasi menggunakan regresi berganda, keberadaan raskin berpengaruh signifikan terhadap penurunan harga beras, yaitu peningkatan jumlah raskin sebesar 1 persen akan menurunkan harga beras sebesar 0,02 persen. Kalau dibalik, ketiadaan raskin sebesar 1 persen, berpengaruh pada kenaikan harga beras sebesar 0,02 persen. Jika Raskin dihapuskan sepenuhnya, maka akan menimbulkan gejolak harga beras yang berimbas inflasi," tandasnya.

Selain itu, kata Koekoeh, program Raskin bukan hanya menjadi jaring pengaman pangan bagi rakyat miskin dan mengendalikan inflasi, namun juga memberikan dampak positif bagi petani, karena Raskin menjadikan petani mempunyai jaminan kepastian harga dan serapan hasil produksi.

Atas dasar itu, pemerintah harus berpikir seribu kali sebelum mencabut raskin yang bukan hanya memenuhi kebutuhan pokok rakyat miskin dan dampak sosial di negeri ini.

Koekoeh juga menyebut, Program Raskin merupakan  implementasi komitmen pemerintah untuk menaati kesepakatan internasional terkait pangan.

"Kerangka operasional Raskin ini tidak hanya efektif memberi jaminan pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyat miskin, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen ketahanan pangan, juga penjaga stabilitas harga beras, dan mengendalikan populasi warga miskin," paparnya.

Keberadaan  Raskin juga memberikan akses kepada warga miskin di mana pun mereka berada untuk memperoleh beras. Penghapusan Raskin, dalam penelitian IPB, akan menutup  80 persen akses untuk mendapatkan beras bagi rumah tangga miskin, yang memiliki anak usia di bawah 18 tahun, dimana sebanyak 4,3 juta jiwa merupakan balita.

"Jadi penghapusan Raskin tidak hanya meningkatkan kerentanan yang tinggi terhadap kerawanan pangan. Kalau Raskin dihapus, Indonesia bisa terancam tidak dapat memanfaatkan 'window of opportunity' pada tahun 2020-2030 dari bonus demografi yang terjadi mulai tahun 1990an," paparnya.

Sementara hasil penelitian para pakar dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Jawa Timur, mengungkapkan, bahwa 92,59 persen penerima manfaat Raskin masih mengharap pemerintah terus menjalankan Program Raskin dan tidak setuju jika diganti dengan bantuan uang melalui e-money.

Dalam riset PERSEPI tentang e-money, sebanyak 70,37% warga cenderung negatif memandang efektifitas e-money.  Pendapat pakar dan stakeholders di Jawa Timur, meminta pemerintah jangan tergesa-gesa menghentikan program raskin dan menggantikan dengan bantuan uang melalui e-money.

"Jangan hanya gara-gara dinilai tidak tepat sasaran dan jumlah, Raskin kemudian dihapuskan.  Tidak tepat sasaran bukan kesalahan pelaksana, namun karena Basis Data Terpadu RTS yang kurang tepat," tandas peneliti UMM, Suyatno.

Sementara itu, Jhon Farlis, peneliti dari Unand, dari 300 responden rumah tangga penerima manfaat raskin, 95%-nya masih berharap program raskin ini dilanjutkan. Selain itu, sebanyak 85% orang miksin yang belum menerima raskin pun menaruh harpan yang sama.

"Sebesar 85% pejabat terkait program raskin juga masih inginkan program raskin tetap dilanjutkan," ungkapnya.

Adapun rencana pemerintah mengganti raskin dengan e-money, kata Jhon, sangat rentan disalahgunakan, yakni belum tentu uang itu digunakan untuk membeli beras. Selain itu, sasaran pemerintah untuk swasembada padi sulit tercapai akibat tidak adanya kepastian pembelian gabah petani oleh Bulog dengan harga yang stabil.

"Kalau beras raskinnya distop, maka Bulog akan menghentikan pembelian padi sama sekali, nggak ada jaiman beras dibeli. Praktek tengkulak akan bermunculan karena beras menumpuk di pasar dan yang beli tidak ada," ujarnya.

Kemudian, hal itu juga akan melemahkan semangat petani menanam padi akibat tidak adanya kepastian harga dan pembelian. Akibatnya, produksi beras nasional akan anjlok dan mengharuskan Indonesia yang notabene negara pertanian harus mengimpor beras dari negara lain yang tentunya akan merusak ketahanan pangan nasional.

Jika pemerintah tetap mempertahankan program raskin, kata Jhon, rumah tangga penerima raskin tidak harus mencari-cari beras ke pasar karena sudah ada raskin yang berharga relatif sangat murah.

"Dapat membantu tinggkatkan kekurangan energi dan protein, ada jaminan tampung beras petani, akan mengurangi laju inflasi. Sekarang terjadi inflasi karena harga beras naik gara-gara 2 bulan Raskin tertunda, menggerakan petani tanam padi, dan hemat devisa," tandasnya.

Unand menghitung kebutuhan beras medium atau termasuk kategori jenis beras Raskin, totalnya 70% dari jumlah penduduk Indonesia yang kini sekitar 240 juta. "Kalau dipenuhi semua, jumlahnya 20,16 juta ton. Kalau digratiskan saja, itu hanya perlu Rp 151,2 trilyun atau lebih kecil dari subsidi BBM dan semua rakyat makannya gratis," ujar Jhon.

Sedangkan jika pemerintah mengganti Raskin dengan uang atau e-money, kata Jhon, maka hal itu akan menyulitkan pemerintah dan masyarakat miskin.

Hasil penelitian yang  diungkapkan oleh para pakar dari Unand, UNS, dan Unhas, yang pada umumnya juga menyesalkan rencana penghapusan Raskin. Para peneliti berharap, pemerintahan Jokowi harusnya tidak mencabut program yang sangat dibutuhkan masyarakat maskin yang seluruhnya belum bisa tersentuh program ini.

"Bayangkan saja, dari semula 19,1 juta keluarga penerima raskin, terus dipangkas hingga rakyat miskin tidak semua mendapatkan raskin," ujar Jhon.

Penulis: Iwan Sutiawan
Editor: Tian Arief

http://www.gatra.com/ekonomi-1/111534-akademisi-e-money-sulit-gantikan-raskin.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar