Selasa, 13 Mei 2014

Presiden Bervisi Kedaulatan Pangan

Senin,  12 Mei 2014

Tahun 2014 menjadi tahun penting untuk mencari serta mendapatkan presiden baru Indonesia. Mengingat Indonesia merupakan negara agraris, sosok pemimpin yang muncul perlu memiliki perhatian besar dalam mengelola potensi sumber daya pertanian yang ada untuk kesejahteraan rakyatnya.

Selama ini persoalan paling kronis sektor pertanian adalah laju liberalisasi dan masih rendahnya keberpihakan pemerintah. Liberalisasi yang menggila membuat sektor pangan Indonesia semakin tidak berdaulat. Rendahnya keberpihakan kebijakan pemerintah membuat sektor pertanian semakin inefisien. Jadi, kemandirian pangan seolah hanya pemikiran di atas kertas.

Empasan liberalisasi yang paling kentara adalah pelepasan pangan utama (beras, jagung, kedelai, gandum, gula, dan minyak goreng) yang awalnya di bawah pengawasan Bulog ke pasar. Bulog pun menjadi perum yang berorientasi profit. Tugas Bulog yang membeli dan mengadakan produk dari petani saat musim panen secara maksimal hanya isapan jempol belaka.

Belum lagi keberadaan perusahaan asing yang menguasai sektor pertanian. Sebagai contoh, ada beberapa pertanian pangan yang diambil alih asing, terutama benih jagung, padi hibrida, dan hortikultura. Industri input pertanian hanya dipasok beberapa perusahaan multinasional dengan nilai penjualan mencapai Rp 340 triliun. Selain itu, petani sangat bergantung pada industri olahan dan pedagang pangan. Bahkan, sepuluh besar MNC menguasai penjualan pangan hingga Rp 3.477 triliun (Arif, 2013).

Kebijakan impor tak kalah mengerikan. Kedengarannya memang paradoks bahwa negara dengan bentangan yang luas dan berstatus agraris, malah melakukan kebijakan impor dengan skala yang masif. Bayangkan saja, pemerintah rata-rata rela mengeluarkan kocek hingga Rp 110 trilliun untuk mengimpor pangan. Namun, hanya sekitar Rp 38,2 trilliun untuk membiayai pertanian dalam APBN. Selama ini argumentasi yang dikemukakan hingga membuka keran impor lebar-lebar adalah inefisiensi produksi pangan dalam negeri, seperti beras.

Peliknya permasalahan sektor pertanian malah tidak dijadikan kontemplasi dalam meramu strategi pengembangan sektor ini dalam jangka panjang. Hal yang dilakukan malah sebaliknya, instanisasi kebijakan impor yang sebenarnya irasional. Impor merupakan disinsentif bagi petani. Hal ini menjadi lahan empuk bagi para pemburu rente untuk mengubahnya menjadi keuntungan yang berlipat. Hal tersebut menjadikan negara kita makin tergantung pangan impor. Terbukti, ketahanan pangan kita rentan terhadap gejolak harga pangan dunia karena 70 persen masih bergantung impor (Limbong, 2013).

Demikian juga dengan kasus lonjakan kenaikan harga beras (seperti pada kasus tahun 2008, naiknya harga beras dunia yang mencapai lebih dari US$ 800 per ton), tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan kesejahteraan petani. Hal ini akibat kenaikan harga hanya dinikmati pelaku pasar yang bermodal, khususnya aktor oportunis yang memanfaatkan disparitas harga. Petani tak punya daya jika dihadapkan dengan pasar.

Dari sisi keberpihakan kebijakan, pemerintah terkesan kurang memprioritaskan sektor pertanian. Klenik seputar rendahnya subsidi pupuk, kredit untuk sektor pertanian, serta rendahnya anggaran riset bidang pertanian sudah menjadi penyakit lama. Kondisi ini kontra produktif dengan rancangan perlunya mendorong penciptaan strategi pro growth, pro job, dan pro poor dengan memberdayakan sektor pertanian.

Realitas ini tak dapat dilepaskan dari ketidakjelasan desain dan konsep kebijakan ketahanan pangan. Ini khususnya menyangkut kedaulatan pangan dan kemandirian petani yang belum dapat diwujudkan akibat kebijakan investasi di sektor pertanian yang banyak disunat, dialihkan ke led export production. Jadi, lebih dari tiga dekade terakhir petani dan pertanian menjadi anak tiri (Khudori, 2008).

Perubahan Paradigma
Kemandirian pangan dari sumber daya lokal mustahil dilakukan jika akar persoalan masih belum dibereskan. Paradigma baru juga perlu ditekankan, yakni ketahanan pangan saja tidak cukup, tetapi perlu kedaulatan pangan yang membutuhkan politik pangan yang lebih baik.

Politik pangan kita sebenarnya dapat dikuliti menjadi dua aspek, yakni internal dan eksternal. Aspek internal kuat kaitannya dengan ketidakberdayaan petani akibat kerdilnya sarana penunjang performa mereka dalam kegiatan usaha tani. Hal ini akibat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak. Aspek ini secara langsung berpengaruh pada ketidakberdayaan petani dalam mengefisiensi produksi.

Sementara itu, aspek eksternal menyangkut pasar. Dalam aspek ini, terdapat para aktor pembawa kepentingan yang sarat perilaku menyimpang (moral hazard), termasuk tangan-tangan pemerintah yang didikte logika neoliberal. Itu karena pasar yang melemahkan petani pada dasarnya akan tetap dilanggengkan pihak swasta dan pedagang, "antara" karena telanjur keenakan menikmati margin yang tinggi (profit maximalization) hingga tetap menekan harga pembelian dari petani (cost minimalization). Peran lembaga parastatal semacam Bulog sebagai buffer stock tidak berjalan sesuai koridor.

Dengan demikian, kemandirian pangan atas pemanfaatan sumber daya lokal menjadi konsep yang sia-sia jika tidak berusaha mengubah persoalan yang masih menggantung. Paradigma kedaulatan pangan perlu lebih ditekankan karena yang dibutuhkan tak sekadar mewujudkan kemandirian pangan dari ketersediaan pangan domestik, tetapi juga meletakkan sektor pertanian yang tidak ditempatkan dalam arena pasar.

Namun, yang sebenarnya harus dilakukan adalah memperbaiki persoalan yang menjadi kelemahan pertanian dalam negeri. Hal ini lebih berorientasi jangka panjang dan mempunyai visi yang mulia. Jadi, domain terbesar ada pada pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan atas kemampuan sendiri. Sektor pertanian mutlak harus menjadi sektor prioritas.

Dengan demikian, pergantian kepemimpinan nasional yang akan menjalankan roda pemerintahan baru pada 2014-2019 harus memiliki visi dan komitmen serius dalam merealisasikan kedaulatan pangan di lapangan, bukan sekadar wacana ketika kampanye dan di atas kertas. Koalisi politik yang dibangun pun untuk orientasi kedaulatan pangan. Bila tidak, Indonesia akan tetap terjerumus menjadi bangsa pecandu impor pangan, meskipun telah beberapa kali berganti presiden.

Andi Perdana Gumilang
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana IPB, Pegiat Jaringan Petani Sehat Indonesia (JPSI).

Sumber : Sinar Harapan

http://sinarharapan.co/index.php/news/read/140512029/Presiden-Bervisi-Kedaulatan-Pangan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar