Sabtu, 21 September 2013

Menghadang Kartel Kedelai

20 September 2013

Jakarta, GATRAnews - Importir kedelai diduga melakukan praktek kartel. Kebijakan pemerintah dianggap sebagai pemicu. Diperangi dengan membuka impor selebar-lebarnya. Namun bagaimana dengan nasib petani?



Sidang kabinet di Istana Negara pada Selasa lalu bergerak dinamis. Pembicaraan menghangat ketika muncul wacana untuk membuka keran impor selebar-lebarnya bagi komoditas kedelai. Wacana lain yang dibicarakan yaitu penghapusan bea masuk bagi komoditas ini, yang sebelumnya dipatok hingga 5%.



Konsekuensi atas pembukaaan keran impor itu adalah membebaskan semua orang untuk mengalirkan kedelai ke Indonesia. Kebijakan ini tak akan diimplementasikan selamanya, tapi hingga harga stabil. Selama ini, kebutuhan kedelai ditutup dengan impor, mengingat produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 30% kebutuhan kedelai nasional, yang mencapai 2,5 juta ton.



Untuk impor, pemerintah memberikan kewenangan kepada beberapa importir terdaftar, dan memberikan jatah besaran kedelai yang bisa dimasukkan ke Indonesia. Namun sejak bulan lalu, harga kedelai tiba-tiba meroket. Ini membuat konsumen, terutama para perajin tahu dan tempe, kalang kabut dan memprotes pemerintah.



Harga yang masih melangit, ditambah stok yang sempat menghilang di pasaran, membuat ketar-ketir para perajin. Mereka pun mogok berproduksi selama tiga hari, mulai Senin lalu.



Menurut Aip Syarifuddin, Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo), lonjakan harga kedelai ini membuat hajat hidup 115.000 pengrajin tahu tempe dengan 1,5 juta pekerjanya terganggu. Karena itulah, mereka menuntut pemerintah mengambil langkah agar harga kedelai distabilkan.



Gakoptindo menengarai, fenomena yang berulang setiap tahun ini disebabkan tangan-tangan nakal yang mempermainkan harga. ''Penyebabnya ada spekulan yang bermain, di samping kurs dolar yang naik tinggi awal Agustus,'' kata Aip.



Kekuatan nakal yang memainkan harga kedelai, menurut peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), tak lain karena jumlah importir kedelai yang hanya beberapa, namun punya kekuatan untuk menyalurkan kedelai dalam jumlah besar. Praktek yang lazim disebut kartel ini memang bisa mendikte pasar, khususnya soal harga dan pasokan. Akibatnya, konsumen dan masyarakat dirugikan.



Indikasi adanya praktek kartel dari temuan Indef yakni adanya kesenjangan pembagian kuota antara tiga importir besar dan para importir terdaftar (IT) yang lain. Dalam catatan Indef, ada tiga perusahaan yang diberi keistimewaan kuota ini, yaitu PT FKS Multi Agro sebesar 210.600 ton (46,71%), PT Gerbang Cahaya Utama 46.500 ton (10,31%), dan PT Budi Semesta Satria 42.000 ton (9,31%).



Sementara dari data penerbitan surat persetujuan impor (SPI) kedelai 29-30 Agustus 2013 Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang diperoleh GATRA, dari total 14 importir, sebagian besar hanya mendapat jatah tak lebih dari 6%. contohnya PT Dwi Kencana Abadi hanya dijatah 5.000 ton (1,11%), dan PT Jackson Niagatama yang mendapat kuota impor 21.600 ton (4,79%).



Menurut Direktur Indef, Enny Sri Hartati, dengan memiliki keistimewaan kuota yang besar, tiga perusahaan itu bisa saja melakukan kongkalikong memonopoli harga kedelai dan melakukan praktek kartel. ''Sisanya, yang kecil-kecil itu, ya, cuma bisa ngikut saja,'' ujarnya.



Analisis Indef ini sejalan dengan pandangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menemukan indikasi adanya potensi praktek tak sehat dalam tata niaga kedelai. Namun, Komisioner KPPU, Muhammad Syarkawi Rauf, mengakui indikasi itu masih berupa dugaan. ''Masih perlu dibuktikan dengan data-data pendukung, dan ini yang sedang kita cari,'' katanya.



Timbulnya kartel, menurut Syarkawi, bisa karena ada dua pendorong. Satu, karena adanya kebijakan pemerintah yang menyuburkan praktek ini, juga adanya perilaku pengusaha yang bersekongkol untuk membentuk kerja sama secara ekslusif hingga bisa mengarahkan pasar. Pemberian jatah yang terlalu besar di antara kelompok importir dianggap sebagai salah satu praktek kebijakan pemerintah yang menyuburkan praktek kartel.



Perilaku ini juga menghambat lahirnya importir baru. Menurut Syarkawi, importir baru mengaku sulit bersaing dengan para pemain lama. Para pemain lama yang sudah sangat efisien sulit dikalahkan oleh para pemain baru, yang baru membangun jaringan. ''Akibatnya pemain lama bisa dengan mudah mengusir para pemain baru,'' katanya.



Gonjang-ganjing harga kedelai disinyalir juga disebabkan proses regulasi yang lelet. Sejak dua bulan lalu, tata niaga kedelai yang diterapkan pemerintah dengan menerbitkan importir terdaftar (IT), tak berjalan tepat waktu.



Persetujuan IT ini baru keluar 31 Juli 2013, termasuk izin untuk Gakoptindo, Perum Bulog, dan 22 importir kedelai yang lain. Akibatnya, izin SPI baru keluar tanggal 30 Agustus 2013 atau satu bulan setelah IT terbit. Lamanya proses perizinan membuat importir menahan stok kedelai di gudang. Dampaknya, kedelai di pasaran langka, sehingga harga terdongkrak.



***



Ribuan karung berisi pakan sapi, pakan ayam, bungkil, dan kedelai menumpuk hingga hampir menyentuh atap bangunan besar di kawasan Pergudangan Cikupa, Pasar Kemis, Tangerang. Selasa siang lalu, saat GATRA menyambangi gudang milik PT FKS Multi Agro itu, tak nampak adanya aktivitas bongkar muat.



Saat ini, sekitar 70.000 ton kedelai impor tersimpan di gudang Multi Argo. Dalam waktu dekat akan datang lagi sekitar 60.000 ton. Multi Agro memang tercatat sebagai importir kedelai terbesar. Dari data Kemendag, perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis, perdagangan, hingga manufaktur ini mendapat alokasi impor, dari Agustus hingga Desember tahun ini, sebesar 360.000 ton.



Besarnya jatah yang diberikan pemerintah kepada sebagian kecil perusahan membuat mereka ditengarai menjalankan praktek bisnis kartel. Namun, Kusnarto, Direktur FKS Multi Agro, menepis anggapan itu. Menurutnya, harga kedelai melambung akibat fluktuasi rupiah dan anomali cuaca di Amerika Serikat, negara produsen kedelai terbesar.



Berdasarkan perhitungan importir, setiap 1% pelemahan rupiah membuat harga kedelai naik 1%. Selain itu, bea masuk impor kedelai sebesar 5% membuat harga kedelai bertambah dengan persentase yang sama.



Sebelumnya, pada acara public hearing yang digelar KPPU, terkait dengan masalah tata niga kedelai, Kamis dua pekan lalu, Sunarto menyatakan pihaknya membeli kedelai dari luar negeri dengan harga sekitar US$ 640 sampai US$ 650 per ton kedelai (FoB).



Namun, kurs rupiah yang menembus Rp 12.000 per dolar Amerika membuat dirinya merugi. ''Kami beli pakai dolar, lalu jual ke perajin di Indonesia pakai rupiah. Utang semuanya dalam bentuk dolar, jadi pas dolar naik, kita pusing mau bayar utang,'' ia menjelaskan.



Ia menambahkan, pihaknya menjual kembali kedelai impor ke tingkat perajin dengan harga Rp 8.900. Sebelum rupiah melemah, harganya Rp 7.200 per kilogram. Biaya operasional membengkak ditambah ongkos bea masuk 5%, pajak penghasilan (PPh) sebesar 0,05% serta ongkos angkut --dari mulai pelabuhan sampai ke gudang dan berakhir ke truk konsumen-- yang mencapai US$ 50 per ton.



Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Srie Agustina mengungkapkan, kebijakan memberikan jatah impor lebih besar kepada beberapa, memang disesuaikan dengan kemampuan importir itu sendiri. "Para importir yang minta, sesuai kemampuannya.'' kata Srie.



Terkait dengan keterlambatan penerbitan SPI, Srie menjelaskan, Itu terjadi lantaran importir tak dapat menunjukkan bukti serap yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan SPI. Bukti serap adalah bukti bahwa si importir telah menyerap produksi kedelai lokal dengan harga sesuai harga beli petani (HBP), yakni Rp 7.000 per kilogram.



Namun kenyataannya, lahan panen untuk diserap memang tak ada. Ini juga yang membuat peraturan diubah, yang isinya hanya berupa pernyataan kesanggupan membeli kedelai petani jika ada panenn.



Menteri Perdagangan Gita Wiryawan juga menepis kabar praktek kartel ini. Dia mengakui, memang ada beberapa importir yang menguasai 60% pasar impor. Namun, definisi kartel belum terlihat dalam praktek. ''Kartel ini kan selain memantau pasokan juga mengontrol harga juga, saya nggak melihat itu,'' ujar Gita kepada GATRA.



Menurut Gita, fakta di lapangan, harga tidak terlalu terkorelasi dengan ketersediaan pasokan, sehingga peran kartel dalam memainkan harga tak terlihat. Ia juga menyatakan belum bisa menyimpulkan ada atau tidak praktek kartel tersebut. Sebab masih perlu banyak bukti (lihat: Skenario Out of The Ordinary).



***



Usaha pengendalian harga dan peminiman praktek kartel, sebenarnya sudah ditempuh dengan memberikan jatah impor lebih besar kepada Badan Usaha Logistik (Bulog). Pada acara penjualan kedelai lokal Bulog di Gudang Bulog Divisi Regional Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin lalu, Kepala Bulog Soetarto Alimoeso mengaku institusinya mengantongi izin impor 100.000 ton kedelai. Selain Bulog, Gakoptindo mendapat jatah mengimpor 125.000 ton kedelai.



Tambahan pemain ini diharapkan bisa meminimalkan kekuatan kartel. Dan kebijakan melibatkan Bulog, dinilai Enny Sri Hartati sangat tepat. Ia melihat peran sebuah lembaga yang berfungsi sebagai penyangga stok nasional dan stabilisator harga perlu diaktifkan kembali.



Sebab Indonesia belum mapan untuk menyerahkan komoditas strategis kepada mekanisme pasar. ''Prasyarat dari mekanisme pasar itu adalah infrastruktur tata niaganya sudah sehat, kondisi konsumen dan produsen sudah mapan. Indonesia belum mampu,'' ujar Enny.



Tampaknya pemerintah tak hanya berencana menambah alokasi impor secara terbatas. Dari obrolan hangat di sidang kabinet tadi, rencana pemerintah membuka keran impor selebar-lebarnya juga untuk meminimalkan praktek kartel.



(Mukhlison S. Widodo, Taufiqurrahman, Mira Febri Mellya, Andya Dhyaksa)

[Laporan Utama Majalah GATRA Edisi no 46 tahun ke 19, Beredar 19 September 2013]

http://www.gatra.com/fokus-berita/39207-menghadang-kartel-kedelai.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar