Senin, 08 Juli 2013

Gabung WTO dan APEC, penyebab pemerintah hobi impor pangan

7 Juli 2013

Diratifikasinya Undang-Undang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995, berdampak pada semakin liberalnya perdagangan Indonesia. Ditambah lagi, pemerintah juga membuka keran liberalisasi melalui keterlibatan di Forum Ekonomi Asia Pasifik (APEC).
Direktur Indonesia Global Justice Riza Damanik mengatakan klausul perdagangan di forum WTO dan APEC menggerus kemandirian bangsa. Contohnya adalah pelarangan subsidi bagi petani maupun petambak. Kebijakan yang sifatnya protektif seperti pembatasan impor produk hortikultura juga akhirnya kini diperlonggar setelah ada tekanan dari WTO.
"Di bawah rezim WTO, hampir 10 tahun ini, negara ini tidak boleh lagi memberi subsidi kepada rakyatnya, khususnya udang di pesisir. Demikian pula pelarangan impor hortikultura, awal 2011 membatasi, Maret 2013 Amerika menggugat Indonesia, sesaat setelah itu, kebijakan ini direvisi. Ada implikasinya ke arah sana," ujar Riza dalam diskusi Kemandirian Bangsa di Tebet, Jakarta, Minggu (7/7).
Tak hanya itu, perjanjian internasional lewat APEC atau bilateral dengan Uni Eropa juga membuat Indonesia memperluas kebun sawit. Saat ini 70 persen produksi sawit dalam negeri diekspor. Alhasil lahan pertanian lain tergerus. Tak heran pemerintah harus impor beras, bawang putih, hingga cabe.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, nilai impor pangan sejak 2004 sampai 2012 selalu meningkat. Pada 2004 nilai impor pertanian baru sekitar USD 5 miliar. Pada 2005 meningkat USD 5,2 miliar, lantas 2007 menjadi USD 8,6 miliar, lalu melonjak menjadi USD 20,6 miliar pada 2011.
"Kalau kita bandingkan, telah terjadi pelonjakan 400 persen nilai impor pangan kita, ini prestasi terburuk nilai impor kita," kata Riza.
Karena itu, dia heran mengapa Indonesia tahun ini malah menawarkan diri menjadi tuan rumah forum APEC dan WTO. Padahal dua forum itu jelas-jelas merugikan masyarakat.
"Agak aneh sebenarnya negara yang dirugikan atas sejumlah kesepakatan-kesepakatan internasional justru bersedia menjadi tuan rumah event besar yang merugikannya. Negara-negara lain menolak jadi tuan rumah APEC dan WTO, Indonesia justru welcome," cetusnya.
Karena itu, Riza mengajak masyarakat aktif menolak pelaksanaan APEC dan WTO di Bali. Sebab, kemandirian pangan Indonesia terbukti tergerus akibat kebijakan dua lembaga internasional tersebut.
"Kedua pertemuan ini selaiknya ditolak rakyat Indonesia, lahan-lahan pertanian semakin sempit, petani-petani semakin sedikit subsidinya," tegasnya.
[noe]
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar