Jumat, 07 Juni 2013

Kembalikan Pertanian Berbasis Keluarga di Perdesaan

6 Juni 2013

Hasil riset dari PBB menunjukkan pertanian ekologis yang dikelola tradisional oleh keluarga petani lebih menyelamatkan lingungan dibandingkan pengelolaan yang di lakukan perusahaan.

Sepekan mendatang, Indonesia menjadi tuan rumah konferensi petani internasional yang tergabung dalam La Via Campesina. Konferensi tersebut rencananya dihadiri 5.000 perwakilan petani dari 76 negara.

Mereka mengusung gerakan "Untuk Tanah, Kedaulatan Rakyat demi Solidaritas dan Perjuangan", salah satunya semangat untuk mengembalikan kultur pertanian berbasis keluarga dan mengurangi dominasi corporate farming. Dalam perbincangan wartawan dengan Serikat Petani Indonesia (SPI) menjelang konferensi Internasional La Via Campesina di Jakarta, 6–13 Juni, mencuat gerakan petani internasional untuk mengembalikan semangat pertanian berbasis keluarga dan mengurangi dominasi kepemilkan swasta atas lahan pertanian.

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, terus terjadi penurunan angkatan kerja, terutama di sektor pertanian berbasis keluarga. Kondisi itu terjadi karena tidak adanya perlindungan terhadap lahan pertanian berbasis keluarga, justru yang terjadi land grabing dan konversi lahan pertanian untuk peruntukan lain.

"Pertanian berbasis keluarga menyusut karena tidak ada perlindungan dari pemerintah. Di saat yang sama, ada kecenderungan pemuda di perdesaan enggan bertani dan memilih menjadi buruh migran di sektor industri.

Kalaupun masih ada pemuda tani yang bertahan itu ada di sektor perkebunan, dan tetap menjadi buruh kebun," ungkap dia. Fenomena menyusutnya angkatan kerja di sektor pertanian, khususnya pemuda tani, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga berlangsung di Jepang, Korea, dan Uni Eropa. Saat ini angkatan kerja di sektor pertanian didominasi petani tua dan kaum perempuan.

Sebenarnya pemerintah bisa mengambil peran dengan mengalokasikan lahan pertanian bagi pemuda tani, tetapi itu tidak terjadi di Indonesia. Justru pemerintah memberikan konsesi, memberikan perusahaan dan multinasional lahan pertanian. Ironisnya, lahan pertanian yang dipegang oleh perusahaan tersebut banyak yang berstatus menganggur dan telantar karena memang tidak dikelola.

Kondisi itu merupakan akibat dari pergeseran model pertanian keluarga yang tergusur oleh dominasi pertanian berbasis korporasi. "Dalam konferensi petani internasional, ada semangat yang muncul, yaitu mendorong petani kembali bertanam. Gerakan petani berbasis keluarga itu lebih efektif menjaga pasokan pangan dibandingkan corporate farming," ungkap dia.

Menurut Henry, kesalahan kebijakan pertanian juga dipengaruhi kondisi perekonomian yang mengedepankan orientasi hasil dan keuntungan. Misalkan sektor perkebunan, karena menjanjikan perolehan hasil yang besar, banyak yang kemudian beralih menjadi pekebun. Padahal para petani dan pemuda di perkebunan tetap dominan menjadi buruh dari para pemilik modal yang menguasai sektor perkebunan.

Padahal jika berbasiskan pertanian ekologis, sesungguhnya ada jaminan ketersediaan pangan karena pertanian dikelola secara bijak oleh pemuda dan masyarakat perdesaan yang tidak berorientasi keuntungan semata. "Hasil riset dari PBB menunjukkan pertanian ekologis yang dikelola tradisional oleh keluarga petani lebih menyelamatkan lingungan dibandingkan pengelolaan yang dilakukan perusahaan," ujar dia.

Henry mencontohkan pertanian keluarga yang berbasis lingkungan dengan memanfaatkan lahan tidak hanya untuk bercocok tanam, tetapi juga untuk beternak dan memelihara ikan dengan cara alamiah akan menjaga alam dibandingkan pengelolaan swasta yang mengejar hasil dengan menggunakan pupuk pestisida.

Selain itu, kepemilikan lahan pertanian secara luas oleh perusahaan lokal dan multinasional memicu ketimpangan penguasaan lahan dan berujung tidak meratanya kesejahteraan.
Yang terjadi justru buruh tani semakin banyak dan petani semakin miskin.

Kontribusi Perempuan

Sementara itu, Ketua Departemen Petani Perempuan SPI, Wilda Tarigan, menyatakan berdasarakan hasil sampel SPI, angkatan pekerja di sektor pertanian, terutama tanaman pangan, didominasi pekerja perempuan. Bahkan jumlahnya mencapai 65 persen dari total angkatan kerja pertanian.

"Rata-rata pangan non olahan atau pangan segar hasil pertanian diproduksi perempuan. Misalkan mereka menanam sayur, kemudian saat panen mereka menjual ke pasar tradisional," ujar dia. Yang menjadi persoalan, kata Wilda, meski perempuan mendominasi sebagai angkatan kerja, justru upah petani perempuan lebih rendah. Ia mencontohkan dalam sehari petani perempuan di sebagian Jawa Tengah diberikan upah 20 ribu rupiah, selisih 10.000 rupiah dibandingkan laki-laki yang upahnya 30.000 rupiah. Di Jawa Timur, rata-rata upah petani perempuan 25.000 dan laki-laki tetap mendapatkan selisih 10.000 rupiah lebih tinggi.

Di Sumatra juga terjadi pengupahan serupa. Kondisi pengupahan perempuan petani di bawah laki-laki terjadi karena kultur selama ini yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dibandingkan perempuan. Kondisi itu berpengaruh pada pengupahan. Ukuran kerja laki-laki petani yang lebih berat seperti mengangkut hasil panen dijadikan salah satu kriteria pengupahan.

"Pemilik lahan juga menetapkan kriteria, misalkan karena laki-laki membajak sawah, maka upahnya lebih besar karena tenaga yang dikeluarkan lebih besar," imbuh dia. Kecenderungan pengupahan seperti itu, kata Wilda, juga akan menjadi pembahasan konferensi petani internasional keenam yang akan diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Sementara itu, Ketua Departemen Hubungan Internasional SPI, Muhammed Ikhwan, menyatakan hasil konferensi internasional akan dijadikan bahan bagi PBB untuk memperkuat hak asasi petani.

"PBB memang sudah mengeluarkan resolusi tentang hak asasi petani 24 September lalu, tetapi itu sebatas pengakuan, belum berwujud perlindungan. Kondisi pertanian dunia, termasuk di Indonesia, dengan segala masalahnya bisa sedikit terurai jika sudah ada perlindungan," ungkap dia. Ikhwan mengakui DPR sudah melakukan pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, tetapi realisasinya dalam bentuk peraturan pemerintah dan perlindungan dari pemerintah belum terlihat. setiawan ananto/E-3

ANTARA/ANDREAS FITRI ATMOKO
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/121086

Tidak ada komentar:

Posting Komentar