Kamis, 23 Mei 2013

Pangan, Potensi yang Tak Dimaksimalkan

22 Maret 2013

Indonesia secara alamiah terbentuk sebagai negara pertanian dengan budaya pertanian yang kuat. Bertani, berternak, berburu ikan di laut adalah keahlian turun-menurun yang sudah mendarah daging. Teknologi dasar ini sudah dikuasai sejak zaman nenek moyang.
Tidak hanya peduduknya, luas lahan, cadangan air yang melimpah, dan potensi wilayah yang tersedia sangat mendukung bagi Indonesia untuk menjadi negara pemasok hasil pertanian. Bayangkan, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, semua bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Demikian suburnya negeri ini.
Indonesia memiliki potensi sumber daya yang tidak akan pernah habis, dan akan tetap ada sepanjang usia alam itu sendiri yakni manusia, sinar matahari, tanah, hutan, dan laut. Manusia dengan akal dan budaya lokal yang beraneka ragam akan menghasilkan beragam teknologi budidaya yang unggul dan spesifik. Dampaknya muncul pula komoditas unggulan daerah yang potensial.
Contoh saja, Aceh yang berpotensi untuk nilam dan tanaman hutan, Banten dengan komoditas unggulan padi, palawija, sayuran dan buah-buahan. Lalu Sumatera Utara dengan kelapa sawit, karet dan tembakau deli, Jawa Barat dengan padi, hortikultura, dan masih banyak daerah lainnya seperti Madura yang unggul dengan jagungnya.
Demikian pula dengan lautnya. Laut Indonesia lebih kurangnya 70% belum dieksploitasi secara luas. Laut yang menyimpan kekayaan bio-diversitas dan sumber gizi praktis masih belum tersentuh.
Demikian pula dengan hutan tropis yang bertindak sebagai produsen oksigen untuk kebutuhan umat manusia. Sinar matahari sepanjang tahun menyebabkan kita tidak memerlukan rumah kaca yang mahal untuk mengembangkan sektor pertaniannya. Sinar matahari yang memungkinkan terjadinya proses fotosintesa pada tanaman memungkinkan untuk mengembangkan dan menghasilkan komoditas pertanian yang sangat besar.
Menurut Prof. Ir. H. A. Baihaki M.Sc. Ph.D, harusnya Indonesia menjadi negara yang memberi makan dunia. Pada kenyataannya Indonesia belum mampu untuk mewujudkannya.
“Mengapa demikian? Karena masih banyak potensi-potensi Indonesia yang belum tergarap. Masih banyak sumber daya alam (SDA) Indonesia yang belum dioptimalkan melalui penelitian,” tuturnya.
Selain itu pemerintah juga dinilai membiarkan pelanggaran UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Akibatnya, terjadi alih fungsi lahan pertanian subur yang agresif mencapai 1,5 juta hektare (ha) dalam sepuluh tahun terakhir.
Banyak lahan produktif berubah fungsi untuk kepentingan komersial. Padahal, ini pelanggaran UU, tetapi tidak ada yang berani bertindak, kata Wakil Ketua Komisi IV DPR, Firman Soebagyo.
Implementasi perundang-undangan sangat buruk. Pemerintah seperti sengaja membiarkan produk legislasi yang dibuat DPR menuai masalah terlebih dulu. Itulah sebabnya DPR merasa sia-sia karena memproduksi UU sebanyak-banyaknya, namun tidak memberikan manfaat bagi rakyat.
UU tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan telah diputuskan DPR pada 2009. Sayangnya baru pada 2012 pemerintah mengeluarkan peraturannya. Padahal, selama tiga tahun terakhir ini, ribuan hektare tanah pertanian yang beralih fungsi.
Terjadinya alih fungsi lahan yang tidak terkendali merupakan dampak negatif dari otonomi daerah (otda). Pemerintah daerah merasa berkuasa atas segala lahan yang ada di daerahnya sehingga menetapkan peruntukannya sesuka hati. Hal itu terjadi karena pemerintah daerah menilai sektor pertanian tidak memberikan kontribusi besar kepada pendapatan asli daerah.
Aktivis Serikat Petani Indonesia, Tejo Pramono pun menyatakan demikian. Banyak terjadinya alih fungsi lahan, tidak terlepas dari tidak konsistennya pemerintah dalam pelaksanaan tata ruang. Wilayah yang sudah ditetapkan untuk pertanian dengan mudah diberikan izin untuk aktivitas lain. Hal itu berarti, tidak ada perencanaan yang baik.
Ambil contoh, banyak pengembang perumahan atau usaha lain yang tentunya ingin mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha mereka. Sebidang tanah pertanian yang letaknya strategis diliriknya. Kemudian, para pengusaha sebisa mungkin segera mengambil alih kepemilikannya agar bisa diubah menjadi lahan usaha yang baru. Kemudian, petani yang tanahnya dihargai tinggi, tak bisa mengelak, dan akhirnya merelakan tanah mereka berganti tangan dengan bayaran uang yang cukup banyak.
Kenapa petani tak bisa mengelak? Itu tak lain karena keluhan petani yang mengatakan biaya untuk bercocok tanam dengan hasil yang dipanen tidak sebanding, bahkan merugi. Kalau diuangkan, hasil dari penjualan tanah tersebut bisa digunakan untuk membuka usaha baru, bahkan masih bisa di gunakan untuk kebutuhan kemewahan yang lainnya.
Banyaknya lahan yang beralih fungsi berdampak pada produksi pangan Indonesia. Akhirnya, ketergantungan pada negara lain. Sudah banyak contohnya. Ketika pasokan kedelai dari Amerika berkurang, dampak yang di timbulkan sangat terasa, tempe dan tahu hilang dari pasaran, khususnya di Jakarta.
Contoh lain, orang Indonesia sudah terbiasa dengan mengkonsumsi mie, roti, dan makanan lain yang bahan bakunya dari tepung gandum. Sedangkan saat ini tepung gandum hampir 100% tepung gandum meng-impor dari Turki, Amerika, Australia, dan negara lainnya. Kalau misalnya saja negara-negara tersebut menghentikan ekspor mereka, bisa dibayangkan betapa besar dampak yang akan di timbulkan terhadap kebutuhan pangan di Indonesia.
Ketergantungan terhadap produk impor merupakan sebuah 'ancaman', krisis pangan bisa saja terjadi bila produksi pertanian Indonesia tidak surplus dan dari negara eksportir menghentikan pasokan mereka. Seperti apa yang diungkapkan Peneliti INDEF Bustanul Arifin mengatakan, jika produksi pertanian Indonesia saat ini tidak bisa surplus 5% dari kondisi saat ini, Indonesia dalam bahaya.
Dari data pada 2012, kondisi kebutuhan dan kekurangan enam bahan pangan pokok tersebut terlihat sebagaimana digambarkan pada tabel berikut:
Ketergantungan Indonesia Terhadap Impor Bahan Pangan Pokok Tahun 2012
No.
Komoditas
Kebutuhan
Produksi
Kekurangan
Persentase
1.
Beras
41,4 juta ton
33,5 juta ton beras konsumsi
7,9 juta ton cadangan

37 juta ton
4,4 juta ton
-10,62%
2
Gula
5,01 juta ton (konsumsi dan industri)
2,9 juta ton
2,11 juta ton
-42,11%
3
Garam
3,04 juta ton
1,44 juta ton untuk konsumsi
1,6 juta ton untuk produksi
1,57 juta ton
1,47 juta ton
-48,35%
4
Tepung
6,2 juta ton
4,75 juta ton (diperoleh dari impor gandum = 6 juta ton)
1,45 juta ton
-23,38%
5
Daging Sapi
448.800 ton
376.510 ton
72.290 ton
-16,10%
6
Kedelai
2,2 juta ton
850.000 ton
1,350 juta
-61,36%
Sumber: Sekretariat Kabinet Republik Indonesia
Dari tabel di atas ditunjukkan, masih terdapat kekurangan yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan riil atas keenam komoditas bahan pokok tersebut, dan selama ini, solusi tercepat untuk menutupi defisit tersebut adalah dengan membuka keran impor. Ditambah lagi, masih banyak kebutuhan pangan sekunder yang masih diimpor untuk memenuhi kebutuhan domestik, seperti singkong sebesar 4,74 ton, cabai dingin segar 6.794 ton, bawang putih 178.900 ton, bawang merah 141.795 ton, dan buah-buahan 416 juta kg.
2013, Tahun Kedaulatan Pangan
Melihat kondisi di atas, kedaulatan pangan Indonesia harus diwujudkan pada 2013 ini. Beberapa komoditi pangan pengganti beras sudah harus memenuhi pasar ekspor. Indonesia harus bisa memperjuangkannya demi harga diri bangsa sebagai negara agraris.
Beberapa langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan kedaulatan pangan di antaranya membuat kebijakan yang mengarah pada peningkatan produksi pangan nasional. Misalnya, meningkatkan pembangunan infrastruktur penunjang produksi pangan nasional, larangan impor bahan pangan, juga membuat varietas benih.
Sudah saatnya pemerintah menyusun kebijakan yang berpihak kepada petani nasional. Dengan begitu pemerintah bisa mewujudkan cita-cita keadaulatan pangan dan impor beras yang lebih banyak merugikan keuangan negara bisa dihentikan.
Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) Rizal Ramli menyebut keberpihakan terhadap petani inilah yang diperlukan negara ini, seperti diterapkan oleh pemerintah di sejumlah negara maju, Jepang dan Taiwan. Petani di negara-negara tersebut benar-benar mendapatkan perlindungan dari pemerintahnya. Itu sebabnya mereka bisa hidup dengan tingkat kesejahteraan yang sangat memadai.
Publik harus bisa membedakan makna ‘ketahanan pangan’ dan ‘kedaulatan pangan.’ Sepintas, sepertinya tidak ada perbedaan hakiki dari dua kaliimat ini. Namun sesungguhnya di balik keduanya ada perbedaan makna yang amat fundamental.
Pada ketahanan pangan, paradigma yang dipegang adalah; yang penting tersedianya bahan pangan sebagai kebutuhan pokok. Tidak penting sumber stok itu, apakah hasil panen sendiri atau impor. Bahkan pada paradigma ketahanan pangan yang dikembangkan justru pemenuhan kebutuhan beras dengan cara mengimpor.
Stok beras dunia hanya sekitar 4 juta ton. Kalau tiap tahun Indonesia mengimpor hingga 2 juta ton, ini akan mengerek harga beras di pasar internasional. Akibatnya, Indonesia harus mengeluarkan devisa dalam jumlah sangat besar untuk impor beras. Adalah rahasia umum, bahwa ada komisi sekitar USD 10-USD 20/ton. Bayangkan, berapa banyak keuntungan para pemburu rente ini? Ini terjadi karena yang diterapkan adalah paradigma neoliberalisme. Pada saat yang sama, rakyat harus membayar beras lebih tinggi dari semestinya. Celakanya, hal seperti ini juga berlaku pada produk pertanian lain, seperti kedelai, jagung, dan gaplek.
Sebetulnya pemerintah bisa tidak mengimpor beras. Caranya, dengan membeli beras produksi petani sebanyak-banyaknya. Dengan cara ini tidak perlu kita buang-buang devisa. Yang lebih penting lagi, petani pun senang karena padi dan berasnya dihargai secara pantas,” ungkap mantan Kepala Bulog ini.
Tiru Jepang dan Taiwan
Dia menyarankan agar Indonesia meniru Jepang dan Taiwan. Pemerintah Jepang sangat memproteksi petani dan produk pertaniannya. Impor beras dipersulit dengan berbagai macam peraturan. Pada saat yang sama, pemerintah membeli beras petaninya dengan harga tinggi. Itulah sebabnya petani Jepang makmur hingga bisa menjadi turis ke Bali dan tempat-tempat wisata lainnya.
Hal serupa juga dilakukan Taiwan. Ketika Chiang Kai Sek lari dari China ke Taiwan, dia memberi petaninya 0,5 hektare sawah. Walau tidak luas, namun dengan program intensifikasi produksi padinya bisa jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Hal itu ditambah lagi dengan pengembangan produk holtikultura lainnya, kesejahteraan petani Taiwan jadi meningkat sangat baik.
Pemerintah bisa membagikan lahan di luar Jawa kepada petani, masing-masing 10 ha untuk menanam sawit dan lainnya. Agar tidak terjadi kecemburuan sosial, penduduk lokal menerima 20 ha. Ini jauh lebih bagus ketimbang tanah dibagi-bagi kepada para konglomerat ratusan ribu bahkan sampai jutaan hektar.
Petani yang dapat lahan itu diberi biaya hidup untuk lima tahun. Ditambah bibit dan sarana produksi lain, saya kira anggaran untuk tiap keluarga tidak lebih dari Rp150 juta. Tapi setelah lima tahun, petani kita sudah bisa menikmati hasil panen dan jadi kaya raya. Mereka tidak perlu lagi ke Malaysia menjadi buruh sawit. Kita bahkan bisa mengimpor tenaga kerja dari Pakistan atau Banglades untuk mengurus kebun-kebun petani. Sayangnya, program ini tidak dilakukan,” papar, pria yang juga mantan Menko Perekonomian ini.
Rizal Ramli juga menilai cita-cita Bung Karno tentang Trisakti, yaitu kedaulatan dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya sangat relevan dengan kondisi saat ini. Tanpa kedaulatan, negara sangat rentan dan bergantung pada negara lain, tidak mungkin jadi negara kuat dan makmur. Trisakti juga relevan sebagai cara untuk menarik manfaat sebesar-besarnya dari globalisasi dan hubungan internasional.
Utamakan Perlindungan Petani
Untuk mendorong terciptanya kedaulatan pangan, maka diperlukan undang undang (UU) Pangan yang melindungi kaum tani. Menurut anggota koalisi dari Eksekutif Indonesian Human Rights Comittee for Social Justice (IHCS), Gunawan, salah satu amanat UU Pangan adalah membentuk lembaga pangan baru yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Gunawan memperkirakan lembaga pangan baru itu akan dibentuk lewat Peraturan Presiden (Perpres), Seperti halnya Bulog, Badan Ketahanan Pangan Pertanian (BKP) dan Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Untuk itu, Presiden harus mengevaluasi kinerja berbagai lembaga itu.
Evaluasi ini dimaksudkan agar pemerintah tahu kelemahan dan kelebihan lembaga yang dibentuknya. Sehingga lembaga itu dapat dibenahi untuk diterapkan di lembaga pangan baru. Dia berharap lembaga tersebut dapat mengintegrasi lembaga pangan yang ada dalam mengurusi pangan. Mulai dari pembentukan kebijakan sampai pengawasan.
Walau mengamanatkan untuk dibentuk lembaga pangan baru, UU Pangan tak menjelaskan siapa pihak yang bertanggung jawab dalam rangka pemenuhan hak pangan untuk rakyat. Akibatnya, ketika muncul kasus kelaparan, pihak yang disasar untuk dimintai tanggung jawabnya seolah tak jelas.
Harusnya, UU Pangan menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas hal itu, apakah Presiden atau Menteri di bidang tertentu. Dengan dibentuknya lembaga pangan yang baru, lembaga tersebut yang bertanggung jawab jika terjadi kelaparan atau masalah pangan lainnya.
Anggota koalisi dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah, mengatakan lembaga pangan baru itu secara hukum lebih kuat posisinya ketimbang lembaga pangan yang ada saat ini. Pasalnya, lembaga pangan baru itu diamanatkan langsung oleh UU Pangan.
Lembaga ini diharapkan dapat membenahi carut marut pengelolaan pangan, khususnya dalam melindungi produsen pangan yaitu petani kecil. Jika perlindungan terhadap petani itu tak dilakukan, kestabilan pangan di Indonesia akan terganggu.
Apalagi, pemerintah saat ini cenderung mengutamakan untuk impor produk pangan ketimbang memproduksi sendiri. Walau ada kuota yang ditetapkan pemerintah yang ditujukan untuk membatasi sebuah produk impor, namun hal itu tak mampu membendung produk impor.
Sebagai bukti perusahaan swasta dapat dengan mudah mengimpor komoditas pangan. Jika impor yang dilakukan pihak swasta itu tak diawasi maka spekulasi harga pangan berpotensi besar terjadi. Sehingga, spekulasi itu merugikan petani.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang sejalan dengan perlindungan terhadap petani, pemerintah harus komitmen menjalankan reformasi agraria. Dengan menyediakan atau memberikan lahan garapan, maka petani dapat memproduksi pangan secara berkelanjutan. Hal mendasar yang wajib dipenuhi untuk merealisasikan kedaulatan pangan adalah tanah, infrastruktur pertanian yang mumpuni, harga benih dan lainnya.
Fadil Kirom, anggota Aliansi Petani Indonesia (API), menyebut lemahnya fungsi lembaga pangan yang ada saat ini merugikan petani. Misalnya, harga bawang petani ketika panen dihargai rendah yaitu Rp7 ribu/kilogram. Pada saat belum panen, harga bawang melambung sampai Rp70 ribu/kilogram.
Ujungnya, kesejahteraan petani tak terjamin dan masyarakat dirugikan dengan mahalnya harga bawang. Hal serupa juga terjadi pada komoditas pangan lain. Spekulasi itu menurutnya dipengaruhi pula oleh kebijakan impor.
Melihat ini, pemerintah dinilai mengutamakan kepentingan impor ketimbang melindungi petani. Padahal, kepentingan petani jumlahnya lebih banyak orang ketimbang pengimpor. Walau dalam rangka melindungi petani dan rakyat pemerintah melakukan kebijakan penetapan harga pasar, namun praktiknya tak efektif karena masuknya produk pangan impor.
Untuk membenahi masalah tersebut, lembaga pangan baru dapat menyelesaikannya. “Harus bisa mewujudkan kedaulatan pangan dari tingkat produksi sampai pasar,” ucapnya.
Kecenderungan pemerintah melindungi para importer terlihat dari jumlah investasi asing di sector pangan yang terus meningkat. Rahmi, anggota koalisi dari Indonesian Global Justice (IGJ), menyebut berdasarkan data yang diperoleh, periode 2010 – 2011, jumlah investasi mencapai AS$ 751 juta dan akhir 2011 meningkat sampai AS$ 1,6miliar. Melihat pesatnya kenaikan itu, jelas akan berdampak buruk pada petani lokal, terutama menyangkut harga jual produk pangan.
Rahmi mengkritik pemerintah yang kerap menuding produksi pangan lokal rendah, sehingga impor dibutuhkan. Padahal hal itu terjadi karena pemerintah tak serius. Misalnya, subsidi untuk sektor pertanian seperti benih dan pengucuran kredit untuk modal, tak berjalan baik. Padahal, petani butuh modal yang cukup untuk berproduksi.
Petani susah akses modal (kredit,-red) karena bank mensyaratkan harus ada jaminan yang jumlahnya tinggi, urainya.
Masalah lainnya dalam UU Pangan. Dalam UU Pangan ada ketentuan yang menyamakan posisi petani kecil dengan industri pertanian atau pangan. Dengan besarnya investasi asing yang masuk, besar kemungkinan pemerintah mengutamakan investor.
Ujungnya, pengambilalihan lahan akan marak terjadi. Oleh karenanya, lembaga pangan baru itu harus memperhatikan kedaulatan produksi dan distribusi pangan. “Petani lokal harus diutamakan untuk memproduksi pangan,” ucapnya.

http://merdekainfo.com/kajian-utama/item/853-pangan-potensi-yang-tak-dimaksimalkan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar