Senin, 11 Maret 2013

Impor RI Hanya Memperkaya Negara Eksportir

9 Maret 2013

JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 6 persen dalam lima tahun terakhir ternyata dibarengi dengan meningkatnya kebergantungan pada barang impor, terutama pangan dan bahan bakar minyak.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi dari impor itu lebih banyak dinikmati oleh negara eksportir dan justru memiskinkan rakyat banyak karena merosotnya kinerja industri dan semakin terjepitnya petani Indonesia.

Pada 2012, impor Indonesia meningkat 8 persen menjadi 191,7 miliar dollar AS atau sekitar 1.821 triliun rupiah. Impor pada awal tahun ini juga membuat cadangan devisa dalam dua bulan terakhir merosot menjadi 105,2 miliar dollar AS dari 112,8 miliar dollar AS pada akhir 2012.

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Awan Santosa, mengemukakan kebijakan dua periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu yang bertumpu pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri membuat ekonomi nasional berada dalam posisi dilematis.

"Impor membuat potensi bangsa melempem, basis agraris hancur, lautan tak potensial, lembah dan gunung dikeruk habis,"kata dia ketika dihubungi, Jumat (8/3).

Menurut dia, kebijakan ekonomi yang semestinya menjadi cara untuk memeratakan pendapatan rakyat dan mengejewantahkan keadilan justru berubah menjadi semata-mata menguntungkan importir, membuat potensi bangsa terabaikan, dan masa depan bangsa tergadaikan.

Peningkatan impor pada 2012 disebabkan oleh meningkatnya impor nonmigas sebesar 9,1 persen dan impor migas naik 4,6 persen menjadi 42,6 miliar dollar AS.

Lima belas komoditas impor nonmigas terbesar mengalami peningkatan impor kecuali gandum-ganduman dan kapas. Struktur impor 2012 masih didominasi oleh impor bahan baku/penolong yang mencapai 73 persen dan barang modal 20 persen. Impor barang modal selama tahun lalu mencapai 38,2 miliar dollar AS atau meningkat 15,2 persen dari tahun sebelumnya. Sementara impor bahan baku/penolong pada 2012 sebesar 140,1 miliar dollar AS, dan impor barang konsumsi 13,4 miliar dollar AS, naik 0,1 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dari lonjakan impor 2011 yang mencapai 34 persen.

Awan menilai pemerintah melupakan kewajiban memberdayakan rakyat banyak sehingga pertimbangan politik menjadi alat untuk memuaskan hasrat ekonomi kelompok penguasa. Petani dan nelayan sebagai soko guru bangsa pelan-pelan mati oleh serbuan pangan impor. Sumber daya alam yang berlimpah ruah tak sanggup diolah menjadi stimulus ekonomi berkelanjutan.

Runyamnya lagi, imbuh pengamat kebijakan publik, John Palinggi, sebagian anggaran negara juga digunakan untuk impor belanja barang pemerintah. "Barang-barang impor pemerintah itu dibeli dengan utang. Rakyat yang bayar pajak akhirnya tidak dapat apa-apa. Upaya mengentaskan kemiskinan pun tidak jelas karena anggaran negara habis untuk impor,"papar John di Jakarta.

John menambahkan hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah untuk secara signifikan menekan impor. Pemerintah cenderung memilih cara-cara instan, contohnya soal impor pangan. "Di bidang pertanian, tidak ada upaya mencetak sawah baru. Akibatnya, impor beras terus-menerus,"ujar John.

Awan juga menyatakan pembangunan tidak lagi berpihak pada kalangan perdesaan sehingga ketika produk pertanian lokal tidak sanggup memenuhi permintaan nasional, impor menjadi andalan. Akibatnya, rakyat secara umum mendapat fluktuasi harga yang sering tidak masuk akal dan kerap merugikan petani lokal.

Selama ini, menurut dia, desa yang semestinya menjadi orientasi pembangunan berubah menjadi sekadar ekses dari pembangunan perkotaan yang dikuasai oleh modus ekonomi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Impor dengan mudah bisa mendatangkan keuntungan penguasa perkotaan, mengalahkan desa sebagai pusat sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Akibat jangka panjang akan hal tersebut, selain ekonomi yang terancam menjadi sekadar pasar bagi produk luar, generasi masa depan menjadi bermental konsumen dan instan. Itulah, menurut Awan, bahaya terbesar bangsa saat ini.

"Saat generasi masa depan kita sudah tidak berurusan dengan produksi, yang penting ada dan cepat, maka saat itulah segala berkat dari Tuhan berupa limpahan SDA hanya akan diperas habis untuk sebesar-besarnya kepentingan pemodal dan asing,"kata Awan.

Bukan Kebetulan
John menilai kebergantungan pada impor bukan terjadi secara kebetulan. Pasalnya, potensi korupsi dari proses impor sangat besar. "Mereka bisa membuat invoice atau faktur dari luar dengan harga yang besar,"jelas dia.

Semestinya, menurut John, pemerintah harus mengubah paradigma pembangunan agar tidak bergantung pada impor yang merusak anggaran negara. "Dampak lain, utang luar negeri kita terus bertambah,"tutur dia.

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan UUD ‘45 sudah menegaskan bahwa seluruh isi bumi, air, dan tanah harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Karena itu, pemerintah dan DPR harus berani merancang dan meluluskan undang-undang yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa sendiri.

"Pemerintah dan DPR harus berani merancang dan meluluskan undang-undang yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa sendiri. Misalnya soal migas, manfaatkan politik bebas aktif kita dan buat perjanjian ulang dengan perusahaan migas asing yang selama ini menguras kekayaan kita. Insentif marjin dari migas yang lebih fair bisa dipakai untuk membangun industri dalam negeri yang padat modal, padat karya, dan punya nilai tambah,"jelas dia.

Menurut Suroso, strategi pembangunan ekonomi jangan sekadar memasukkan investasi berupa kapital yang lebih padat modal ketimbang padat karya. "Sebab, kalau padat modal, yang untung asing. Makanya, pemerintah harus punya perencanaan pembangunan yang hasilnya benar-benar untuk kepentingan nasional,"papar dia. YK/SB/lex

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/114234/hl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar