Selasa, 19 Februari 2013

Kapitalisasi Agribisnis

19 Februari 2013

Indonesia adalan Negara agraris” hanya tinggal kenangan. Beberapa tahun ke belakang ini kita telah disadarkan bahwa kondisi pertanian kita masih rapuh, dan sangat labil dalam persaingan di tingkat global. Dimana kekuatan global yang menganut kepada ‘mahzab’ mekanisme pasar dalam Sistem Kapitalisme, menjadikan Indonesia salah satu negara ‘pengimpor beras’ terbesar di dunia. Mulai tahun 1995 indonesia masuk pada perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture) WTO. Implikasinya adalah menghilangkan sedikit demi sedikit subsidi pemerintah terhadap petani dan pengurangan subsidi ekspor. Selain itu, perjanjian internasional yang disepakati pemerintah adalah TRIPs. Perjanjian ini mewajibkan setiap Negara untuk memberikan paten terhadap penemuan dibidang bioteknologi termasuk lingkup pangan dan pertanian. Celakanya, perusahaan multinasional telah menguasai 97 persen paten di dunia artinya petani kita yang ada di desa harus membeli bibit dari korporasi-korporasi besar.
Keberpihakan pemerintah terhadap korporasi jelas terlihat pada Forum Ekonomi Dunia di Jakarta, Juni 2011 lalu, Indonesia resmi mengadopsi pendekatan ekonomi hijau. Dengan formula 20-20-20 (meningkatkan produksi pangan 20%, menekan emisi gas rumah kaca 20%, dan menekan kemiskinan 20%), pemerintah menggandeng 14 korporasi multinasional seperti Nestle, Monsanto, Cargill, Unilever, dan Danone. Dengan dalih ekonomi hijau, pencaplokan korporasi nasional oleh MNCs akan kian masif. Agenda ekonomi hijau hanya kelanjutan dan bagian dari usaha melempangkan jalan korporatokrasi pangan yang telah berjalan. Bukankah sejumlah MNCs seperti Danone (Prancis), Unilever (Inggris), Nestle (Swiss), Coca Cola (AS),HJ Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Philip Morris (AS) sudah sejak lama mencaplok produk pangan local. Kecap dan saus ABC misalnya, 65% sahamnya dimiliki Heinz, seluruh saham PT Sariwangi dicaplok Unilever, 75% saham Aqua dimiliki Danone, dan 100% saham Ades dimiliki Coca Cola. Alih-alih mendongkrak produksi pangan, menekan emisi GRK dan kemiskinan, mengadopsi pendekatan ekonomi hijau bisa jadi justru melanggengkan penjajahan sumber daya alam dan manusia Indonesia, khususnya petani.
Demikian halnya dengan RUU Pangan.  RUU ini merupakan salah satu RUU inisiatif DPR dan memiliki banyak kelemahan, bahkan menyimpan potensi bahaya dan merugikan masyarakat banyak.  Berbagai kelemahan dan bahaya itu seperti yang bisa dilihat dalam paparan berikut. RUU ini jelas sekali mengusung spirit neo liberal.  RUU ini justru mengusung liberalisasi sektor pangan.  Hal itu tampak dari diberinya kesempatan luas bagi daerah dan akhirnya kepada swasta untuk mengimpor pangan.  Bahkan impor pangan menjadi salah satu sumber penyediaan cadangan pangan dan mewujudkan ketersediaan pangan.
Kran impor terbuka lebar sejak Indonesia ikut menyepakati perjanjian Asia Free Trade Area (AFTA) tanggal 28 Januari 1992 bersama lima Negara asean lainnya. Implikasinya impor bahan pangan ke Indonesia semakin menjadi-jadi. Impor bahan-bahan pangan seperti garam, gula, ikan dan kentang selalu meningkat dari tahun ke tahun. UU Holtikultura semakin memperparah impor produk-produk holtikultura ke Indonesia. Selain itu, impor beras dari Vietnam dan impor sapi dari Australia juga kerap kali masih tetap dilakukan oleh pemerintah. Ironisnya, Indonesia merupakan Negara sebenarnya bisa memproduksi sendiri bahan pangan tersebut akan tetapi sekali lagi pemerintah selalu berpihak ke korporasi-korporasi besar yang menjanjikan keuntungan pribadi ketimbang mensejahterahkan rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar