JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah harus merespons kenaikan harga dan kendala distribusi berbagai bahan pangan utama maupun komoditas pertanian sepanjang musim hujan pada 2013. Selain itu, tingginya harga bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat juga tak lepas dari adanya praktik kartel pangan.
Senin, 18 Februari 2013
IMPOR DAGING SAPI Kartel Pangan Harus Diberantas
18 Februari 2013
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah harus merespons kenaikan harga dan kendala distribusi berbagai bahan pangan utama maupun komoditas pertanian sepanjang musim hujan pada 2013. Selain itu, tingginya harga bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat juga tak lepas dari adanya praktik kartel pangan.
Rangkuman pendapat tersebut disampaikan ekonom Center for Strategic and
International Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi, Sekjen Dewan
Pengurus Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon,
Direktur Eksekutif Institut for Global Justice (IGJ) M Riza Damanik,
serta pakar pertanian HS Dilon, di Jakarta, secara terpisah.
Menurut Fadli Zon, melonjaknya harga daging sapi, kedelai, serta
beberapa komoditas lain tidak lepas dari keberadaan kartel pangan yang
tetap eksis hingga saat ini. Terbongkarnya kasus impor daging sapi,
lanjut dia, merupakan bukti kuat terjadi praktik tersebut.
Keberadaan kartel pangan tersebut dipastikan memiliki jaringan yang
kuat ke pihak pengambil keputusan. "Mereka berkolusi dengan penguasa,"
ujarnya.
Untuk itu, informasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
menyebutkan adanya kartel, seharusnya membuat pemerintah segera
mengambil tindakan untuk menertibkannya. "Bukan justru minta publik tak
gegabah menyalahkan adanya kartel," tuturnya.
Pemerintah dianggapnya terlalu percaya diri dengan sistem yang
dibuatnya. Bahkan, terlalu yakin dengan sistem yang ada, sehingga
menghindari praktik kartel. Akibatnya, pemerintah pun enggan menyelidiki
keberadaan kartel.
Dia mengatakan, keberadaan kartel pangan sekaligus menjadi bukti
lemahnya Undang-Undang UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha.
Sebab, saat UU Antimonopoli itu dibuat, kata Fadli, konteksnya hanya
sekadar memenuhi pesanan International Monetary Fund (IMF).
Menurut dia, to-tal impor pangan Indonesia pada 2012 senilai Rp 81,5
triliun. Dari jumlah itu, Fadli menyebut kartel importir bahan pangan
mengambil 30 persen keuntungan per tahun atau sekitar Rp 11,3 triliun.
Kartel pangan juga sering memanfaatkan kelemahan pemerintah, misalnya
memanfaatkan lemahnya akurasi data pangan, sebagaimana sering terjadi
dalam sensus cadangan sapi nasional.
"Simpang siur data pangan inilah yang sering kali dimainkan kelompok kartel," ujarnya.
Sementara itu, M Riza Damanik mengatakan, akibat tidak akuratnya data
pangan memicu meningkatnya impor pangan. "Karena data yang tidak akurat
ini menjadi jalan untuk membuka keran impor pangan," kata Riza.
Kelemahan data ini, lanjutnya, bisa terjadi karena antarkementerian
kurang padu, baik itu Kementerian Perdagangan, Kementerian
Per-industrian, maupun kementerian terkait lainnya. Akibatnya, tidak
sedikit oknum pegawai di pemerintahaan yang dengan sengaja memanfaatkan
kelemahan data untuk kepentingan tertentu.
Riza juga berpendapat, keikutsertaan Indonesia dalam WTO juga tidak
mampu menahan derasnya alih fungsi lahan pertanian dan hutan produktif
untuk kegiatan pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Hal
ini berdampak langsung terhadap upaya pemiskinan rakyat Indonesia.
Menurut dia, impor produk pangan menjadi bisnis yang identik dengan
praktik manipulatif hingga koruptif. Hal tersebut terlihat dalam
penangkapan anggota Komisi I DPR Luthfi Hasan Ishaaq atas dugaan
keterlibatannya dalam permainan kuota impor daging.
Untuk memperbaiki kondisi pangan ini, Pande Radja Silalahi mengatakan,
pemerintah harus melakukan perbaikan stok. "Dibarengi dengan kelancaran
distribusi barang ke setiap daerah," kata dia. Dengan demikian,
kelangkaan barang yang berdampak pada kenaikan harga bisa segera
teratasi.
Meski demikian, dia mengatakan, keakuratan data produksi dan stok bahan
pangan harus benar-benar dijaga, karena kelangkaan pangan yang terjadi
bisa menjadi permainan baru para importir untuk mengeruk keuntungan di
tengah situasi yang terjadi untuk memenuhi stok pangan nasional.
"Jika memang benar terjadi kekurangan stok pangan karena adanya
gangguan produksi akibat banjir, maka melakukan impor untuk pemenuhan
kebutuhan konsumsi tidaklah masalah, tetapi data tersebut harus valid,
jangan malah produksi petani lokal yang ada diabaikan, dan lebih memilih
untuk impor," ujar Pande.
Sebelumnya, pakar pertanian HS Dillon mengatakan, penyebab terjadinya
gejolak harga komoditas pangan saat ini akibat ketidakmampuan dan
rendahnya pola pikir pejabat-pejabat di Kementerian Pertanian, termasuk
Menteri Pertanian sendiri. Mereka dinilai hanya memikirkan rencana
jangka pendek, sehingga tidak bisa merealisasikan program jangka panjang
yang bertujuan mewujudkan swasembada pangan, termasuk daging sapi.
"Beberapa tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah
memerintahkan kepada Menteri Pertanian untuk melakukan restrukturisasi
sektor pertanian secara luas, tetapi instruksi ini tidak dijabarkan
dalam program dan kebijakan yang konkret dan jelas. Akibatnya, hingga
kini tidak terlihat ada keberhasilan dalam program ini," tuturnya.
Menurut dia, di dalamnya tentu termasuk peningkatan produksi daging
hingga mencapai swasembada. "Menteri Pertanian hanya terfokus pada
program lima tahunan saja, bukan membuat strategi dan kebijakan jangka
panjang," katanya.
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono dinilai gagal dalam mewujudkan
swasembada. Hal ini, menurut dia, tercermin dari kebijakan Kementerian
Pertanian yang tidak jelas dan bersifat jangka pendek, seperti dalam
program pengadaan daging sapi.
Brdasarkan pantauan di tingkat eceran dan pasar tradisional, harga
bahan pangan masih bertahan tinggi, misalnya harga telur ayam saat ini
masih Rp 19.000 per kilogram (kg). Bahkan, saat ini, harga kedelai impor
naik, paling rendah Rp 7.450 per kg atau Rp 400 lebih mahal ketimbang
pada akhir 2012.
"Pusinglah. Padahal pada akhir Januari juga sudah naik," kata seorang perajin tempe, Budi Sudarno.
Akhir Desember 2012, harga kedelai masih Rp 7.050-Rp 7.100 per kg,
kemudian menjadi Rp 7.350-Rp 7.400 per kg di akhir Januari 2013, dan
bertengger di angka Rp 7.450 per kg pada sepekan ini. (Bayu/Budi Seno)
Pande Radja Silalahi, Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS)
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah harus merespons kenaikan harga dan kendala distribusi berbagai bahan pangan utama maupun komoditas pertanian sepanjang musim hujan pada 2013. Selain itu, tingginya harga bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat juga tak lepas dari adanya praktik kartel pangan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar