Minggu, 10 Februari 2013

Drajad Wibowo: Ada Mafia Impor di Indonesia!

9 Februari 2013

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Ekonom Drajad Wibowo mengungkap, penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah RI dengan IMF pada bulan Januari 1998 merupakan tonggak sejarah yang berperan besar merusak sistem produksi pangan di Indonesia.
Melalui LoI, kata Drajad, peranan Bulog sebagai lembaga sentral dalam stabilisasi harga pangan, utamanya beras, dikebiri habis. Kredit likuiditas untuk pangan juga dilarang. Akibatnya, Bulog tidak mampu lagi menjaga mekanisme harga dasar, harga atas, manajemen stok dan operasi pasar yang dulu efektif menstabilkan harga pangan, kecuali pada saat krisis Asia.
"Bahwa monopoli oleh Bulog menjadi sumber korupsi itu memang benar dan harus diberantas. Tapi memberantas korupsi bisa dilakukan tanpa harus melumpuhkan sistem stabilisasi pangan yg terbukti cukup efektif," ujar Drajad yang juga Wakil Ketua Umum DPP PAN ini dalam rilisnya kepada Tribunnews, Sabtu (9/2/2013).
LoI, katanya, membuka keran impor besar-besaran dengan jalan menurunkan bea masuk impor produk pertanian pangan dan non-pangan menjadi 0 dan 5 persen.
"Kebijakan pro impor sebagai lahan subur bagi mafia impor pangan. Dampak LoI yg paling parah adalah dari sisi orientasi kebijakan. Pada masa Presiden Soeharto, para pembuat kebijakan berorientasi pada swasembada serta pengamanan produksi dan harga bagi petani. Pasca LoI, orientasi kebijakan menjadi sangat pro impor pangan," paparnya.
Ditegaskan, penentangan terhadap sikap pro impor ini sudah banyak disuarakan oleh para ekonom dan lembaga penelitian yang anti neoliberalisme. Himpunan Alumni IPB juga sangat konsisten menyuarakan keberpihakan terhadap buah lokal.
"Bersama Indef, saya sejak 1999 terus menerus menyuarakan hal yg sama. Saya tidak anti asing, tidak anti impor. Yang saya tentang adalah kebijakan pro-impor yang sudha berlebihan,hingga pemerintahan saat inipun tidak mengalami perubahan berarti," keluh Drajad.
"Penangkapan pimpinan parpol terkait impor daging sapi (mantan Presiden PKS Lutfi Hasan) seolah-olah membuka mata rakyat Indonesia, bahwa mafia impor yang kami teriakkan itu benar adanya," tegasnya lagi.
Bahwa tidak sedikit oknum, baik dari parpol maupun non-parpol, yang mengeruk rente uang haram besar-besaran dari impor pangan. Bahwa impor pangan itu, sambung Drajad,bukan murni soal supply dan demand, tapi lebih kepada bagaimana bisa mengeruk uang banyak dengan mudah dan cepat.
Orang sering menyalahkan politisi dan parpol. Memang benar ada oknum politisi yang korupsi dari impor pangan. Namun, dengan atau tanpa politisi pun, Drajad mengakui,pengerukan uang haram dari impor pangan tetap akan terjadi.
Beberapa modusnya antara lain, estimasi kebutuhan komoditi pangan dilebih-lebihkan. Yang penting terdapat gap besar antara supply dan demand sehingga kesannya impor menjadi keharusan.
Yang lain, papar Drajad, membuat lonjakan harga komoditas pangan pada bulan-bulan tertentu. Sehingga, impor pangan terjustifikasi.
"Ketiga, mendorong kemudahan perpajakan sehingga importir mendapat keuntungan besar dari pembebasan PPN, bea masuk dan PPh. Keuntungan besar ini yang kemudian dibagi-bagi kepada siapa saja yang membantu menjaga impor, baik politisi, birokrat atau siapa saja," ungkapnya.
Modus lain, memainkan berbagai mekanisme pengaturan seperti kuota impor. Padahal faktanya, impor setiap komoditas pangan itu hanya dikuasai oleh segelintir pemain. Mekanisme kuota ini memudahkan membagi-bagi uang haram dari impor.
"Sebagai alumni IPB, saya sangat menyayangkan bahwa meskipun Presiden SBY adalah alumni pasca sarjana IPB, namun kebijakan pro-impor ini tidak dikoreksi total. Saya berharap dalam sisa masa pemerintahan ini, Presiden SBY dan tim ekonominya, yang notabene dikomandani Ketum partai saya, mau mengembalikan orientasi kebijakan pangan menjadi pro-swasembada dan produksi dalam negeri seperti pada jaman Presiden Soeharto," kata Drajad Wibowo.

Penulis: Rachmat Hidayat  |  Editor: Willy Widianto
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar