Kamis, 03 Januari 2013

Kesejahteraan Petani Masih Terabaikan

2 Januari 2013

Peraturan pangan baru belum mampu membendung arus impor yang semakin besar setiap tahun.

Pada 2012 yang baru saja kita lalui, berbagai masalah masih melanda petani dan masyarakat pedesaan. Seperti masalah akses dan kontrol atas tanah, air, benih, konflik agraria, belum adanya perlindungan harga produk pertanian bagi para petani kecil serta serbuan pangan impor murah yang menyebabkan anjloknya harga produk pertanian dalam negeri.
Terkait dengan Rencana Strategis 2010-2014 Kementerian Pertanian dan lebih jauh Rencana Strategis Pemerintahan SBY, tahun 2012 sejumlah kebijakan strategis di sektor pangan dan pertanian dikeluarkan.
Di tengah kondisi sistem pertanahan Indonesia yang pelik, awal Februari 2012 pemerintah justru mengeluarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang semakin menambah tumpang tindih aturan pertanahan dan berpotensi besar meningkatkan konflik agraria (lihat tabel).
Pada 2012 juga terjadi peningkatan konflik agraria di areal kehutanan yang berujung pada kriminalisasi dan penangkapan petani. Dualisme sistem pertanahan berujung pada konflik agraria yang berkepanjangan. Hal ini semakin diperparah dengan keterlibatan aparat bersenjata yang meningkatkan potensi kekerasan yang dialami petani dan masyarakat pada umumnya.
Di tahun 2012 pula, pembahasan panjang revisi Undang-Undang Pangan No 7 Tahun 1996 dituntaskan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pangan baru No 18 Tahun 2012.
Ketua Umum Serikat Petani Inonesia (SPI), Henry Saragih kepada SH, baru-baru ini menyatakan semangat kedaulatan pangan yang menjadi awal desakan SPI bersama berbagai organisasi rakyat lainnya justru dilemahkan dengan sejumlah pasal dalam undang-undang baru tersebut yang justru semakin memberi ruang luas pada perusahaan pangan dan agribisnis untuk mengelola sektor pangan dan pertanian yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Peraturan pangan yang baru ini juga tampaknya belum mampu membendung arus impor pangan yang semakin besar setiap tahun. Berbagai komoditas pangan tidak sesuai target pencapaiannya. Tahun ini ketergantungan pada impor sejumlah komoditas seperti kedelai, singkong dan gandum telah menyebabkan gejolak yang cukup besar baik di tingkat konsumen maupun produsen kecil.
Di sisi lain langkah pemerintah memberlakukan pembatasan pintu masuk impor hortikultura per Juni 2012 dan demikian juga dengan daging sapi perlu mendapat acungan jempol, walaupun sejumlah kendala lainnya belum mampu mencegah banjirnya pasar lokal dengan aneka pangan impor.
Berbagai target produksi pangan untuk beberapa komoditas direvisi pun tidak sanggup terpenuhi di tahun 2012. Kedelai, misalnya, target yang dibuat adalah 1,9 juta ton, kemudian direvisi menjadi 1,1 juta ton dalam realisasinya hanya 780.000 ton.
Beberapa produk pangan yang tercapai target produksinya melalui revisi adalah padi target awalnya 71 juta ton, direvisi menjadi 67,83 juta ton realisasinya terjadi surplus yakni 67,96 juta ton. Demikian juga dengan jagung optimistis ditargetkan mencapai 24 juta ton, direvisi menjadi 18,86 juta ton, tercapai surplus dari revisi yakni 18,96 juta ton.
Impor Kedelai
Bahan pangan merupakan salah satu penyebab utama inflasi di Indonesia. Menurut data BPS November 2012 angka inflasi sebesar 0,07 persen dipengaruhi terbesar oleh kelompok makanan, minuman dan rokok.
Tak heran ketika harga kedelai kembali melonjak tajam di pertengahan tahun 2012, memukul bukan saja para perajin tahu dan tempe, namun konsumen pada umumnya. Pemerintah pun segera menurunkan bea masuk kedelai menjadi 0 persen.
Langkah penurunan bea masuk diambil karena 70 persen kebutuhan kedelai di Indonesia saat ini didapat dari impor. Penyelesaian jangka pendek yang tak mampu memecahkan persoalan panjang, penurunan bea masuk kedelai hingga 0 persen itulah justru yang menjadi penyebab awal tingginya ketergantungan pada kedelai impor.
Tahun 1999, pemerintah dengan kebijakan pasar bebasnya mulai membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk hingga 0 persen seperti tahun ini. Langkah tersebut menyebabkan pasar nasional dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani tertekan. Petani banyak yang merugi dan memilih beralih ke tanaman lain atau terpaksa mencari pekerjaan di sektor lain.
Penghapusan bea masuk kedelai impor memengaruhi turunnya produksi kedelai dalam negeri, bahkan selama 10 tahun terakhir produksi kedelai nasional tak pernah lebih dari 1 juta ton. Sejak 2002 hingga 2011, produksi kedelai nasional tertinggi hanya 974.512 ton pada 2010, sementara kebutuhan nasional sudah mencapai 3 juta ton per tahun.
Data BPS menunjukkan impor kedelai pernah “hanya” 541 ton pada 1990. Angka ini melonjak menjadi 2,088,616 ton dengan nilai Rp 5,9 triliun pada 2011 dan di triwulan I tahun 2012 sebesar 374,870 ton dengan nilai US$ 202.421.000 atau setara dengan Rp 1,8 triliun.
Langkah strategis yang perlu segera dilakukan ialah menggenjot peningkatan produksi lokal. Gairah berproduksi kedelai harus ditingkatkan kembali dengan memastikan insentif bagi petani yang menanam kedelai. Meningkatkan luas lahan produksi dan memberikan pelatihan serta dukungan input bagi para petani kedelai.
Jika Menteri Pertanian belum lama ini mengumumkan terdapat 2,1 juta hektare (ha) lahan produktif dari 7 juta ha lahan telantar yang ada hari ini seharusnya lahan-lahan tersebut didistribusikan kepada para petani kedelai maupun tanaman pangan lainnya untuk sungguh-sungguh kembali mencapai swasembada pangan di Indonesia, dan melepaskan ketergantungan dari pangan impor.
Sumber : Sinar Harapan
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar