Peraturan pangan baru belum mampu membendung arus impor yang semakin besar setiap tahun.
Pada 2012 yang baru saja kita lalui,
berbagai masalah masih melanda petani dan masyarakat pedesaan.
Seperti masalah akses dan kontrol atas tanah, air, benih, konflik
agraria, belum adanya perlindungan harga produk pertanian bagi para
petani kecil serta serbuan pangan impor murah yang menyebabkan
anjloknya harga produk pertanian dalam negeri.
Terkait dengan Rencana Strategis
2010-2014 Kementerian Pertanian dan lebih jauh Rencana Strategis
Pemerintahan SBY, tahun 2012 sejumlah kebijakan strategis di sektor
pangan dan pertanian dikeluarkan.
Di tengah kondisi sistem pertanahan
Indonesia yang pelik, awal Februari 2012 pemerintah justru
mengeluarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang semakin menambah tumpang
tindih aturan pertanahan dan berpotensi besar meningkatkan konflik
agraria (lihat tabel).
Pada 2012 juga terjadi peningkatan
konflik agraria di areal kehutanan yang berujung pada kriminalisasi
dan penangkapan petani. Dualisme sistem pertanahan berujung pada
konflik agraria yang berkepanjangan. Hal ini semakin diperparah
dengan keterlibatan aparat bersenjata yang meningkatkan potensi
kekerasan yang dialami petani dan masyarakat pada umumnya.
Di tahun 2012 pula, pembahasan panjang
revisi Undang-Undang Pangan No 7 Tahun 1996 dituntaskan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Pangan baru No 18 Tahun 2012.
Ketua Umum Serikat Petani Inonesia
(SPI), Henry Saragih kepada SH, baru-baru ini menyatakan semangat
kedaulatan pangan yang menjadi awal desakan SPI bersama berbagai
organisasi rakyat lainnya justru dilemahkan dengan sejumlah pasal
dalam undang-undang baru tersebut yang justru semakin memberi ruang
luas pada perusahaan pangan dan agribisnis untuk mengelola sektor
pangan dan pertanian yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Peraturan pangan yang baru ini juga
tampaknya belum mampu membendung arus impor pangan yang semakin besar
setiap tahun. Berbagai komoditas pangan tidak sesuai target
pencapaiannya. Tahun ini ketergantungan pada impor sejumlah komoditas
seperti kedelai, singkong dan gandum telah menyebabkan gejolak yang
cukup besar baik di tingkat konsumen maupun produsen kecil.
Di sisi
lain langkah pemerintah memberlakukan pembatasan pintu masuk impor
hortikultura per Juni 2012 dan demikian juga dengan daging sapi perlu
mendapat acungan jempol, walaupun sejumlah kendala lainnya belum
mampu mencegah banjirnya pasar lokal dengan aneka pangan impor.
Berbagai target produksi pangan untuk
beberapa komoditas direvisi pun tidak sanggup terpenuhi di tahun
2012. Kedelai, misalnya, target yang dibuat adalah 1,9 juta ton,
kemudian direvisi menjadi 1,1 juta ton dalam realisasinya hanya
780.000 ton.
Beberapa produk pangan yang tercapai target produksinya
melalui revisi adalah padi target awalnya 71 juta ton, direvisi
menjadi 67,83 juta ton realisasinya terjadi surplus yakni 67,96 juta
ton. Demikian juga dengan jagung optimistis ditargetkan mencapai 24
juta ton, direvisi menjadi 18,86 juta ton, tercapai surplus dari
revisi yakni 18,96 juta ton.
Impor Kedelai
Bahan pangan merupakan salah satu
penyebab utama inflasi di Indonesia. Menurut data BPS November 2012
angka inflasi sebesar 0,07 persen dipengaruhi terbesar oleh kelompok
makanan, minuman dan rokok.
Tak heran ketika harga kedelai kembali
melonjak tajam di pertengahan tahun 2012, memukul bukan saja para
perajin tahu dan tempe, namun konsumen pada umumnya. Pemerintah pun
segera menurunkan bea masuk kedelai menjadi 0 persen.
Langkah penurunan bea masuk diambil
karena 70 persen kebutuhan kedelai di Indonesia saat ini didapat dari
impor. Penyelesaian jangka pendek yang tak mampu memecahkan persoalan
panjang, penurunan bea masuk kedelai hingga 0 persen itulah justru
yang menjadi penyebab awal tingginya ketergantungan pada kedelai
impor.
Tahun 1999, pemerintah dengan kebijakan pasar bebasnya mulai
membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk hingga 0 persen
seperti tahun ini. Langkah tersebut menyebabkan pasar nasional
dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani
tertekan. Petani banyak yang merugi dan memilih beralih ke tanaman
lain atau terpaksa mencari pekerjaan di sektor lain.
Penghapusan bea masuk kedelai impor
memengaruhi turunnya produksi kedelai dalam negeri, bahkan selama 10
tahun terakhir produksi kedelai nasional tak pernah lebih dari 1 juta
ton. Sejak 2002 hingga 2011, produksi kedelai nasional tertinggi
hanya 974.512 ton pada 2010, sementara kebutuhan nasional sudah
mencapai 3 juta ton per tahun.
Data BPS menunjukkan impor kedelai
pernah “hanya” 541 ton pada 1990. Angka ini melonjak menjadi
2,088,616 ton dengan nilai Rp 5,9 triliun pada 2011 dan di triwulan I
tahun 2012 sebesar 374,870 ton dengan nilai US$ 202.421.000 atau
setara dengan Rp 1,8 triliun.
Langkah strategis yang perlu segera
dilakukan ialah menggenjot peningkatan produksi lokal. Gairah
berproduksi kedelai harus ditingkatkan kembali dengan memastikan
insentif bagi petani yang menanam kedelai. Meningkatkan luas lahan
produksi dan memberikan pelatihan serta dukungan input bagi para
petani kedelai.
Jika Menteri Pertanian belum lama ini mengumumkan
terdapat 2,1 juta hektare (ha) lahan produktif dari 7 juta ha lahan
telantar yang ada hari ini seharusnya lahan-lahan tersebut
didistribusikan kepada para petani kedelai maupun tanaman pangan
lainnya untuk sungguh-sungguh kembali mencapai swasembada pangan di
Indonesia, dan melepaskan ketergantungan dari pangan impor.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar