Selasa, 18 Desember 2012

TAJUK RENCANA : Ironi Impor Singkong

18 Desember 2012

Membengkaknya impor tepung singkong Indonesia terasa ironis karena kita membanggakan diri sebagai negara agraris yang subur makmur.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengakui lonjakan impor tepung singkong pada 2012. Hingga bulan September besarnya 587.000 ton, naik dari impor tahun 2011 yang total mencapai 435.000 ton. Tepung tersebut terutama digunakan untuk industri kertas, kayu lapis, tekstil, dan industri makanan-minuman.
Kelompok musik Koes Plus pernah mendendangkan lagu ”Kolam Susu” yang memuja kesuburan tanah Nusantara. ”Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Singkong atau ubi kayu sangat mudah tumbuh, bahkan di tanah yang tidak terlalu subur. Tak heran tingginya impor tepung singkong menimbulkan keprihatinan.
Pada akhir dekade 1980-an petani di Lampung mengeluh karena singkong mereka dihargai sangat murah, di bawah biaya produksi. Industri pengolahan singkong, terutama di Lampung sebagai sentra produksi singkong, tidak mampu menampung ubi kayu petani sehingga harga jatuh.
Keadaan ternyata tidak banyak berubah setelah hampir 30 tahun berlalu. Tingginya impor tepung singkong disebabkan tidak berkembangnya industri pengolahan. Tepung yang diproduksi belum tentu sesuai kebutuhan industri. Padahal, produksi ubi kayu basah sangat mencukupi, naik 19 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Pemerintah pernah mengembangkan industri tapioka rakyat yang menyelaraskan antara produksi singkong dan industri pengolahan milik rakyat. Sayangnya, sisi tata niaganya tidak berkembang.
Impor tepung singkong bukan hanya belakangan ini terjadi, setidaknya sejak tahun 2007. Pertanyaan yang selalu menyertai impor bahan pangan adalah mengapa di satu sisi dinyatakan produksi lebih dari cukup, tetapi pada saat yang sama impor terus membengkak.
Ketidakselarasan antara produksi, pemasaran, dan konsumsi tidak hanya terjadi pada singkong, tetapi juga pada bahan pangan lain. Sebelumnya, hal yang sama terjadi pada daging sapi. Pemerintah mengatakan ada lebih dari 16 juta sapi dan kerbau, tetapi harga daging sapi di pasar melonjak tinggi. Pada beras, angka statistik memperlihatkan produksi terus meningkat dan pada saat yang sama ada pernyataan konsumsi beras per orang menurun signifikan, tetapi impor beras tetap terjadi.
Pemerintah perlu segera memetakan pola agribisnis singkong yang menjelaskan kemampuan dan lokasi produksi serta besar dan jenis kebutuhan tepung tapioka. Koordinasi memang lebih mudah diucapkan di negeri kita, tetapi Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan harus duduk bersama meninggalkan kepentingan sektoral. Hanya dengan cara ini petani produsen terlindungi dari fluktuasi harga dan kebutuhan industri terpenuhi.
LDP Kembali Pimpin Jepang
Seperti diperkirakan, LDP menang dalam pemilu Jepang, Minggu (16/12). Kemenangan itu memuluskan langkah Shinzo Abe kembali ke kursi PM.
Bukan itu saja, Partai Demokrat Liberal (LDP) diprediksi menguasai 275 hingga 300 kursi dari total 480 kursi majelis rendah. Itu berarti, LDP meraih mayoritas kursi dan dapat membentuk pemerintahan sendiri. Namun, LDP kemungkinan akan menjalin koalisi dengan mitra lamanya, Komeito Baru, partai berbasis pendukung pemeluk agama Buddha.
Kemenangan telak LDP itu kemungkinan akan mengubah postur luar negeri Jepang. Ini mengingat semasa kampanye, Abe, yang pernah menjabat sebagai PM Jepang pada tahun 2006-2007, antara lain, berjanji akan bersikap lebih keras dan tegas dalam menghadapi agresivitas China di Laut China Timur.
Janji Abe itu ditanggapi dengan sikap mendua. Di satu sisi, kita melihat bahwa China memang memperlihatkan sikap agresif dalam menangani tumpang tindih klaim dengan Jepang di gugus Kepulauan Senkaku (China menyebutnya Daioyu) di Laut China Timur. Sikap agresif seperti itu, cepat atau lambat, pasti akan memancing negara yang bersengketa dengannya akan mengambil sikap yang sama. Sikap serupa diperlihatkan China dalam menangani tumpang tindih klaim dengan Taiwan dan empat negara anggota ASEAN, yakni Brunei, Filipina, Malaysia, dan Vietnam, di Laut China Selatan.
Namun, di sisi lain, kita juga khawatir dan tidak ingin sikap keras dan tegas Jepang terhadap China berkembang tidak terkendali. Pengalaman di masa lalu mengingatkan kita betapa Jepang yang militeristis sangat berbahaya.
Kekhawatiran itu menjadi semakin besar karena Abe berjanji akan merevisi konstitusi pasifis (cinta damai) Jepang yang sudah berusia 65 tahun dan selama ini membatasi kekuatan serta kapabilitas militernya.
Kita memang tidak dapat memaksa Jepang untuk tidak merevisi konstitusi pasifisnya. Namun, yang dapat kita lakukan adalah mengingatkan Jepang untuk tidak menjadikan negaranya seperti di masa lalu, Jepang yang militeristis. Namun, kita juga tidak ingin Jepang menjadi bulan- bulanan akibat sikap China yang agresif.
Dalam kaitan itulah, kita berharap Shinzo Abe, yang hampir pasti menduduki kursi perdana menteri, dapat mengawal revisi konstitusi pasifis Jepang sehingga Jepang memiliki militer yang kuat, tetapi tidak menjadi militeristis dan mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Harapan itu tidaklah berlebihan, mengingat LDP adalah partai yang mendominasi Pemerintah Jepang seusai Perang Dunia II hingga kalah dalam pemilu tahun 2009. Dengan demikian, walaupun ada keinginan untuk lebih keras dan tegas terhadap China, mereka tetap dapat mengendalikan diri karena masih dibayang-bayangi oleh kesalahan yang dilakukan Jepang di masa lalu.

http://cetak.kompas.com/read/2012/12/18/03471012/tajuk.rencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar