19 Desember 2012
MARIA HARTININGSIH
Albert Einstein
(1879-1955) bukan entomologis. Ia juga bukan peternak lebah. Namun,
kutipannya yang dianggap kontroversial adalah tentang lebah.
Kutipan
sang genius, penemu teori relativitas; konsepsi baru tentang waktu, itu
adalah ”Kalau lebah menghilang dari permukaan bumi, manusia hanya
punya sisa waktu hidup empat tahun. Tak ada lagi lebah, tak ada lagi
penyerbukan, tak ada lagi tumbuhan, tak ada lagi hewan, tak ada lagi
manusia.”
Kutipan apokaliptik di koran-koran besar dunia sejak
tahun 1994 itu memicu perdebatan tentang otentisitasnya. Orang melupakan
pesannya: tanpa jutaan organisme yang bekerja dalam konser kehidupan,
biosfer tidak berfungsi. Tak ada oksigen untuk bernapas, air bersih
untuk diminum, tanah subur untuk menanam, hasil yang bisa dipanen, dan
makanan untuk dimakan.
Lebah menghilang
Tahun 2006, publik di Eropa dan Amerika Serikat dihebohkan laporan The Daily Telegraph tentang colony
collapse disorder (CCD). Bank agribisnis, Rabobank, menyatakan, koloni
lebah yang gagal bertahan pada musim dingin tahun 2011 di AS naik 30-35
persen dari 10 persen. Hal yang sama terjadi di Amerika Latin.
Di
Jerman, Asosiasi Peternak Lebah menyatakan, populasi lebah menurun
sampai 25 persen. Di beberapa wilayah, lebah bahkan menghilang tanpa
bekas. Mereka menduga ada sejenis racun yang menghancurkan
koloni-koloni lebah, selain meluasnya penggunaan benih transgenik yang
melemahkan sistem tubuh lebah dan membunuhnya.
Profesor Keith S
Delaplane dari Departemen Entomologi University of Georgia, Athens, AS,
dalam artikelnya, ”On Einstein, Bees and Survival of Human Race” (2010),
menulis bahwa hancurnya koloni lebah tak hanya menjadi keprihatinan
peternak lebah. Hal terpenting bukan madu, melainkan penyerbukan, dan
terkait pasokan pangan.
Meskipun demikian, pernyataan Einstein
tetap dianggap berlebihan. Bukankah tanaman pangan seperti jagung,
gandum, dan padi diserbuki oleh angin? Benarkah kehidupan manusia
bergantung pada lebah?
Produk karbohidrat seperti jagung, gandum, dan padi adalah bahan pangan penting, tetapi manusia butuh keragaman makanan.
Entomologis SE McGregor dalam Insect
Pollination of Cultivated Crops Plants (1976) menyatakan, ”Sepertiga
dari makanan kita, langsung atau tak langsung, bergantung pada produk
dari tanaman yang diserbuki serangga. Lebah madu berperan atas tiap
kunyahan ketiga dari makanan yang kita kunyah.”
Semakin penting
Sejak
tahun 1976 sudah diperkirakan, ekonomi dunia akan dipicu perdagangan
daging sapi, produk susu, minyak biji-bijian, dan buah-buahan. Hasil
pertanian dan peternakan semakin menjadi santapan penting manusia meski
tak bisa digeneralisasi.
Oktober tahun lalu, National Academy of
Sciences mengindikasikan, sektor pertanian AS terlalu bergantung pada
lebah madu sebagai penyerbuk. Reuters melaporkan, produksi pertanian AS
yang bergantung pada lebah mencapai 15 miliar dollar AS per tahun,
hampir sepertiga produk pertanian pangan di AS.
Menurut
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), sepanjang 1961-2006 produksi
makanan global dari tanaman yang diserbuki hewan—80 persennya oleh lebah
madu—berkisar 5 persen di negara maju dan 8 persen di negara
berkembang.
Delaplane menulis, 75 persen tanaman di dunia
mengambil manfaat sampai tingkat tertentu pada penyerbukan oleh hewan
dan hanya 10 persen dari 75 persen tergantung sepenuhnya dari
penyerbukan oleh hewan.
Akan tetapi, kebutuhan pada bahan
makanan dari tanaman yang diserbuki hewan terus tumbuh, dari 3,6 persen
tahun 1961 menjadi 6,1 persen tahun 2006. Semakin banyak orang suka es
krim, tar blueberry, cokelat almond, kopi, dan berbagai jenis buah.
Maka
Indeks PBB tentang Harga Pangan menjadi semakin penting untuk
mengetahui seberapa risiko berkurangnya lebah madu memengaruhi
ketahanan pangan.
Kendati demikian, karena tanaman yang
bergantung pada penyerbukan hewan cenderung rendah tingkat produksinya
dibandingkan yang tak bergantung pada penyerbukan, bahkan jauh lebih
rendah dibandingkan hasil tunai pengerukan perut bumi dan penggundulan
hutan, habitat mereka makin terusik.
Jaring kehidupan
Perubahan
iklim yang dampaknya makin jelas menjadi ancaman paling serius terhadap
kehidupan. Sebagian besar dipicu keserakahan manusia yang membongkar
perut bumi, menguras lautan, mencipta dan menggunakan bahan kimia dan
benih rekayasa genetika dalam pertanian, serta membangun infrastruktur
yang merangsek ke hutan. Hasil ikutannya adalah serbuan spesies asing,
polusi, kekeringan, dan bencana, yang menghancurkan habitat satwa dan
serangga liar.
Di Molo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara
Timur, sampai akhir tahun 1990-an, sarang lebah bergelantungan di
ranting-ranting pohon madu. Lebah bahkan membuat koloninya di batu.
Namun,
pembongkaran batu marmer di gunung-gunung batu yang makin eksploitatif
sejak tahun 2000-an menghancurkan bukit- bukit hijau. Keindahan daerah
pegunungan tersubur di wilayah Timor dengan keragaman hayati di hutannya
habis dilumat.
”Lebah hilang, sekitar 75 persen pohon madu
habis,” ungkap Nifron Ba’un (33). ”Semua hancur, termasuk ritual adat
dan kegiatan yang terkait alam. Kebersamaan hilang, tak ada lagi yang
dipanen bersama.”
Kompleksitas yang menakjubkan dan keelokan alam
adalah hasil dari rentang panjang evolusi, dirayakan berbagai komunitas
di pojok-pojok bumi dengan berbagai ritual yang digolongkan sebagai
sisa-sisa pagan.
”Kami sudah melakukan ritual memanggil lebah,
tetapi belum berhasil. Masyarakat makin tak yakin pada ritual adat
karena dikafirkan agama,” ujar Nifron.
Dalam penghancuran alam, pernyataan Einstein sungguh telak, ”Hanya dua hal yang abadi, semesta dan kebodohan manusia. Namun, aku tak yakin dengan yang pertama.”
http://cetak.kompas.com/read/2012/12/19/05541170/lebah-lebah.einstein
terima kasih sudah memberikan alternatif tempat untuk terus membaca ilmu, salah satunya dari kompas. Saat membaca Kompas, sekarang, kita diharuskan untuk registrasi terlebih dahulu.
BalasHapus