Jumat, 28 Desember 2012

Impor Pangan Makin Menjerat

28 Desember 2012

JAKARTA – Sepanjang 2012, pemerintah dinilai belum mampu memperbaiki kesejahteraan petani. Bahkan sebagai negara agraris, Indonesia belum bisa melepaskan diri dari jebakan impor pangan.
Di sektor pertanian dan perkebunan, neraca perdagangan tetap defisit karena surplus di sektor perkebunan, terutama dari ekspor kelapa sawit dan cokelat, harus dikompensasi dengan pembukaan pasar domestik untuk produk pangan impor.

"Kita memang kompetitif di ekspor kelapa sawit dan cokelat. Namun, pemerintah membiarkan terjadi kerusakan lingkungan dan konversi lahan sawah untuk komoditas itu. Surplus perkebunan juga mengorbankan sektor pertanian," ungkap Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, di Jakarta, Kamis (27/12).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2012 menunjukkan neraca perdagangan komoditas pertanian dan perkebunan hanya mencatat surplus dari sektor perkebunan sebesar 16,6 miliar dollar AS.

Tiga sektor lain, yakni tanaman pangan mengalami defisit 4,4 miliar dollar AS, sektor hortikultura defisit 1,1 miliar dollar AS, dan sektor peternakan defisit 1,6 miliar dollar AS.
Defisit perdagangan dari komoditas pertanian itu, menurut Henry, mengindikasikan kebijakan pemerintah yang mengorbankan komoditas pertanian, termasuk petani, demi mengejar kenaikan ekspor komoditas perkebunan.

Pasalnya, negara importir perkebunan Indonesia akan meminta kompensasi berupa pembukaan keran impor bagi produk pertanian mereka.

Contohnya, Amerika Serikat meminta Indonesia membuka pasar impor gandum dan kedelai, India meminta pembukaan pasar jagung, dan China meminta pembukaan pasar buah seperti jeruk.
Henry mengkhawatirkan kebijakan seperti itu akan membuat Indonesia semakin bergantung pada impor produk pertanian pangan.

"Akibatnya berdampak panjang. Jika pada 1998 harga impor kedelai hanya 1.800 rupiah per kg (kilogram), sekarang sudah mencapai 7.000 rupiah per kg," ungkap dia.

Hal itu juga membuktikan bahwa pembukaan keran impor malah membuat harga komoditas pangan impor terus naik dan sulit diturunkan. Selanjutnya, ketika kebergantungan Indonesia makin tinggi, pasar domestik bakal bergejolak. "Seharusnya pemerintah mengendalikan importasi dan membangun industri hilir pertanian," papar dia.

Harapan rakyat untuk meloloskan diri dari jeratan impor pangan yang makin dalam bertumpu pada badan khusus pangan, yang akan dibentuk sebagaimana dimanatkan UU Pangan yang baru. Lembaga itu diharapkan memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan kementerian terkait sektor pertanian pangan, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Pekerjaan Umum.

Konsistensi Kebijakan

Mengenai kegagalan mencapai target produksi tanaman pangan, Ketua Departemen Kajian Kebijakan Nasional SPI, Achmad Yakub, menilai hal itu disebabkan inkonsistensi kebijakan pemerintah. Ketika target produksi kedelai tidak tercapai, pemerintah justru membebaskan bea masuk impor komoditas itu hingga nol persen.

Menurut dia, apabila pemerintah konsisten dengan target itu, semestinya upaya mengejar target produksi dibarengi dengan penurunan impor secara bertahap.

Seperti diketahui, target produksi kedelai awalnya 1,9 juta ton , kemudian direvisi menjadi 1,1 juta ton, dan realisasinya hanya 780 ribu ton. Berdasarkan data, juga terungkap bahwa dalam 10 tahun terakhir Indonesia tak pernah mampu memproduksi satu juta ton kedelei, malah impor terus bertambah setiap tahun. Inkonsistensi serupa terjadi pada importasi tepung dan pati singkong.

"Ini cermin dari inkonsistensi kebijakan dan keberpihakan pada rakyat tani. Indonesia sebagai produsen singkong terbesar di Asia, yakni mencapai 28 juta ton, melebihi Thailand sebanyak 26,6 juta ton. Namun, kita tetap impor dengan berbagai dalih," kata Yakub.

Pengamat ekonomi, Bustanul Arifin, juga berpendapat swasembada pangan pada 2012 akan sulit tercapai karena kebijakan yang tidak konsisten. Lebih dari itu, pemerintah belum yakin untuk menjadi produsen pangan besar dunia.

Sebagai negara besar, kata Bustanul, Indonesia sejatinya bisa mengatur harga jual kebutuhan sendiri. Saat ini, beberapa komoditas produk Indonesia harganya masih ditentukan oleh luar negeri. "Seharusnya kita bisa mengatur harga dunia. Produksi kelapa sawit kita besar, tapi harga dipengaruhi oleh Belanda," ujar Bustanul.

Terkait dengan impor gandum, pengamat ekonomi pertanian, Khudori, mengatakan pembiaran importasi gandum memicu defisit perdagangan Indonesia sekitar 24 triliun rupiah.

"Tahun lalu, impor gandum dan terigu sebesar 6,47 juta ton, nilainya 2,6 miliar dollar AS atau sekitar 24 triliun rupiah. Gandum menjadi penyumbang devisit terbesar di subsektor perdagangan produk pertanian," papar dia.

Khudori menyebutkan dari total defisit subsektor tanaman pangan sebesar 6,439 miliar dollar AS, gandum menyumbang defisit 2,6 miliar dollar AS, diikuti impor beras 1,5 miliar dollar AS atau setara 14 triliun rupiah, dan pangan lain penyumbang defisit, yaitu kedelai serta jagung.

Sementara itu, subsektor peternakan menyumbang defisit 1,446 miliar dollar AS, subsektor hortikultura menyumbang defisit 1,194 miliar dollar AS, sedangkan subsektor perkebunan memberikan devisa atau surplus 31,86 miliar dollar AS. Kondisi defisit tersebut, imbuh dia, akan terus meningkat jika pemerintah tidak menyiapkan strategi pangan yang tepat dan membiarkan angka impor terus naik.

"Penyumbang defisit terbesar itu subsektor pangan, dan biang keladinya adalah gandum, yang menyumbang defisit 24 triliun rupiah. Mestinya pemerintah menciptakan substitusi terigu, pengganti tepung terigu dari gandum. Kita punya potensi yang besar untuk substitusi itu. Ada singkong, ganyong, ketela rambat," tegas Khudori. YK/aan/WP

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/109044/hl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar